" Hei, Kok kamu disini ?" Suara khas yang mulai terdengar lagi.
Suara itu menyapa telinga seorang laki - laki seperapat abad berbaju Flanel biru bermotif kotak didalamnya kaos hitam bertulisan "Jofisa  sampai halal" dan celana panjang berwarna hitam.  Dia terkejut dan tersedak jus jeruk.
" Biasa nunggu, Rian. Kamu sendiri ngapain disini gak gabung sama temen - temanmu disana ?" Laki - laki itu menunjuk segerombolan ukhti sosialita, pakaian gamis modis dibalut dengan blazer, mereka asik berswa foto.
" Mau nemenin kamu." Â
Laki - laki itu tersedak kedua kalinya. Wajah merah padamnya begitu tampak jelas. Dia Salting.
" Kamu Kenapa ? Lagi sakit ?"
" Gak kok, cuman sedikit kesedak biji jeruk." Laki - laki itu menunjukkan beberapa bulir jeruk yang disangka biji jeruk.
" Ah, bulir jeruk ? "
" Tadi ada kok."Â
" Gak usah bohong, kamu saltingkan karena aku dateng!" Perempuan itu meraih segelas es jeruk itu dan menatap dengan  pandangan curiga.
Pipi merah padam mulai merekah jelas, dia malu.
" hahaha, tuh kan !"
Laki - laki itu pergi. Dia tidak ingin rasa malunya bertambah.
Malam ini adalah perayaan bulanan karyawan teladan. Pesta yang sederhana hanya dihadiri pegawai dan beberapa petinggi perusahaan dengan hiasan dekor sederhana bertemakan vintage dan makanan minuman tradisional nusantara.Â
Sebenarnya malam ini sama saja dengan malam perayaan lainnya. Semua orang sudah tahu siapa yang akan menjadi karyawan teladan. Dialah si paling teladan dengan rekor 5 bulan berturut - turut.
Semua hasil pekerjaannya beres tanpa ada cacat sedikit pun, pandai bersosialisasi dan selalu berpenampilan anggun dan menawan dengan setelan gamis bunga biru muda andalannya ditambah dengan blazer biru tua yang senada dengan gamisnya.Â
" Dia lagi ? " tanya seseorang laki - laki sambil menepuk punggung sahabatnya yang telah menunggunya dari tadi. Â
" Diakan memang pantas jadi karyawan teladan, emang kayak lu yang kerja aja sering telat. " Â Â
" Walaupun sering telat gini, gua ini calon mantunya pak direktur. Gak kayak lu, si pengagum karyawan teladan."Â
Mata sahabatnya itu melirik sinis. Â Â
Dari atas panggung Seorang laki -laki berumur lima tujuh tahun berjalan menuju stander mic di belakangnya seorang perempuan yang dua orang tadi bicarakan. Laki - laki itu sedikit berdeham dan mulai berbicara. Â
" Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh..., selamat malam rekan - rekan sekalian. Viva La Vadela !" teriak laki - laki itu sambil mengepalkan tanganya di udara.
" Begining The New Era...!" teriak para karyawan yang hadir.
" Malam hari ini tidak ada pengumuman karyawan teladan tapi sebaliknya saya memiliki pengumuman yang  menyedihkan."
Suara gemuruh mulai terdengar begitu kalimat itu selesai terucap, beberapa karyawan ada yang menduga bahwa perusahaan ini akan bangkrut, PHK masal bahkan ada yang menduga pak direktur terkena skandal pencucian piring, eh bukan deh tapi pencucian uang.
" Mampus calon mertua lu kena skandal pencucian uang." Sekarang giliran si pengagum karyawan teladan mengejek sahabatnya itu.
" Gak ada buktinya, beliau itu sosok yang mengispirasi anak - anak muda. Banyak anak muda yang dimentorin beliau sekarang sukses jadi bisnisman."
" Terus kemaren penyidik KPK dateng ke kantor ini buat apaan ? Gak mungkin dong buat ngajakin main ps pak direktur."Â
" Bisa aja, kan di ruangan beliau ada PS 5. Kemaren aja divisi gua di ajak main PS bareng beliau di ruangannya."
" Kita lihat aja nanti." Senyum kemenangan terpancar, walaupun ini hanya sekedar hipotesis tapi setidak bisa membuat sahabatnya keringat dingin.
" Malam ini ada yang ingin berpisah."
