Shigeru melirik bangku kosong di sebelahnya. Ia bukan ingin berpindah ke sana, tapi karena merasa sangat marah dengan pemiliknya. Pemilik bangku itu sudah menghancurkan rencananya dan apa yang dilakukannya seakan-akan menantang dirinya untuk melakukan “perang” yang lebih besar lagi. Ya, meski ia sadar kalau akan menjadi lawan yang tidak terlihat. Bawahan-bawahannya yang akan turun tangan melakukan “perang” itu.
“Shigeru, kau tidak ingin pergi ke kantin?” tanya teman perempuannya malu-malu.
Shigeru menoleh dan melempar senyum dingin. “Baiklah, kebetulan sekali ada yang ingin aku tanyakan padamu,” jawabnya lantas beranjak dari kursi. Reiko mengikutinya di belakang dengan wajah yang memerah.
***
Gadis dengan penutup telinga berwarna hitam itu menarik pelatuk pistolnya beberapa kali dengan cepat. Dan, pelurunya yang terakhir tepat mengenai titik di tengah papan sasaran tembak. Ia lantas mengganti papan sasaran tembaknya karena belum puas untuk membuat lubang di tempat yang bagus seperti tadi.
Persediaan peluru gadis penembak akhirnya habis. Karenanya, kini ia benar-benar berhenti menembaki papan-papan bergambar beberapa lingkaran dari besar ke kecil itu. Ia melepas penutup telinga dan menaruh pistolnya di meja. Setelahnya, ia meneguk minuman dingin tanpa jeda sampai habis sambil terduduk di kursi.
Seorang pria berjalan di belakang gadis itu dan berniat duduk di sebelahnya. “Bagus, bagus sekali, kau menghibur dirimu dengan berlatih menembak seperti ini.” Ia menyandarkan tubuhnya.
Gadis itu pun mengikuti sang ayah untuk menyandarkan tubuh. Kedua tangannya ia lipat sebagai bantal. “Ayah, aku janji ini adalah pertanyaan terakhirku. Maukah kau menjawabnya?”
Ayah memicingkan mata. Perkataan anak perempuannya sama sekali tidak sinkron dengan pujiannya tadi. Setidaknya, ucapkan ‘iya’ untuk memberikan timbal balik. “Wah, tampaknya pertanyaanmu sangat serius. Ayolah, karena persidanganmu kemarin, kau pasti masih tegang. Mari bahas hal-hal yang ringan saja,” bujuknya disertai dengan senyuman simpul.
Namie benar-benar merasa jengah. Ia bukan anak kecil yang begitu dibujuk atau dialihkan pada hal lain akan lupa. Ia merasa sudah cukup dewasa untuk membicarakan hal yang serius atau bahkan berbau rahasia yang selama ini ia rasakan dari keanehan ayah. Ia bangkit dari duduknya, lalu berdiri di hadapan ayah. Wajahnya menunduk sambil mengepal kedua tangannya di samping tubuh.
“Apa ayah pernah terlibat konflik dengan seseorang, lalu memunculkan dendam yang sampai sekarang belum padam?”
Tatapan pria empat puluh tahunan itu menajam. Ini di luar ekspektasinya kalau Namie akan menyadarinya secepatnya ini. Bahkan, sebelum ia tahu alasan kenapa ia dididik dengan cara yang keras. Pria itu tertawa sekilas lantas melayangkan pertanyaan pada putrinya. “Bagaimana kau menyimpulkannya?” tanyanya setenang mungkin. Seolah ingin tahu kenapa anaknya berpikir konyol seperti itu dan bukannya karena rahasianya telah sedikit demi sedikit terbongkar.
“Ada murid baru di kelasku. Aku belum mengenal dia sebelumnya, tapi, dia kelihatan sangat membenciku. Tatapannya mengerikan. Lalu, Rin membelaku saat dia jahat padaku. Dan, besoknya…” Namie mengepalkan kedua tangan lebih erat lagi. “Rin ditembak.”
“Namie, putriku.” Ayah menggenggam kedua tangan gadis yang masih menunduk itu. “Aku tahu kau anak yang cerdas. Tanpa aku jelaskan pun, perlahan-lahan kau pasti akan tahu semuanya.” Ia berdiri lalu mengangkat wajah putri terakhirnya itu. Didapatinya sepasang bola mata yang menyiratkan emosi tertahan. “Yang perlu kau tahu, ayah sangat menyayangimu. Apa yang ayah lakukan padamu, semata-mata untuk melindungimu.” Sebagai sentuhan akhir, ia mengecup kening Namie lantas pergi begitu saja.
Ini dunia nyata, Namie tidak perlu kata-kata sentimentil yang kerap kali muncul di drama-drama. Kata-kata lugas lebih berguna untuk menyelesaikan semuanya. Dunia nyata tidak membutuhkan pemanis karena kehidupan yang pahit membuat seseorang berpikir realistis!
***
“Kenapa kau hanya mengaduk-ngaduk makanananmu tanpa minat seperti itu?”
“Aku tidak nafsu makan karena rencanaku gagal total.”
Pria berbadan padat berbalut kaus berkerah warna abu-abu muda itu berpindah duduk di samping keponakannya. “Tidak, kau hanya membuat kesalahan saja. Semakin banyak kesalahan yang kau buat, semakin berpengalamannya dirimu.”
Shigeru mengiyakan ucapan pamannya dengan diam. Benar, sampai saat ini saja ia sudah melakukan dua kesalahan. Seharusnya, waktu itu ia menuruti saran paman agar tidak usah membuat perhitungan pada Rin karena ia bukan target utamanya. “Semakin kau membuat banyak tindakan, maka semakin banyak pula jejak yang kau tinggalkan,” kata paman terakhir kali untuk mencegah niat keponakannya itu. Lalu, dalam memilih penembak bayaran, ia juga tidak sepakat dengan pamannya. Shigeru memilihnya berdasarkan postur tubuh dan wajah yang sangat menyakinkan. Sebaliknya, pilihan pamannya adalah seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluh tahunan yang bertubuh kurus dan berwajah menenangkan. Tapi, siapa sangka, mungkin dari ketenangannya itu, ia adalah seseorang yang berdarah dingin.
“Untung saja, penembak bayaran yang ceroboh itu mati. Jadi, dia tidak bisa diintrogasi.”
Paman mengusap pucuk kepala anak dari adiknya itu beberapa kali. “Dewi fortuna masih berpihak pada kita, Shigeru. Lain kali, persiapkan semuanya dengan pemikiran matang, dan jangan terbawa emosi dulu.”
Shigeru menancapkan garpu pada lauk makan malamnya kali ini. “Baiklah, menjadi musuh dalam selimut tampaknya akan mengurangi jejak yang ditinggalkan.”
***
Kata Suster, Rin bisa keluar dari rumah sakit dua sampai tiga hari lagi. Akan tetapi, hari ini ia memaksa orangtuanya agar pulang ke rumah saja. Toh, ia sudah dalam masa penyembuhan. Bukankah istirahat dan minum obat bisa dilakukan di rumah juga? Ia sudah bosan di rumah sakit, apa lagi baunya itu. Lama-lama membuatnya mual.
Setelah ibu dan Sayuko berkemas dan mengurusi administrasi rumah sakit, mereka membantu Rin duduk di kursi roda. Kemudian, wanita yang melahirkannya itu mendorongnya sampai ke mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Di sana ayah sudah menunggu.
“Bu, bagaimana kalau besok kita buat undangan makan malam untuk Namie?” cetus Rin begitu mobil yang ia naiki melaju meninggalkan tempatnya dirawat.
Ibu mengumpat dirinya yang lupa dengan gadis itu kalau saja anaknya tidak mengingatkan. Sementara itu, Sayuko mengiyakan usulan adiknya dengan semangat. Diam-diam, sebenarnya ia kagum dengan teman adiknya itu.
“Baiklah, besok ibu akan memasak makanan-makanan yang spesial untuknya sebagai tanda terimakasih,” putus ibu seraya mencubit pipi Rin. Anak laki-laki itu pun menepis tangan yang mulai berkeriput dari pipinya, lantas membuang muka dengan kecut. Benar-benar… ia masih diperlakukan seperti anak kecil. Kalau saja ada temannya yang menyaksikan itu, ia bersumpah akan absen sekolah selama beberapa hari untuk mempersiapkan mental.
***
Rin mengundang Namie untuk makan malam pukul tujuh. Akan tetapi, temannya itu baru bisa datang pukul delapan. Ketika ia bertanya tentang alasannya, Namie hanya menjawab telepon Rin waktu itu dengan berkata, “Summimasen, ada hal yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku janji sudah ada di rumahmu pukul delapan tepat.”
Benar saja, kedatangan Namie sama persis dengan janjinya. Ia berpakaian formal, namun masih terlihat santai. Kemeja biru kotak-kotak itu ia biarkan terbuka karena sebelumnya ia menggunakan kaus oblong berwarna putih. Tidak lupa lengannya yang panjang itu ia lipat beberapa kali sampai tiga perempat. Lalu, untuk bawahannya, ia memilih jins berwarna gelap. Terakhir, sepatu kets berwarna putih itu pun melengkapi imej tomboynya.
“Selamat datang, nak,” sapa kedua orangtua Rin bersahaja. Sebelumnya, Sayuko yang membukakan pintu untuknya memberikan senyuman terbaik dan juga sapaan itu.
Ketiga orang itu mempersilahkan tamu yang sama spesialnya dengan makan malam kali ini ke ruang makan. Di sana Rin sudah menunggu. Begitu Namie datang, ia tersenyum keranjingan seperti mendapat hadiah lotere bernilai milyaran yen.
“Bagaimana keadaanmu, Rin? tanya Namie ketika terduduk di samping salah seorang tuan rumah yang mengundangnya.
“Semakin hari semakin membaik,” balasnya. “Bagaimana kelas kalau tidak ada aku? Membosankan, kan?” Rin tertawa sekilas karena dadanya sakit saat mengalami tremor. Namie tidak menjawab, hanya tersenyum.
Ibu Rin mengantisipasi guyonan-guyonan yang akan mereka ciptakan dengan mempersilahkan Namie menikmati makanan yang terhidang.
“Arigatou gozaimasu, ini semua terlihat sangat lezat,” kata Namie dengan kikuk. Kemudian, Rin memegang salah satu pundak tetangga duduknya itu dan berkata setengah berbisik, “Anggap keluargaku seperti keluargamu juga. Jadi, santai saja, ya.”
Pupil Namie seketika membesar, ia merasa ada sensasi menghangatkan menyentuh dadanya. Beberapa saat kemudian, ia menyetabilkan diri—yang terlihat cukup gugup itu dengan mengalihkan pandangan dari Rin, lantas mengangkat piring dan mengisinya dengan hidangan yang masih mengepulkan uap.
***
Namie pulang dari rumah Rin pukul sepuluh malam. Jujur saja, waktu dua jam yang dihabiskannya terasa seperti tiga puluh menit saja. Keluarga Rin sangat harmonis. Ibunya humoris, ayahnya agamis, dan kakaknya kritis. Ia pun kini baru sadar kalau belum lama mengenal mereka. Akan tetapi, saat bersama keluarga itu, ia merasa seperti anak mereka sendiri.
Kurasa aku lebih cocok menjadi kakakmu, Rin, Batin Namie seraya menyunggingkan senyum.
Tokyo memang kota yang tidak pernah tidur. Kerlap-kerlip lampu jalanan yang Namie saksikan dari balik kaca mobil itu seperti melengkapi kegembiraan hatinya. Ya, kalau hal abstrak—kegembiraannya itu divisualisasikan, ia akan memilih seperti kerlap kerlip itu, warna-warni.
Hibari berdehem, pandangannya fokus pada jalanan. “Sepertinya kau sangat bahagia, nona,” godanya setelah melihat Namie dari kaca persegi panjang di atasnya.
Majikannya itu tidak berniat menjawab. Toh, senyumannya tadi pasti sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Hibari. “Selamat, malam ini kau berkesempatan berkencan dengan calon istrimu,” kata Namie, membuat muka supirnya sedikit memerah.
***
Namie memasuki kelas dan mendapati tetangga duduknya sedang membaca buku di tempatnya. Sebenarnya, ia ingin menyapa, tapi karena tatapan mengerikan yang tidak disukainya itu, ia mengurungkan niat. Ia lalu meletakkan tasnya di atas meja dan langsung terduduk.
“Ohayou,” sapa Shigeru dengan nada datar. Seketika itu juga, dada Namie berdesir. Ia yakin telinganya masih normal. Tapi, tumben sekali murid baru itu menyapa. Ia menoleh dan membalas sapaan itu, “Ohayou.” Disertakannya juga senyum sekadarnya.
“Ini, kau bisa menyalin catatanku saat kau absen kemarin.” Shigeru meletakkan beberapa buku tulis di atas tas Namie. Kali ini, bukan lagi desiran, melainkan seperti ada aliran listrik yang mengejutkannya.
Setelah Namie berterimakasih, bel masuk sekolah yang nyaring berbunyi. Dan, sebelum Shigeru kembali ke duduknya, ia mengajak Namie makan siang bersama di kantin saat istirahat nanti. Namie tidak mengiyakan juga tidak menolaknya. Rasanya begitu awal saja untuknya menerima tawaran seseorang yang ingin dihindari.
***
Derit pintu kamar itu mengagetkan Namie. Ia buru-buru menyelipkan selembar kertas ke salah satu buku tulis, lalu menutupnya cepat. Ketika menoleh, ia mendapati seorang wanita membawa baki berisi makanan.
“Akhir-akhir ini kau tidak pernah makan malam. Ada apa?” tanya ibu seraya meletakkan bawaannya di meja samping tempat tidur.
“Karena aku tidak lapar, itu saja,” jawab anak tiri wanita bernama Kamiki itu sambil memutar badan, memeluk sandaran kursi belajar.
“Baiklah, makananlah terlebih dahulu baru lanjutkan belajarmu.” Ibu memberikan senyum tipis sambil berlalu pergi.
Sekilas, ibu tiri Namie masih tergolong baik. Namun, ia juga tergolong pasif. Ia kurang tanggap apa yang harus dilakukan pada anak-anaknya. Baru setelah ayah menyuruhnya ini dan itu, ia baru melakukan sesuatu. Padahal, kata orang, sahabat terbaik anak perempuan adalah ibunya. Lalu, apakah itu tidak berlaku bagi ibu tiri? Ada yang bilang juga kalau ibu tiri tidak bisa berlaku adil pada anak-anaknya. Ia lebih menyayangi anak kandungnya ketimbang anak tirinya. Tapi, walau ibunya tidak memiliki anak kandung, ia lebih dekat dengan Nisae. Entahlah, Namie sendiri juga malas untuk terus memikirkannya. Mungkin, itu karena mereka memiliki passion yang sama di dunia fashion. Mereka juga cukup sering jalan-jalan bersama mencari baju model terbaru.
Namie melipat kedua tangannya lantas menaruh kepala di atasnya menghadap bawah. Ia berniat melakukan perenungan. Ternyata takdir anak kembar pun bisa jauh berbeda. Walau Nisae sakit, kehidupannya seperti orang normal. Bahkan, ia cenderung senang-senang. Ia begitu bahagia saat memamerkan baju barunya yang dibeli bersama ibu. Ia juga mengatakan kalau ibu cukup menyenangkan. Kenapa ia tidak pernah mempunyai masalah, sementara aku selalu merasakan beban dan diliputi rasa kesal atas rahasia-rahasia ayah?
Setelah renungannya selesai, Namie teringat selembar kertas yang sebelumnya ia keluarkan dari sebuah amplop bertuliskan untuknya tadi. Ia membuka buku tulis itu, lantas mulai membaca surat yang ia temukan diselipkan di buku catatan Shigeru yang ia pinjam.
Ok, aku menyetujuinya. Aku penasaran, benarkah kau melakukannya tanpa maksud tersembunyi?Batinnya ketika selesai membaca keseluruhan isi surat tersebut.
***
Rin mengakhiri panggilan pada Namie lantas meletakkan ponsel di sampingnya. Baru saja ia melakukan panggilan untuk kedua kalinya, tapi, tidak ada jawaban. Ya, mungkin teman dekat barunya itu sedang ada kesibukan. Jadi, lebih baik ia meneleponnya satu sampai dua jam lagi. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur, menerawang langit-langit.
Semenjak Rin mulai dekat dengan Namie, ia merasa ada keanehan pada gadis itu. Ekspresi wajahnya selalu berubah saat ia mengucapkan atau bertanya hal tertentu. Rin paham, pasti perkataannya itu mengusik rahasia-rahasia yang Namie sembunyikan rapat-rapat. Ia menyimpulkannya seperti itu karena kata Sayuko, seseorang akan terlihat salah tingkah jika rahasianya diketahui orang lain. Lalu, apa ada hubungan antara sifat pendiam Namie dengan rahasia-rahasianya itu? Apa ia tidak merasa lebih tertekan lagi jika terus menyimpannya sendirian? Oleh karena itu, Rin harus berhasil membuat Namie menceritakannya. Terlepas dari itu semua, ia juga ingin membayar hutang nyawa pada Namie dengan terus berada di samping gadis itu.
***
“Bagaimana menurutmu?” Shigeru meminta penilaian tentang Champon[1]pada teman makannya. Sebenarnya, temannya itu bisa lebih menjabarkannya tentang apa saja yang membuatnya terasa enak, tapi, ia hanya menjawab singkat, “Oishi[2].”
Setelahnya, tidak ada perbincangan lagi di antara mereka. Lalu, beberapa saat kemudian, Shigeru meminta izin pada Namie untuk ke kamar mandi. Gadis itu pun mengiyakan dengan anggukan ringan sambil terus menikmati makan malamnya.
Saat Namie menyendok kuah makanannya, ia sedikit terkejut oleh suara seorang lelaki di sampingnya. Ia pun menoleh karena lelaki itu mengucapkan “permisi”, seolah memintanya untuk meninggalkan makanannya sejenak.
“Ya?”
“Boleh aku bertanya jalan pintas ke distrik Kanto?” pinta pria asing itu, dan Namie hanya mengangguk seperti menyanggupi permintaan si penanya jalan. Akan tetapi, akhirnya ia memberikan permintaan juga.
“Summimasen, apa Anda mempunyai kertas dan pulpen? Sepertinya lebih mudah jika digambar saja.”
Pria itu mengangguk-angguk dengan wajah sumringah karena mendapat pertolongan. “Iya, ada.” Ia lantas merogoh saku jaket sembari terduduk di hadapan Namie. “Ini.” Diangsurkannya secarik kertas lusuh dan alat tulis itu.
Namie mulai menggambar sambil mengingat-ingat arah dan rute menuju Kanto. Ia akui kalau ini cukup rumit. Sayangnya, mau tidak mau harus ia selesaikan karena pria tambun itu tidak bisa mengandalkan GPS yang hanya menampilkan jalan utama saja. Namun, saat si penolong sedang berkonsentrasi pada gambarnya, pria itu memberikan interupsi.
“Watashiwa Namie desu[3],” jawabnya saat ditanya perihal nama.
Menanyakan nama seseorang yang sudah menolongmu memang wajar. Akan tetapi, jika lebih dari itu, agaknya kurang sopan. Dan, ini pertanyaan keempat pria itu yang terdengar aneh, “Dari kemarin aku lupa kaisar Jepang yang ke empat, lima, dan enam. Apa kau bisa membantuku?”
Namie tidak menjawab. Jujur saja, ia merasa cukup terganggu bahkan saat pria itu melayangkan pertanyaan kedua. Kali ini, ia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaan dadakannya itu karena risih dengan keingintahuan kurang penting si pria.
“Silahkan.” Namie mendorong secarik kertas yang agak berat karena pulpen di atasnya ke hadapan si pria. “Dan untuk hal yang kau lupakan, aku juga bisa membantumu.”
Pria itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak, meletakkan kedua tangan di atas meja, dan tatapannya berubah serius. Sepertinya, ia ingin benar-benar ingin mengetahui jawabannya.
“Kaisar Itoku, Kaisar Kōshō, dan…” Perkataan Namie terhenti. Padahal, ia belum menyebutkan nama Kaisar Kōan sebagai kaisar keenam. Pasalnya, pria itu menepuk pundaknya spontan. Setelah sempat terkaget, ia kini tercenung. Apa maksud tindakan itu sebenarnya?
“Anda tidak harus berterimakasih dengan cara mengagetkan seperti itu,” komentar Namie. “Anda sebaiknya cepat berangkat sebelum terlalu malam,” tambahnya dengan senyum kaku.
Dada pria itu tiba-tiba berdenyut samar. Semacam merasa tidak percaya kalau apa yang kau rencanakan dengan matang ternyata gagal. Baiklah, gadis yang dimintai tolong barusan juga sudah memberinya kode bahwa ia merasa terganggu dengannya. Karenanya, pria itu pun mengucapkan terimakasih dengan agak berlebihan lantas pergi.
Akhirnya, batin Namie sembari menatap punggung pria yang sukses merubah mood-nya itu. Kemudian, ia teringat sesuatu. Kenapa Shigeru lama sekali ke kamar mandi? Apa ada hal buruk terjadi padanya? Ia pun mencoba meneleponnya untuk memastikan. Tidak, nomor Shigeru bukannya tidak aktif yang menandakan ia tidak baik-baik saja, tapi, sedang sibuk. Namie berkerut kening.
Tanpa berpikir panjang, ia pun pergi ke kamar mandi pria. Selain mengecek keberadaan Shigeru, ia merasa ada yang tidak beres. Ia berdiri menunggu di dekat area kamar mandi dengan melipat kedua tangan di dada serta pandangan yang waspada. Seperti saat kau ingin memergoki sesuatu dengan mata kepalamu sendiri.
Kira-kira satu menit kemudian, Shigeru keluar. Benar saja, ia terkaget begitu melihat Namie di hadapannya. Ia berharap apa yang dibicarakannya di telepon dengan seseorang tidak terdengar gadis itu. Mungkin, berkata dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa bisa ia lakukan untuk menghilangkan kecurigaan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Hanya mengecek keadaanmu saja.”
Shigeru bergumam. Antara memahami tindakan Namie sembari berpikir mencari alasan. “Aku tadi mimisan. Makannya lama.”
Namie hanya mengangguk-angguk sebagai tanda bahwa ia percaya. Padahal, ia sama sekali tidak seperti itu. Lihat saja, hidung Shigeru tidak terlihat lembab karena basah ketika dibasuh. Dan, walau pun ia melipat lengan jaket yang berdiameter kecil itu, setidaknya masih terlihat sedikit basah karena percikan-percikan air. Tapi, lengannya sama sekali kering dan bahkan tidak terlihat kusut.
Sejak pertama kali bertemu, Shigeru memang sudah menyadari bahwa Namie adalah gadis yang cerdas. Sekarang saja, ia sudah diberi tatapan mengintimidasi, seperti ingin dimintai penjelasan. Karenanya, ia pun segera mengajak Namie pergi seraya memberikan pertanyaan basa-basi untuk mengalihkan perhatian.
Shigeru dan Namie kembali ke tempat semula. Akan tetapi, mereka sudah tidak berminat lagi melanjutkan makan. Setelah menghabiskan minumannya, maka, pulang adalah hal yang mereka sepakati.
“Ck, batrai ponselku habis,” kesal Shigeru sebal saat akan menghubungi seseorang. “Kau tunggu di sini, ya. Biar aku saja yang memanggil supirku,” putusnya dan langsung pergi.
Namie menatap lekat punggung Shigeru yang perlahan mulai menjauh. Kenapa supirnya memilih parkir yang jauh? Padahal, yang dekat sini juga kosong. Baiklah, apa sebenarnya yang kau rencanakan?
Gadis itu masih berjibaku dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari ada seseorang di balik kegelapan yang mengawasinya. Jika ditilik dari segi ilmiah, sebenarnya seseorang akan menoleh tidak lama setelah diawasi karena manusia merasakan energi ketika ada yang mengawasinya. Hal ini juga berlaku saat kau tiba-tiba saja terbangun dari tidurmu di tengah malam.
Dari kejauhan, anak terakhir keluarga Yazukawa itu melihat mobil Shigeru berjalan pelan ke arahnya. Ia pun ber-oh dalam hati kalau rencana temannya yang tiba-tiba baik padanya, ternyata tidak dilakukan di sini. Seper sekian detik setelahnya, ia terkesiap karena ponsel di saku celana jinsnya bergetar lama. Ada seseorang yang meneleponnya.
“Halo,” terdengar suara di seberang sana.
“Aaaaaargh!!!”
Entahlah, apa yang tiba-tiba terjadi pada Namie. Rin berkerut kening, dan matanya terbelalak. Tidak lama setelah ia mengucapkan halo, terdengar rintihan kesakitan yang teramat dari mulut gadis itu. Setelahnya, panggilannya terputus.
Rin berdiri dari tempat tidurnya, lalu mencoba melakukan panggilan lagi. Sayangnya, kini nomor temannya itu malah tidak aktif. Seketika, dadanya terasa naik turun, kepanikan sudah merajai dirinya. Ia menjambak rambutnya dengan salah satu tangan sambil mondar-mandir. Apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tidak punya nomor keluarganya. Oh, ya, Tuhan… tolong lindungi dia.
Agaknya, kekhawatiran Rin memang benar.Terasa seperti satu kedipan mata saja, sebuah timah panas sukses membuka luka Namie yang belum kering sepenuhnya. Ia kini tengah terduduk di tanah sembari memegangi lengan kirinya di mana bersarang sebuah peluru. Ia rasanya ingin berteriak, tapi, ia menggigit lidahnya agar tidak bersuara.
“Bertahanlah, supirku sudah menelepon Ambulans,” kata Shigeru.
Orang-orang yang berkerumun di sekitarnya, serempak berseru panik karena gadis korban tembak lari itu, kini terbaring di tanah dengan napas yang tersengal-sengal. Mereka ingin membantu, akan tetapi bagaimana caranya? Hingga akhirnya, kebingungan mereka pun terhenti ketika seorang wanita paruh baya memecah kerumunan itu lantas memberikan pertolongan pertama. Ia memutar sapu tangan dua kali di sekeliling lengan Namie, kemudian mengikatnya dengan satu simpul. Setelahnya, diselipkannya Torniquet[4] di rongga simpulan. Kembali, wanita itu membuat simpul untuk kedua kalinya. Namie beruntung sekali malam ini. Ternyata ada seorang suster yang pulang bekerja dan makan di tempat yang sama dengannya.
“Apa ada kerabatnya di sini?” tanya penolong Namie sambil mengedarkan pandangan.
“Aku temannya,” jawab Shigeru.
Wanita paruh baya itu memandang Shigeru dengan pandangan tidak biasa, terheran. Lantas, menggelengkan kepala beberapa kali. Bagaimana bisa pemuda itu hanya berdiri sambil memasukkan tangan ke saku celana tanpa berniat menenangkan temannya, apalagi memberi pertolongan pertama?
Sekitar lima belas menit kemudian, mobil dengan suara sirine yang nyaring itu akhirnya datang. Dua orang berpakaian putih keluar dari bagian belakang dengan segera serta mendorong tempat tidur pasien. Kerumunan orang langsung terpencar. Dibantu wanita paruh baya itu, ketiganya memindahkan Namie ke atasnya.
“A-ari-gatou gozai-masu,” ucap Namie terbata-bata sambil menggenggam tangan wanita yang tidak dikenalnya itu saat akan memasuki Ambulans.
“Bertahanlah,” balasnya dengan senyum haru.
Shigeru kembali ke mobil, lalu meminta supirnya dengan kesal untuk mengikuti Ambulans itu. Astaga, rencana kali ini berantakan! Bahkan aku otomatis bertemu keluarganya di rumah sakit, batinnya seraya memijit salah satu peilipisnya dengan dua jari. Kalau begini jadinya, aku telah meninggalkan jejak, sambungnya ketika teringat perkataan paman.
[1] Makanan khas Jepang-Cina dari Nagasaki. Berupa ramen yang disajikan dalam sup kental dengan daging babi, makanan laut, dan sayuran.
[2] Enak/ lezat.
[3] Nama saya Namie.
[4] Alat medis penekan pembuluh darah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H