Benarkah aku secantik itu? Kau tahu ... kau pun selalu memesonaku, Bang.
Aku melangkah dekati Bang Rojak.
"Duduklah ... abang mau ngomong sebentar."
Aku turuti ucapan kesayanganku itu.
"Gini Kim, bulan besok kan aku akan menikah, kira-kira kamu mau gak jadi pager ayu di resepsiku nanti? Soalnya gadis yang dijodohkan Mama padaku kebetulan orang Jawa. Anak temannya Mama."
Aku mendengar halilintar yang menghanguskan semestaku. Selayak daun yang meranggas, harapku terjatuh dan mengering.
Tandus itu adalah sangka yang selama ini kudekap bagai saujana cinta. Tak mudah aku mengelak dari cinta yang patah. Yang gelimangnya tertangkup tangan tanpa gayung bersambut.
Namun kokohku berdiri tetap setegar beringin. Terus tersenyum meskipun terluka dan tak ingin.
"Pasti aku mau, Bang. Abang kan sudah banyak menolong. Aku berhutang budi pada kebaikan Abang."
"Kau ini memang, adikku yang sangat baik. Kalau aku menikah nanti, kamu mau gak gantikan aku ... tinggal bersama Mama? Rumah itu terlalu besar buat beliau. Di samping itu, mama kan juga sudah dekat denganmu?"
Aku tersenyum. "Aku pikir dulu, ya Bang. Ini kan keputusan besar buatku. Abang tahu sendiri Bang Oji kakakku itu berbahaya. Aku tidak ingin orang yang dekat denganku juga terancam."
Bang Rojak menepuk-nepuk jemariku. Aku adalah adik baginya ... ya, tak salah buatnya. Aku yang telah memupuk angan menjadi harapan. Bodohku tak membaca jalan Tuhan.
Biarlah sepanjang usia kusimpan, segala kenangan tentangmu. Juga cinta yang penuh cerita dalam sebuah buku kosong.