Tak seberapa cahaya rembulan merasuki wajah malam. Namun sebenderang itu aku berjalan bersama rinai tawamu yang memecah sunyi savana.
Tak mengerti aku dengan gemilang gebyar hati. Bisaku lelap pada curi pandang di balik bukit. Berharap pada gulali kehidupan, yang kutahu tak mungkin kureguk dengan tanpa tangan.
Cukup hadirmu, tawamu, ucapanmu menjadi cerita fiksi. Di hatiku yang paling salju tak pernah kuukir warna cerah, sekalipun kau adalah kumpulan jembatan pelangi itu.
***
"Minggu besok kita jalan, yuk."
"Ke mana, Bang?"
"Nonton, mau gak?"
"Mau gak ya? Kupikir dulu lah, Bang. Aku gak pernah pergi nonton soalnya."
"Makanya aku ajak. Mau ya?"
"Ok deh."
Sikapku mengiyakan ajakan Bang Rojak, sebenarnya bikin kepalaku pusing. Bagaimana tidak? Aku tak punya baju bagus untuk pergi jalan-jalan. Paling jeans belel, oblong, atau jaket. Itu pun seragam perang saat aku harus ngeloper koran pagi-pagi.