Perihal dunia gaib atau supranatural, saya sama sekali tidak pernah melihatnya. Jangankan melihat, merasakannya dengan bulu kuduk atau merinding pun saya tidak bisa. Akan tetapi, saya percaya bahwa "dunia lain" itu ada, bahkan nyata di balik kemampuan mata jasmani.
Di lokasi proyek calon perumahan yang sedang kami kerjakan ini juga terdapat "dunia lain"yang sama sekali tidak ingin saya pikirkan. Mau seperti apa kek, suka-suka "dunia lain" saja-lah. Peristiwa yang paling awal saya dengar, ya, robohnya Pak Demun selepas membuang hajat di sebatang jati pada suatu siang.
"Di situ memang rawan, Mas Oji," kata Pak Odang ketika saya dan Bu Lia ikut menyaksikan pekerjaan potong dan timbun (Cut and Fill) di Blok E menggunakan excavator yang dioperasionalkan oleh Handoko.
"Tapi di sini kita tidak perlu cerita deh. Kita sedang bekerja, bukannya duduk santai di teras kontrakan Bu Lia sambil minum kopi," potong Pak Odang yang tiba-tiba menoleh ke arah saya dan Bu Lia.
"Ha-ha-ha!" Saya tertawa.
Ya, mau bekerja atau mau bercerita misteri, nih? Ada-ada saja rekan-rekan saya ini.
"Sampai jam berapa nanti, Pak?" Bu Lia bertanya sambil bangkit.
"Tambah waktu sampai sebelum magrib," jawab Pak Odang yang sudah menghadap ke excavator.
***
November menurunkan hujan awal musimnya ke lokasi proyek. Saya berniat tidur di dekat proyek ketika suatu sore terjadi hujan lebat disertai halilintar yang gencar mencecar sekitar lokasi.
Di samping itu, tadi siang sepuluh pekerja baru sudah sampai di lokasi, dan beristirahat di bedeng proyek. Kemarin sore mereka datang dari kampung yang jauh sekali. Beberapa hari sebelumnya kepala pekerja datang atas ajakan Bu Lia. Keduanya langsung meninjau lokasi, bernegosiasi, dan beres.
Kedatangan sepuluh pekerja itu berarti berarti keesokan paginya saya harus berada di lokasi untuk pekerjaan awal, yaitu memasang bouwplank. Kalau berangkat dari rumah Sarwan, saya pasti kesiangan sampai ke lokasi, karena terbiasa bangun pada waktu bersiklus tetap lalu menyiapkan diri dan menempuh perjalanan yang berjarak cukup jauh sekaligus hal-hal biasa di perjalanan, semisal macet.
Hujan lebat dan kehadiran para pekerja baru untuk posisi baru di lokasi menjadi alasan utama saya untuk tidur di dekat lokasi. Juga sekali-sekali tidur di sana karena alasan situasional.
Saya sempat kebingungan untuk tidur di mana. Kamar kontrakan Pak Odang dan Degul tidak memungkinkan. Ruang tidur dan penyimpanan alat kerja untuk pengukuran dan lain-lain memadati ruangan.
"Di kontrakannya Handoko saja, Mas Oji. Kebetulan kontrakan itu dibayar oleh Sarwan per bulan," usul Bu Lia ketika saya dan Pak Odang sedang menikmati kopi sore di teras kontrakan Bu Lia.
"Ya, itu, Mas Oji," timpal Pak Odang. "Arti kata, kita tidak usah bingung soal tidur dan mandi selama bekerja di proyek."
"Oh, iya juga," sahut saya.
Seketika saya teringat pada laporan pengeluaran Bu Lia yang sudah dua kali saya kerjakan dengan komputer jinjing saya. Ada bagian yang berisi tentang pembayaran kontrakan operator excavator setiap bulan. Sementara pekerjaan Cut and Fill masih membutuhkan waktu lebih dari seratus jam (sekitar dua minggu).
***
Pkl. 19.30. Gerimis singgah di perkampungan yang sebagian sedang menjadi lokasi proyek persiapan perumahan sederhana yang kami kerjakan.
