Majikannya itu tidak berniat menjawab. Toh, senyumannya tadi pasti sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Hibari. “Selamat, malam ini kau berkesempatan berkencan dengan calon istrimu,” kata Namie, membuat muka supirnya sedikit memerah.
***
Namie memasuki kelas dan mendapati tetangga duduknya sedang membaca buku di tempatnya. Sebenarnya, ia ingin menyapa, tapi karena tatapan mengerikan yang tidak disukainya itu, ia mengurungkan niat. Ia lalu meletakkan tasnya di atas meja dan langsung terduduk.
“Ohayou,” sapa Shigeru dengan nada datar. Seketika itu juga, dada Namie berdesir. Ia yakin telinganya masih normal. Tapi, tumben sekali murid baru itu menyapa. Ia menoleh dan membalas sapaan itu, “Ohayou.” Disertakannya juga senyum sekadarnya.
“Ini, kau bisa menyalin catatanku saat kau absen kemarin.” Shigeru meletakkan beberapa buku tulis di atas tas Namie. Kali ini, bukan lagi desiran, melainkan seperti ada aliran listrik yang mengejutkannya.
Setelah Namie berterimakasih, bel masuk sekolah yang nyaring berbunyi. Dan, sebelum Shigeru kembali ke duduknya, ia mengajak Namie makan siang bersama di kantin saat istirahat nanti. Namie tidak mengiyakan juga tidak menolaknya. Rasanya begitu awal saja untuknya menerima tawaran seseorang yang ingin dihindari.
***
Derit pintu kamar itu mengagetkan Namie. Ia buru-buru menyelipkan selembar kertas ke salah satu buku tulis, lalu menutupnya cepat. Ketika menoleh, ia mendapati seorang wanita membawa baki berisi makanan.
“Akhir-akhir ini kau tidak pernah makan malam. Ada apa?” tanya ibu seraya meletakkan bawaannya di meja samping tempat tidur.
“Karena aku tidak lapar, itu saja,” jawab anak tiri wanita bernama Kamiki itu sambil memutar badan, memeluk sandaran kursi belajar.
“Baiklah, makananlah terlebih dahulu baru lanjutkan belajarmu.” Ibu memberikan senyum tipis sambil berlalu pergi.