"Gak ada otak Lu, Bang. Adek perempuan Lu gebukin!"
Bang Oji menarik krah bajuku. Wajah kami sangat berdekatan. Hingga dapat terhirup aroma alkohol dari mulutnya yang kotor itu.
"Sini uang Lu, kasih ke gua, cepaaat!!"
CUIHH!! Aku ludahin wajahnya. Bang Oji membanting tubuhku ke tembok toko yang saat itu sedang tutup.
AAHH ....
"Bunuh aja gua, Bang. Tanggung kalo bisa lu cuma jadi pengecut gini. Dasar Sampah. Sampai dunia akherat gua gak bakal ngakuin Lu, saudara gua. Hehehe." Serapahku di depan Bang Oji membuatnya bertambah marah.
Kembali ia melemparkan tendangan ke arah perutku. Rasa sakit begitu hebat. Kurasa pecah lambungku saat itu juga. Tubuhku bergetar menahan mual. Muntahlah aku dengan beberapa percik darah yang menyiprat.
Aku coba berdiri, walau mataku mulai kunang-kunang. Yang kuingat saat itu wajah Bang Reno dan Bang Rojak. Air mataku menitik, di tengah kesadaranku sebagai gadis yang hidup dalam kerasnya zaman.
"Bang Reno ... Bang Rojak ...," lirihku lemah. Tungkaiku terasa semutan, yang aku tahu ini gejala mau pingsan. "Tidak, aku harus kuat."
Dengan posisi masih terkapar sambil meringkuk aku coba mengatur napas, agar bisa tetap sadar. Meskipun sudah tak sanggup lagi kugerakkan tubuhku.
"MANA UAANNGG!!" Teriak Bang Oji sambil menyeret kerahku dari belakang. Di bantingnya lagi tubuhku sampai menghantam salah satu rolling dorr yang tertutup.
Para pedagang yang berkerumun mulai geram.
"Heh cari mampus Lu, Bang!!"