" Bapak kena skandal KPK ?" teriak sahabat pengagum karyawan teladan. Dia sudah tidak tahan untuk bertanya apalagi ditambah dengan raut wajah kepuasan orang di sampingnya.
Suasana kembali hening, muka bapak direktur yang tadinya sedih mendadak menjadi tertawa, ia terkejut dengan serangan mendadak dari pacar anaknya itu alias calon mantunya.Â
" Hahaha, mana ada saya terkena skandal seperti itu, kemaren penyidik KPK yang datang ke ruangan saya itu adalah sahabat kecil saya. Dia datang untuk meminjam PS 5."
" hu...,hu...., dasar tukang bikin hoax." teriak beberapa pegawai atas tuduhan yang dilemparkan oleh sahabat pengagum karyawan teladan. Â
Ketika gemuruh cemooh itu selesai. Seorang bapak - bapak berkemeja biru muda mengangkat tangan dan mulai bertanya, " PHK masal, pak ? aduh pak jangan saya, anak saya baru masuk pondok mana kemaren dia minta uang buat beli sepatu bola yang mirip sepatu Mbappe. "
Kali ini pertanyaan itu masuk akal dan mewakili sebagian besar karyawan lainnya. Apalagi akhir - akhir ini marak PHK masal akibat dari resistensi global.Â
" Tenang pak, saya tidak akan mempehaka karyawan seperti yang marak terjadi saat ini. Saya akan tetap mempertahankan kalian sampai hari kiamat."
Wajah gembira terpancar dari para karyawan. Mereka tenang tapi tetap penasaran.Â
" Hari ini ada salah satu dari kita  akan menyampaikan kabar sedih itu. Silahkan  Tia, kamu maju ke depan." Laki - laki itu menyuruh seorang perempuan yang dari tadi ada di belakangnya. Dia si karyawan teladan 5 bulan berturut - turut.
Semua orang terlihat kebingungan, namun berbeda dengan dua sejoli.Â
" Tia mau resign tuh." balas sahabatnya.
" Gak mungkin dia setia kok sama perusahaan ini, apalagi perusahaan in friendly dan bergaji tinggi. Mana mungkin pindah." Jawabnya santai  Â
" Kita lihat aja nanti."
 " Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, terima kasih bapak direktur atas waktunya. Rekan - rekan. 3 tahun bukan waktu yang singkat bagi saya untuk berada di sini. Banyak suka dan duka yang rasakan disini. Saya bukan apa - apa tanpa keberadaan dan support dari rekan - rekan disini. Maka dari itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada rekan - rekan dan kata maaf jika ada perilaku saya selama ini. Dan untuk terakhir kalinya saya Tia Humaira, izin mengundurkan diri dari perusahaan Viva La Vadela..., "
Tidak butuh waktu lama untuk si pengagum karyawan teladan itu bersedih. Air matanya mulai menetes begitu kalimat mengundurkan diri terdengar. Tawa puas sahabatnya berhenti setelah melihat beberapa air mata itu keluar. Dia berfikir sejenak dan menarik tangan sahabatnya. Dia ingin menolong sahabatnya.
" Ayo ikut gua."
" Kemana ?"Â
" Gua mau bikin lu gak menyesal seumur hidup. lu harus ungkapin sekarang sebelum terlambat."
Mereka berdua berada tepat di belakang panggung. Wajah sisa tangisan masih terlihat jelas. Si pengagum karyawan teladan itu masih diam tidak bisa berbicara.Â
Suara tepuk tangan terdengar ramai diselingi dengan beberapa teriakan dari para fans karyawan teladan, " Terima Kasih Tia Humaira." Perempuan itu turun dari panggung dan melihat laki - laki yang tersedak biji jeruk tadi bersama sahabatnya.
" Kamu ngapain disini, Arkana, Rian. Terus mata kamu kok kayak habis nangis gitu, kan ?"
Tepat sebelum mulut sahabatnya itu mengeluar kata yang membuat dia malu. Arkana lebih dulu menginjak kaki Rian.Â
" Au.., sakit tahu." bisik Rian.
Matanya melotot menunjukan isyarat supaya Rian tidak bertingkah aneh. Tapi percuma saja mulut besar Rian tidak mempan dengan pelototan mata. Mulutnya lebih tertarik dengan sebungkus nasi padang.
" Ini Arkana katanya mau ngomong sama kamu. "Â
" Oh ya, mau ngomong apa, kan ?" senyum manis mengakhiri sebuah pertanyaan yang mutlak membuat muka Arkana mendadak merah, mulut menjadi gagap, dan pandangan mata kosong. Â Hampir saja Arkana jatuh pingsan.
