Bagong dengan gayanya yang khas, menasehati keponakannya yang akan menikah itu.
Semar melanjutkan, “Begini, begini ya Reng. Walaupun romo ini sudah tua, tidak bisa uwur-uwur (tidak bisa menyumbang secara materi), ning romo ingin uwur tutur - uwur sembur marang cucuku Nalawati, sebelum ijab. Eling yo nduuk, drajad, pangkat itu mung sampiran. Harta benda, keturunan, mung titipan, mung amanah. Yang penting kamu harus bisa menjaga ketenteraman jiwa dalam berumah tangga yo nduuk”.
“Yang penting ojo padu wae (jangan bertengkar melulu)”, sahut Dewi Sariwati, istri Gareng.
Rupanya kegayengan keluarga besar Semar tidak berlangsung lama. Bala Kurawa memecahkan suasana musyawarah mereka. Dengan angkuh Sengkuni, Lesmana Mandrakumara, dan Dursasana menghampiri Punokawan yang masih tampak terheran-heran itu.
“Selamat datang ndara Patih dan para bangsawan semua”, sambut Semar.
“Ya, kakang Semar. Begini ya Gareng, kedatanganku ke sini akan melamar anakmu Nalawati”, datar suara Sengkuni tanpa basa-basi.
“Hoi, paman Sengkuni, yang jelas dong ngomongnya! Kok paman yang melamar?! Melamar untuk cucu…, begitu!”, bentak Dursasana sambil menggoyang-goyangkan tangannya yang kekar.
“Cepetan kenapa yuuung….”, Lesmana tak sabar.
“Sebentar Dur, paman belum selesai bicara. Mono… sabar disik yo lee…”.
“Kalau ngomong mbok ya jangan sambil merem gitu to maan, hehehe….”, Dursasana mengingatkan.
“Saya akan melamar anakmu, Nalawati, untuk cucuku Lesmana Mandrakumara”.