Saya masih menikmati kopi dan camilan sambil ngobrol di teras kontrakan Bu Lia. Teras yang beratap genteng tanah liat dan berlangit-langit berupa anyaman bambu yang lapuk itu sering kami manfaatkan juga untuk berdiskusi dan berkoordinasi, karena ketiadaan direksi keet di lokasi proyek, dan pengembang yang "sederhana" memang tidak menganggarkannya untuk kontraktor.
"Nanti Mas Oji bawa saja alas tidur dari karet dan bantal punya saya," tawar Bu Lia. "Nanti biar diantarkan oleh Pak Odang."
"Iya, Bu."
Malam seakan melangkah perlahan di antara gerimis yang padat dan mengaburkan pandangan ke arah persawahan tadah hujan yang sudah beralih fungsi karena dibeli oleh perusahaan penambangan batu. Tidak ada senandung serangga, kecuali tetesan sekumpulan gerimis yang menimpa kaleng dan botol plastik.
"Beginilah suasananya di sini, Mas Oji," ujar Pak Odang.
"Saya juga aslinya orang udik, Pak. Bahkan, saya pernah tinggal di rumah kakek saya yang belum tersentuh jaringan PLN. Masih mengandalkan aki untuk tipi hitam-putih, dan baterai untuk senter."
"Arti kata, Mas Oji sedang mudik selama bekerja."
"Sayangnya saya tidak bisa mencari kodok hijau dengan senter dan lampu petromax, Pak."
"Lho, 'kan, benar kata saya? Mudik selama bekerja, bukannya mudik selama berlibur. Arti kata, maknanya jelas berbeda."
"Ha-ha-ha!" Saya tertawa.
Ya, beginilah malam pertama kali saya berniat tinggal sementara di dekat lokasi, dan menikmati suasana kekeluargaan dengan rekan saya. Suasananya sangat apa adanya dan lebih akrab daripada ketika saya sekadar ngobrol lalu pulang ke rumah Sarwan.
"Sebenarnya rumah Sarwan yang Mas Oji tempati itu tidak nyaman," kata Bu Lia. "Sejak pertama dulu saya main ke sana, suasananya aneh-aneh gimana, gitu."
Saya menoleh ke Bu Lia untuk mendengarkan dengan saksama. Bu Lia pun menceritakan perihal "guna-guna" yang menyasar pada istri Sarwan sehingga mereka terpaksa pindah rumah, bahkan menyewa di tempat yang cukup jauh. Kepada Bu Lia pun Sarwan pernah menceritakan perihal ketidaksukaan istri Sarwan pada rumah mereka sendiri.
"Kok saya tidak merasakan itu, ya, Bu?"
"Karena Mas Oji bukan sasaran si pemesan guna-guna. Mas Oji juga orang baru dan tidak 'berisi'. Aman-aman saja."
Pak Odang menyambung dengan cerita dari kontrakan Bu Lia sebelum pindah ke sini. Kontrakan itu berada di belakang kantor pemasaran. Kondisi supranaturalnya tidak menyenangkan, sehingga Bu Lia pindah ke sini.
"Saya, Mas Oji," timpal Bu Lia, "beberapa kali saya terbangun dan melihat macan di depan saya. Di sana saya sering sakit-sakitan."
"Hari-hari awal menyiapkan lokasi, Degul malah kesurupan di lokasi, Mas Oji," sela Pak Odang.
"Tahu tempatnya Pak Demun roboh di bawah pohon jati, 'kan?"
"Iya, Bu, saya sudah ke sana bareng Sarwan sejak awal masuk kerja."
"Di dekat situ juga Segon pernah musibah lho."
Oh, si Segon? Ketua karang taruna kampung sekaligus sekretaris sebuah LSM lokal bisa terkena serangan gaib juga di wilayah 'kekuasaan'-nya sendiri?
Segon memang pemuda lokal, tetapi sebelum lahan proyek digarap alias masih berbentuk persawahan tadah hujan yang bersebelahan dengan kebun jati, masa kecil hingga remaja Segon sama sekali belum pernah bermain di sekitar situ. Apalagi cerita-cerita orang tua kampung mengenai wilayah keangkeran, Segon semakin enggan bermain ke situ.