" Hei, hei..., hei..., Arkana !" Tia berusaha menggoyangkan badan Arkana yang sedang diam mematung sedangkan Rian hanya sibuk menahan tawa.
" Gua pergi dulu, ya. Ada sedikit urusan di rumah." sebelum Rian pergi, Arkana lebih dulu memegang tangannya. Matanya melirik dan sedikit berbisik.
" Jangan pergi, nyet. Bantuin gua." Cengkraman Arkana lebih kuat.
Rian hanya mengangguk. Sedangkan Tia melihat heran kelakuan dua sahabat itu.
" Hari ini kalian aneh banget. Sebenernya kalian berdua mau ngapain sih ?"Â
" Arkana suka sama lo." Kata Rian spontan.
" Hah..., Suka ? " mata sipit Tia tertuju ke Arkana, dia menunggu jawaban.
Arkana kaget dan spontan menggelengkan kepalanya, " Gak kok."
" Tuh kan, aneh banget kalian. udahlah aku pergi aja. aku mau beres - beres dulu. Kalau kalian udah gak aneh baru dateng lagi. Aku alergi sama orang aneh. " Tia sebel dan pergi  meninggalkan sebuah penyesalan yang mendalam di hati Arkana. Air mata itu menetes untuk kedua kalinya.
" Nih, tisu. Udah jangan nangis. Masih ada miliyaran cewek di bumi yang mungkin satu diantara mereka suka sama lu." Rian mengeluarkan tisu dari kantong celananya.Â
Ah andai saja, Rian tidak mengatakan itu. Mungkin saat ini Tia tidak marah dengan Arkana dan  dia  masih bisa mengobrol meski sudah berpisah kantor.  Kejadian itu membuat Arkana tidak percaya diri dan takut. setiap kali dia ingin menghubungi Tia. Dia selalu bertanya dalam hati " Apakah Tia masih marah ?".  Hubungan mereka menjadi renggang, tanpa kabar dan hanya menyisakan kenangan yang setiap hari muncul di benak Arkana.
Hari - hari setelah malam itu Arkana memiliki hobi baru, diam lalu tersenyum sambil memutar  ulang kejadian yang pernah ia lalui di benak pikirannya.  Setiap sudut kantor memiliki ceritanya masing - masing. Tapi hanya ada dua tempat spesial yang saat ini selalu dijadikan dikunjungi Arkana. Demi mengenang Tia.Â
Parkiran kantor Koridor b12, tempat itu spesial bagi Arkana. Hampir setiap pagi pukul 8. Arkana selalu diam sejenak sekitar lima belas menit. Hanya sekedar memandang garis kuning parkiran, tersenyum lalu pergi. Dia selalu mengenang morning habit itu.
Dulu tempat itu selalu bersandar motor scoopy warna merah dan Arkana selalu memarkirkan motor vespa hijau tuanya di samping motor itu. Sekaligus menyapa si pemilik motor tersebut lalu dibalas dengan senyuman dan obrolan ringan. Sederhana tapi Arkana suka. Itulah awal dari rasa itu tumbuh merekah hingga gugur pada saat malam perayaan itu.
" Kamu Arkana dari Divisi Content Kreative, ya ?" tanya seorang perempuan yang baru saja memarkirkan motor scoopy merah. Dia tersenyum.
" Ya, ada apa ?" Â Arkana terpana dengan perempuan tersebut. Senyum pertama yang akan selalu dikenang Arkana.
" Aku kemarin membaca cerpen kamu." Perempuan ituÂ
" Oh, ya. Cerpen yang mana ? "
" Kalau gak salah, judulnya itu Kenapa."
" Oh cerpen yang itu. Gimana menurut lu ?"
" Bagus banget ! Aku bacanya sambil ketawa, sedih, sama kesel. Apalagi bagian ending, bikin gregetan. Aku pengen jitak penulisnya. " Perempuan itu melihat ke arah Arkana dan mengepal gemas tangannya tapi tetap tersenyum manis.Â
Arkana menahan tawa melihat tingkah lucu sampai tidak sengaja menjatuhkan kunci motornya. Â
" Kamu kenapa ?"Â
" Gak kok, cuman kurang fokus aja." Arkana mengambil kunci itu dan memasukkannya ke dalam tas. Dia sedikit mencuri pandang ke senyum manis dari wajah perempuan itu, dia diam terpesona
" Nama aku Tia Humaira, panggil saja Tihum" Tia mengulurkan tangan memecahkan lamunan Arkana
Arkana  membalas dengan canggung. Dia sempat mengelap tangannya, dia takut menodai perempuan secantik Tia. Â
" Arkana Nur Ikhsan. Panggil saja Arkana." Arkana berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Dia tidak ingin pertemuan pertamanya diawali dengan buruk.
" Mulai hari ini, kita resmi berteman dan aku resmi jadi penggemar pertama kamu." Tia sangat bersemangat sedangkan Arkana dibuat diam dan terpesona untuk kedua kalinya.Â
Pagi itu adalah awal dari rutinitas basemant b12, parkiran ujung dekat tangga menuju ruangan devisi Content Kreative. Hampir setiap pagi Arkana selalu menunggu Tia datang dan memarkirkan motornya di tempat pertama kali mereka bertemu, begitu juga sebalik.
Setiap pertemuan pagi itu. Banyak topik yang dibicarakan mereka berdua, mulai dari cerpen terbaru Arkana, kejadian - kejadian lucu di Kantor, Politik dan hingga kebobrokan Ten Hag. Obrolan ringan itu selalu diselingi Senyum, tawa dan sedikit cubitan Tia. Hal receh itu selalu membuat moodboster Arkana meningkat. Â Dia menjadi lebih semangat dan lebih sering tersenyum sendiri jika mengingat senyum, tawa dan cubitan Tia.Â
" Hai, Arkana." Sapa seorang perempuan dengan blazeer hitam dengan kemeja pink muda dan celana hitam panjang. Nametag perusahaan bertulisan, Yasmin Putri Maharani / Manager Personalia.
 Arkana hanya  menoleh datar.
" Kok Rian,  gak bareng kamu. Bukannya kalian satu kos  ?"Â
" Ya gitu, masih tidur dia. Dia baru balik jam 12." Arkana keceplosan.
" Tuhkan, bohong lagi. Dasar Rian. Gitu dia mau jadi suami idaman."
Arkana diam tidak merespon Yasmin. Dia sudah tidak peduli lagi dengan Rian.
" Kok diem ? biasanya selalu peduli sama Rian." Yasmin merasa hubungan dua sahabat itu renggang.
" Tanya aja sama Rian." Arkana pergi meninggal Yasmin.Â
" Tunggu, Arkan." Yasmin mengejar Arkana.Â
Tidak hanya basement parkiran yang menjadi tempat spesial, meja sosro dekat kantin Mak Ijah juga menjadi tempat yang paling dinantikan Arkana setiap makan siang. Bukan karena makanan Mak Ijah yang enak tetapi moment makan bersama, obrolan receh bahkan beberapa ide tulisan berangkat dari obrolan sederhana dan penuh tawa.
"Tumben kamu udah duduk anteng duluan." Â Tia datang membawa semangkok bakso.Â
" udah satu jam gua duduk di sini " Jawab Arkana sambil mengunyah pare rebus.
"Hmm, pasti lagi ngelihatin Sinta." Mata Tia tertuju ke seorang perempuan dengan apron biru bunga - bunga. Dia cantik, anggun dan manis tapi dibalik pesona tersebut dia tetap cekatan melayani setiap pembeli.
" Kalau iya, kenapa ? cemburu ?"
" Gak lah, kitakan cuman teman." Tia menarik sebuah kursi yang ada di depan Arkana dan duduk di depan Arkana.Â
Arkana mendadak tersedak, batagor yang ia kunyah berubah menjadi batu keras yang terjun bebas.
" Uhuk.., uhuk." Â
" Kalau makan pelan - pelan dong, Â Nih minum dulu." Tia memberikan air mineral yang masih tersegel.
Arkana hanya diam setelah mendengar kata teman. kata itu menjadi tembok tinggi yang menghalangi perasaan Arkana. Sedangkan Tia asik memfoto menu makan siang yang selalu saja sama, bakso urat dengan ektra pedas dan nasi setengah porsi. Foto makanan itu diungah di story instagramnya dengan caption makan bakso urat biar kuat.Â
" Kamu tahu gak misteri air kencing di wastafel ?" tanya Tia memecahkan lamunan Arkana.
" Gak tahu dan gak mau tahu." jawab simple Arkana.
" Ih kepo dikit kek. Ini kan masalah besar !" Tia mulai sedikit sewot.
" Buat apa ? toh semua juga udah beres diberisih sama Pak Ali."
" Udah beres sih. Tapi kan masih menyisakan misteri besar dan si pelaku masih berkeliaran. Atau jangan - jangan kamu ya pelakunya." Mata Tia sinis.
" Lah kok gua, Setiap harikan gua pulang paling pertama dibandingkan yang lain. Lu juga sering ngeliat gua pulang duluan." Bela Arkana.
" Hmm, misteri air kencing di wastafel Viva La Vadela." Tia bergumam sambil memotong bakso urat.
" Eureka !" Teriak Arkana secara tiba - tiba. Dia baru saja mendapatkan sesuatu yang menarik.
" Ih apaan sih bikin kaget aja." Sendok berisi bakso terjatuh.
Arkana membuka buku catatan kecil dari sakunya. Dia siap menulis.
" Coba kamu ulangin kata - kata kamu yang tadi."
" Hah ! Yang mana ?"
" Tentang air kencing itu."Â
" Misteri air kencing di wastafel Viva La Vadela. yang itu ?"
" Ya itu dia ! premis baru." Arkana menulis premis itu di sebuah buku catatan kecil.
" Wih cerpen baru nih, Nanti jangan diuploud dulu ya. BIar aku yang jadi pembaca pertama." Mata Tia melirik ke buku kecil itu, dia kepo dengan apa yang ditulis Arkana.
" Ini baru premis, gua belum riset." Arkana menutup buku kecilnya. Ia tidak ingin Tia melihat lebih dalam lagi. Ada rahasia kecil yang Tia belum boleh tahu.
" Kalau masalah riset mah bisa aku bantu. Aku kan jago banget kalau masalah riset." Tia mengacungkan jempolnya ke arah Arkana sambil tersnyum khasnya.
" Riset apa kepo ? " Arkana sedikit menggoda.
" Aku ini jago riset, tanya aja ke Yasmin kalau gak percaya." Muka merah padam mulai tampak. Tia malu.
Arkana hanya tertawa kecil melihat ekpresi Tia. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk menangani kasus ini.
Itulah awal hubungan mereka semakin dekat. Mereka mulai menelusuri kasus ini dengan bertanya ke beberapa saksi kunci. Seperti Pak Ali si Office Boy yang biasa membersihkan setiap sudut kantor, Pak Rahmad si security Ambon yang garang tapi berhati Hello Panda, Pak Leo si penemu air kencing dan terakhir Sinta anaknya mak Ijah primadona kantor.Â
" Kenapa sih harus nanya Sinta ?" tanya Tia dengan nada tidak ramah.
" Ya, barangkali aja dia ada petunjuk."
" Dasar modus." Muka Tia berubah menjadi sebel sedangkan Arkana tertawa puas.
Berbagai hipotesis dari wawancara beberapa orang. seperti ulah dari hantu anak kecil belanda yang bersemayam di ruangan pak direktur, santet dari salah rival yang dititipkan oleh salah satu karyawan penghianat, dan yang paling masuk akal adalah ulah karyawan jail. Sangat sulit sekali memecahkan misteri ini. Hanya menyisakan satu petunjuk yaitu botol floridina yang tergeletak di samping wastafel.Â
" Gimana mau nyerah ? udah dua bulan nih gak ada kemajuan." Arkana terduduk lesu di tempat biasa mereka makan siang.
" No, belum saatnya." Tia masih optimis.
Misteri itu berhenti. Misteri itu belum selesai begitu juga cerpen mereka berdua. Sialnya kini mereka telah berpisah dan sekarang hanya menyisakan Arkana yang sedang terduduk di meja sosro dekat kantin Mak Ijah. Dia membuka laptop dan membuka file tulisan yang tertunda itu ditemani sepiring batagor dan sebotol air mineral.
" Arkana, kamu sibuk gak ?" Suara perempuan yang tadi pagi menghampirinya.
" Menurut lu ?" Arkana menatap perempuan itu lalu lanjut fokus menyelesaikan cerpennya.
" Boleh minta tolong gak, please !" Perempuan itu duduk di depan Arkana. Matanya penuh harapan.
" Gak, gua sibuk."
" Bener gak mau bantuin aku ? Aku punya tawaran yang menarik loh."
" Hah ?" Arkana melirik ke perempuan  itu dan berhenti sejenak menulis.
" Kalau kamu bantu aku, nanti aku kasih solusi buat masalah kamu.
Â
Â
Â
Â
.
+ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H