Tatapan pria empat puluh tahunan itu menajam. Ini di luar ekspektasinya kalau Namie akan menyadarinya secepatnya ini. Bahkan, sebelum ia tahu alasan kenapa ia dididik dengan cara yang keras. Pria itu tertawa sekilas lantas melayangkan pertanyaan pada putrinya. “Bagaimana kau menyimpulkannya?” tanyanya setenang mungkin. Seolah ingin tahu kenapa anaknya berpikir konyol seperti itu dan bukannya karena rahasianya telah sedikit demi sedikit terbongkar.
“Ada murid baru di kelasku. Aku belum mengenal dia sebelumnya, tapi, dia kelihatan sangat membenciku. Tatapannya mengerikan. Lalu, Rin membelaku saat dia jahat padaku. Dan, besoknya…” Namie mengepalkan kedua tangan lebih erat lagi. “Rin ditembak.”
“Namie, putriku.” Ayah menggenggam kedua tangan gadis yang masih menunduk itu. “Aku tahu kau anak yang cerdas. Tanpa aku jelaskan pun, perlahan-lahan kau pasti akan tahu semuanya.” Ia berdiri lalu mengangkat wajah putri terakhirnya itu. Didapatinya sepasang bola mata yang menyiratkan emosi tertahan. “Yang perlu kau tahu, ayah sangat menyayangimu. Apa yang ayah lakukan padamu, semata-mata untuk melindungimu.” Sebagai sentuhan akhir, ia mengecup kening Namie lantas pergi begitu saja.
Ini dunia nyata, Namie tidak perlu kata-kata sentimentil yang kerap kali muncul di drama-drama. Kata-kata lugas lebih berguna untuk menyelesaikan semuanya. Dunia nyata tidak membutuhkan pemanis karena kehidupan yang pahit membuat seseorang berpikir realistis!
***
“Kenapa kau hanya mengaduk-ngaduk makanananmu tanpa minat seperti itu?”
“Aku tidak nafsu makan karena rencanaku gagal total.”
Pria berbadan padat berbalut kaus berkerah warna abu-abu muda itu berpindah duduk di samping keponakannya. “Tidak, kau hanya membuat kesalahan saja. Semakin banyak kesalahan yang kau buat, semakin berpengalamannya dirimu.”
Shigeru mengiyakan ucapan pamannya dengan diam. Benar, sampai saat ini saja ia sudah melakukan dua kesalahan. Seharusnya, waktu itu ia menuruti saran paman agar tidak usah membuat perhitungan pada Rin karena ia bukan target utamanya. “Semakin kau membuat banyak tindakan, maka semakin banyak pula jejak yang kau tinggalkan,” kata paman terakhir kali untuk mencegah niat keponakannya itu. Lalu, dalam memilih penembak bayaran, ia juga tidak sepakat dengan pamannya. Shigeru memilihnya berdasarkan postur tubuh dan wajah yang sangat menyakinkan. Sebaliknya, pilihan pamannya adalah seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluh tahunan yang bertubuh kurus dan berwajah menenangkan. Tapi, siapa sangka, mungkin dari ketenangannya itu, ia adalah seseorang yang berdarah dingin.
“Untung saja, penembak bayaran yang ceroboh itu mati. Jadi, dia tidak bisa diintrogasi.”
Paman mengusap pucuk kepala anak dari adiknya itu beberapa kali. “Dewi fortuna masih berpihak pada kita, Shigeru. Lain kali, persiapkan semuanya dengan pemikiran matang, dan jangan terbawa emosi dulu.”