Seumur-umur, baru ketika proyek mulai berlangsung, Segon pun turun ke lokasi. Patok-patok pekerjaan Cut and Fill menjadi fokusnya supaya pengelolaan tanah tidak menyerobot parit mungil sampai sebagian batas kebun jati.
Entah mengapa, ketika memantau pekerjaan Cut and Fill berada di sekitar pohon jati itu, Segon merasa ada yang aneh serta berubah dalam celananya.
Berikutnya, parit sempit dan kering di antara turap panjang dan area kebun jati itu bisa mendadak dialiri air pada musim kemarau. Bahkan, airnya berlimpah seperti sungai kecil hingga melewati kolong jembatan berbetangan hanya satu setengah meter.
Saya terheran-heran mendengar cerita Bu Lia. Meskipun percaya bahwa "dunia lain" itu nyata, tetap saja kenyataan itu sama sekali di luar logika saya.
Wah, asyik juga cerita ini, pikir saya sambil tetap memerhatikan Bu Lia.
Selain sebatang pohon jati, juga terdapat dua makam keramat yang berpagar dan bercokol sebuah pohon mahoni di tengahnya. Letaknya sekitar dua ratus meter dari pohon jati angker, beberapa puluh meter dari Blok I dan J, atau seratus meter dari Blok H dan G.
Di samping itu atau pada sudut lurus utara-selatan dengan makam keramat yang berjarak seratus meter, terdapat satu-satunya rumah yang dikelilingi persawahan tadah hujan yang belum ditanami lagi sejak kemarau silam. Itu rumah "orang pintar", kata orang kampung.
"Orang-orang kampung ini menamakan lokasi proyek dengan istilah 'Tanah Kurawa'. Tempat orang membuang mayat, apalagi masa Petrus tahun delapan puluhan."
Tanah Kurawa? Kalau ada di situ, di mana, ya, "Tanah Pandawa"? Saya mencoba untuk tidak menyuntuki sebuah misteri atau "dunia lain".Â
"Tempat robohnya Pak Demun sangat berdekatan dengan robohnya turap itu, Ji," timpal Pak Odang.
Oh, turap atau dinding penahan tanah sepanjang sembilan belas meter dan setinggi lebih enam meter pada beberapa hari lalu roboh juga dekat dengan robohnya Pak Demun sebelumnya! Saya baru tahu sekarang.
***
Pkl. 20.45. Kerai bambu di samping kiri teras terkuak. Saya, Bu Lia, dan Pak Odang menoleh ke situ. Muncul wajah Handoko sang operator excavator.
"Pak Oji, tadi saya menerima pesan dari Degul. Pak Oji mau nginap di kontrakan saya, ya?"
"Iya, Han. Tapi masih asyik di sini nih. Masih menikmati suasana malam pertama begini dengan Bu Lia dan Pak Odang."
"Han, sana bikin kopi dulu," sela Bu Lia sambil menoleh dan menunjuk meja yang berada di sisi kanan teras.
"Iya, Bu. Kebetulan ada camilan juga. Dingin dan basah bisa hangat dan kenyang."
"Kebiasaan," celetuk Pak Odang dilanjutkan dengan tertawa.
Handoko masuk dan lewat dengan sedikit membungkuk di depan kami yang duduk berjajar di kursi plastik. Aroma sabun mandi pun langsung mengusik udara.
Bu Lia melanjutkan cerita seputar kenyataan "dunia lain" di lokasi. Kali ini salah seorang tenaga harian yang bernama Pak Kalok dan bertugas membelah batu kali untuk bahan saluran drainase mengalami hal aneh.
Sebelum digarap oleh Pak Odang dan peralatan berat, lahan proyek merupakan persawahan tadah hujan. Ada ritual tertentu yang dilakukan Pak Kalok untuk masa tanam, perawatan, dan panen. Akan tetapi, sejak lahan beralih kondisi dan Pak Kalok tidak beritual lagi, kondisi kulit Pak Kalok ikut berubah, yaitu sebagian badannya bermunculan sisik.
