Mohon tunggu...
No Name
No Name Mohon Tunggu... -

Seorang pria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2XLOVE (I) 1: Kota Kecil

19 Maret 2012   15:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mereka tidak membantah. Hanya saja mereka enggan meninggalkan tempat itu. Dalam hati mereka tetap penasaran.

Sementara beberapa murid tetap berada di dalam kelas atau turun ke bawah, beberapa murid lain cukup senang berdiri memandang ke arah laut. Angin yang kencang akan menerpa wajah mereka dan membelai rambut. Meniup aroma laut yang khas bersamanya. Di bawah ada lapangan terbuka. Satu lapangan dua kegunaan. Di tengah-tengah lapangan bola basket, dua buah lubang yang bisa ditancapkan tiang untuk membentangkan jaring bola volley tidak begitu kelihatan dari lantai tiga tempat Jerry kini berdiri. Beberapa murid tampak berjalan menuju ke arah kantin di samping lapangan – juga tepat berada di sebelah tembok pembatas yang memisahkan laut. Bayangan mereka tampak begitu jelas terkena matahari pagi.

Suara-suara berisik mulai mendominasi. Rupanya antrian menuju wc. Sesekali murid perempuan terdengar mengomeli murid laki-laki yang masuk ke dalam wc. Papan di atas pintu bertuliskan wc perempuan sudah tampak memudar. Tapi, tentu saja bukan karena itu sebabnya murid laki-laki tetap bandel menggunakan wc di lantai ini.

Jerry berjalan menjauhi tempat itu. Dia melewati kelasnya beberapa langkah lalu berjalan menurun pada tangga di samping kelasnya. Begitu sampai di lantai dasar, dia melihat ke arah gerbang yang memang berada tepat di depan tangga yang bertuliskan “tangga laki-laki”. Ada beberapa orang di depan pintu gerbang. Tampak seperti sebuah keluarga. Ah, dia tidak mengenal satu pun wajah itu. Mungkin ..., ya gadis itu. Gadis yang rambutnya dicat pirang itu mungkin calon murid baru yang tadi didengarnya. Cantik juga. Tapi dari raut wajahnya dia tampak tak bahagia. Tapi tak tahu juga. Matanya sendiri sudah rabun. Dia tidak yakin dengan apa pun yang dilihatnya untuk jarak pandang sejauh itu.

Hal pertama yang didengarnya saat tiba di kantin adalah suara celoteh beberapa murid. Tapi dia tak ingin tahu apa yang mereka sedang bicarakan. Lebih-lebih saat melirik ke arah meja kantin dan tak melihat seorang pun yang perlu disapanya. Suara gaduh piring-piring dibereskan membentuk harmoni yang beriringan dengan suara benturan ombak di tembok pembatas.

Jerry mendesah menahan kesal hatinya. Toples transparan itu tampak kosong. Dia sebenarnya ingin membeli permen karet. Tangan kirinya meraih toples yang lain, memutar terbuka tutupnya. Dan menunjukkan jumlah yang diambilnya pada penjaga kantin yang sibuk melayani pembeli selain dirinya.

Beberapa murid sudah mulai naik ke atas. Jerry berjalan menyusul barisan yang semakin lama semakin tampak memanjang. Mengangguk saat berpapasan dengan murid yang dikenalnya. Sekali lagi dia secara posisional melihat ke arah pintu gerbang. Sepi. Sudah tak ada seorang pun di sana.

Kakinya menjejak di lantai kelasnya tepat saat bunyi bel tanda istrahat berakhir. Aroma baru yang bercampur aduk tercium di sekitarnya. Ceceran makanan di dalam kelas, keringat teman-temannya hingga pewangi badan dengan aneka aroma. Tak lama muncul seorang guru pria. Pendek gemuk dengan rambut tataan khas “angkatan babe gue”.

Jerry mengeluarkan permen dari kantongnya dengan gerakan sekecil dan sehalus mungkin. Beberapa temannya melakukan gerakan yang kurang lebih sama dengannya. Setelah berhasil mengeluarkan permen dari pembungkusnya, dengan gerakan seperti mengelus hidung dia memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. Nyaris tidak terlihat mata. Beberapa temannya menunggu hingga guru berbalik arah lalu dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata, permen itu masuk ke dalam mulut mereka. Hal selanjutnya yang perlu dilakukankan hanyalah berpura-pura tidak ada apa-apa. Gerakan otot wajah menghisap sari manis dari permen dilakukan sehalus mungkin. Kalau terlalu bernafsu, sudah pasti ditegur guru. Terkadang malah ditambah hukuman. Tapi ya, hanya itu saja yang bisa dilakukan para guru. Paling jauh mereka akan mengadakan razia di kelas. Dan hal itu hanya efektif dua tiga hari saja. Setelah itu, kebiasaan makan di kelas akan muncul kembali seperti penyakit mewabah.

Sebenarnya, bagi beberapa guru makan-makan di kelas tidaklah masalah. Asalkan murid-murid sopan dan dalam batas wajar. Mereka tentu paham betul saat masih menjadi murid. Harus diam mendengarkan guru menerangkan terkadang teramat membosankan. Membangkitkan rasa kantuk yang ditahan-tahan. Jadi, makan permen akan efektif mengalihkan, rasa jenuh dan kantuk pun bisa hilang.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun