“Ya?”
“Boleh aku bertanya jalan pintas ke distrik Kanto?” pinta pria asing itu, dan Namie hanya mengangguk seperti menyanggupi permintaan si penanya jalan. Akan tetapi, akhirnya ia memberikan permintaan juga.
“Summimasen, apa Anda mempunyai kertas dan pulpen? Sepertinya lebih mudah jika digambar saja.”
Pria itu mengangguk-angguk dengan wajah sumringah karena mendapat pertolongan. “Iya, ada.” Ia lantas merogoh saku jaket sembari terduduk di hadapan Namie. “Ini.” Diangsurkannya secarik kertas lusuh dan alat tulis itu.
Namie mulai menggambar sambil mengingat-ingat arah dan rute menuju Kanto. Ia akui kalau ini cukup rumit. Sayangnya, mau tidak mau harus ia selesaikan karena pria tambun itu tidak bisa mengandalkan GPS yang hanya menampilkan jalan utama saja. Namun, saat si penolong sedang berkonsentrasi pada gambarnya, pria itu memberikan interupsi.
“Watashiwa Namie desu[3],” jawabnya saat ditanya perihal nama.
Menanyakan nama seseorang yang sudah menolongmu memang wajar. Akan tetapi, jika lebih dari itu, agaknya kurang sopan. Dan, ini pertanyaan keempat pria itu yang terdengar aneh, “Dari kemarin aku lupa kaisar Jepang yang ke empat, lima, dan enam. Apa kau bisa membantuku?”
Namie tidak menjawab. Jujur saja, ia merasa cukup terganggu bahkan saat pria itu melayangkan pertanyaan kedua. Kali ini, ia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaan dadakannya itu karena risih dengan keingintahuan kurang penting si pria.
“Silahkan.” Namie mendorong secarik kertas yang agak berat karena pulpen di atasnya ke hadapan si pria. “Dan untuk hal yang kau lupakan, aku juga bisa membantumu.”
Pria itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak, meletakkan kedua tangan di atas meja, dan tatapannya berubah serius. Sepertinya, ia ingin benar-benar ingin mengetahui jawabannya.
“Kaisar Itoku, Kaisar Kōshō, dan…” Perkataan Namie terhenti. Padahal, ia belum menyebutkan nama Kaisar Kōan sebagai kaisar keenam. Pasalnya, pria itu menepuk pundaknya spontan. Setelah sempat terkaget, ia kini tercenung. Apa maksud tindakan itu sebenarnya?