Mohon tunggu...
Hery Santoso
Hery Santoso Mohon Tunggu... -

Suka membaca, berdiskusi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Petruk Mantu

20 Januari 2016   09:12 Diperbarui: 21 Januari 2016   13:50 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kaputren Kerajaan Trajutrisna

Awan bergerak berarak-arak, angin semilir berhembus syahdu, mentari cerah bersinar di balik gunung, menambah keindahan kaputren Kerajaan Trajutrisna. Bunga bermekaran, mawar, melati, menur jingga, anggrek, bersanding dengan bunga srigading, menghiasi taman kaputren. Namun, semua keindahan itu tidak mampu menghibur kesedihan Dewi Hagnyanawati yang sedang dirundung duka, karena duka asmara. Walau sang suami, Prabu Boma Narakasura, habis-habisan memanjakannya dengan bergelimang  kemewahan dan keindahan keraton, tak lebih dari sangkar emas yang semakin membelenggu Hagnyanawati, mengucilkannya dalam pengasingan di tengah lautan gurun pasir yang gersang.

Di saat Hagnyanawati sedang meratapi nasibnya, dari balik rerimbunan taman, Boma mengamat-amati istrinya yang lama menyimpan duka asmara. Dihampirinya Hagnyanawati dengan hati-hati, disapanya penuh santun. Lamunan Hagnyanawati berantakan, heran, dari mana datangnya sang suami, tiba-tiba saja berada di sampingnya.

“Wahai Dewiku yang cantik, mengapa dinda selalu menolak cintaku? Kasihanilah aku. Akan aku turuti apapun kemauanmu. Jika Adinda bosan di sini, mau liburan ke mana, ke Eropa, ke Amerika, ke Korea, atau menyewa kapal pesiar keliling dunia, akan aku turuti. Lama sudah aku menunggu. Berikanlah sedikit saja senyumanmu”.

Hagnyanawati bergeming. Rayuan Boma bagai angin lalu. Ternyata, sesabar-sabarnya pemburu cinta, tidak lebih sabar daripada pemburu teroris. Dan, … meledaklah Boma!

“Hai, Hagnyanawati, … Hagnyanawatiii!! Dulu, kau melihat apa, kini kau melihat apa? Tak ada panas, tak ada hujan, tak ada sekam, tak ada api. Mengapa sekarang kau ingkar janji?! Semua orang tahu, kau adalah istriku, permaisuri Raja Trajutrisna. Mengapa sampai saat ini kau belum juga mau melayani aku? Sedikitpun aku belum merasakan sejatining pemarem. Aku tidak tahan lagi menanggung derita ini Hagnyanawatiii…”, Boma mengiba.

“Duh, sinuwun Baginda yang mulia, ….”.

“Lha, lha, lha, begitu dong Adinda. Mengapa selama ini Dinda membisu saja? Mendengar suaramu saja sudah nyeees hatiku. Seperti tersiram tirta sawindu. Apalagi menyapaku. Piye, piye Dinda? Minta apa, nyuwun opo yayii..?”

“Sinuwun, hamba akan menyerahkan jiwa raga hamba, asalkan Baginda dapat memenuhi bebana (syarat) hamba”.

“Apa, apa permintaanmu Dinda? Katakanlah, katakanlah…”.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun