Shigeru menancapkan garpu pada lauk makan malamnya kali ini. “Baiklah, menjadi musuh dalam selimut tampaknya akan mengurangi jejak yang ditinggalkan.”
***
Kata Suster, Rin bisa keluar dari rumah sakit dua sampai tiga hari lagi. Akan tetapi, hari ini ia memaksa orangtuanya agar pulang ke rumah saja. Toh, ia sudah dalam masa penyembuhan. Bukankah istirahat dan minum obat bisa dilakukan di rumah juga? Ia sudah bosan di rumah sakit, apa lagi baunya itu. Lama-lama membuatnya mual.
Setelah ibu dan Sayuko berkemas dan mengurusi administrasi rumah sakit, mereka membantu Rin duduk di kursi roda. Kemudian, wanita yang melahirkannya itu mendorongnya sampai ke mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Di sana ayah sudah menunggu.
“Bu, bagaimana kalau besok kita buat undangan makan malam untuk Namie?” cetus Rin begitu mobil yang ia naiki melaju meninggalkan tempatnya dirawat.
Ibu mengumpat dirinya yang lupa dengan gadis itu kalau saja anaknya tidak mengingatkan. Sementara itu, Sayuko mengiyakan usulan adiknya dengan semangat. Diam-diam, sebenarnya ia kagum dengan teman adiknya itu.
“Baiklah, besok ibu akan memasak makanan-makanan yang spesial untuknya sebagai tanda terimakasih,” putus ibu seraya mencubit pipi Rin. Anak laki-laki itu pun menepis tangan yang mulai berkeriput dari pipinya, lantas membuang muka dengan kecut. Benar-benar… ia masih diperlakukan seperti anak kecil. Kalau saja ada temannya yang menyaksikan itu, ia bersumpah akan absen sekolah selama beberapa hari untuk mempersiapkan mental.
***
Rin mengundang Namie untuk makan malam pukul tujuh. Akan tetapi, temannya itu baru bisa datang pukul delapan. Ketika ia bertanya tentang alasannya, Namie hanya menjawab telepon Rin waktu itu dengan berkata, “Summimasen, ada hal yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku janji sudah ada di rumahmu pukul delapan tepat.”
Benar saja, kedatangan Namie sama persis dengan janjinya. Ia berpakaian formal, namun masih terlihat santai. Kemeja biru kotak-kotak itu ia biarkan terbuka karena sebelumnya ia menggunakan kaus oblong berwarna putih. Tidak lupa lengannya yang panjang itu ia lipat beberapa kali sampai tiga perempat. Lalu, untuk bawahannya, ia memilih jins berwarna gelap. Terakhir, sepatu kets berwarna putih itu pun melengkapi imej tomboynya.
“Selamat datang, nak,” sapa kedua orangtua Rin bersahaja. Sebelumnya, Sayuko yang membukakan pintu untuknya memberikan senyuman terbaik dan juga sapaan itu.