"Barusan saya mengalami hal aneh juga, Bu," kata Handoko yang sudah duduk santai di kursi kayu sebelah saya. "Eh, bukan hanya barusan. Setiap saya lembur kemarin-kemarin, apalagi kalau gerimis."
Kemudian Handoko menceritakan satu kejadian gaib selama lembur hingga menjelang magrib. Menjelang azan, Handoko selalu mendengar suara perempuan memanggilnya. "Handoko, Handoko..."
Tak pelak Handoko langsung celingak-celinguk untuk mencari sumber suara di antara gundukan tanah berbatu dan temaram. Tidak seorang pun berada di sana selain Handoko. Pak Odang sudah pulang sejak pkl. 17.00.
Mau-tidak mau, Handoko menghentikan lemburan, lalu memutar excavatornya untuk kembali sekaligus memarkirkannya ke pangkalan yang berdekatan dengan warung proyek. Sekitar setengah jam selepas azan magrib dan makan malam, Handoko pulang ke kontrakan.
***
Pagi pertama tinggal di sekitar lokasi diawali dengan panggilan dari Bu Lia melalui jaringan seluler. Alarm reguler di ponsel saya belum berbunyi.
"Ngopi dan sarapan di sini, Mas Oji," ajak Bu Lia. "Cepetan. Sudah ditunggu Pak Odang dan Degul."
"Baik, Bu. Terima kasih. Tunggu lima menit, saya mau cuci muka dulu."
Jaringan seluler terputus. Saya bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Sementara Handoko masih meringkuk di atas alas tidur karetnya.Â
Pagi pertama berada di situ memang terasa tidak biasa bagi saya, apalagi Handoko sering mengigau ketika subuh. Biasanya, baik di rumah Sarwan maupun di rumah saya yang nun jauh, pagi selalu dibuka dengan menjerang air lalu menyeduh kopi dan menyantap roti tawar berisi mentega atau keju.
Pintu depan kontrakan yang akan saya buka pun dengan ketidakbiasaan suasana bersuara kokok ayam. Dari ruang tamu atau keluarga yang menjadi tempat parkir motornya Handoko, jelas sekali suara anak-anak, emak-emak, dan kambing.
Selamat pagi, batin saya.
Begitu pintu depan terkuak, becek berpendar sinar matahari pagi menyambut pandangan saya. Beberapa balita dan emak-emak sedang menikmati pagi. Beberapa murid SD sedang duduk untuk menunggu kawannya dan akan berangkat ke sekolah yang berjarak sekitar dua ratus meter dari kontrakan.
Dua ekor induk ayam sedang mengasuh sekaligus dan mengajari beberapa anaknya masing-masing perihal mengais-ngais tanah untuk mendapatkan sarapan. Embikan dua ekor kambing di sebuah kandang bambu berukuran 2 x 2,5 meter persegi pun seolah sambutan meriah kepada pagi yang cerah.Â
Setelah menutup pintu, saya bergegas ke kontrakan Bu Lia melalui jalan tanah di samping kanan kontrakan. Aroma kandang dan kotoran kambing menyusup ke pengendusan saya, dan mengusik ingatan saya ketika mengontrak di sebuah kampung yang berdekatan dengan sebuah lokasi proyek perumahan elite.
"Mas dulu bau kambing gara-gara ngontrak dekat kandang kambing," kata istri saya yang kembali mengiang dalam benak saya.
Ya, apa boleh buat. Kontrakan saya dulu serta belum menikah memang berdekatan dengan kandang kambing yang cukup panjang dan lebar. Kandang kambing itu tepat berada di belakang kontrakan.
Selain dekat dengan lokasi proyek, harga sewanya pun cukup murah. Mungkin karena berada di sekitar peternakan kambing. Dan aroma kambing pun langsung menyusup ke pakaian yang saya jemur.
Waktu masih pacaran, calon istri saya pernah singgah untuk menengok saya setelah pulang dari pelatihan tingkat lanjut di luar daerahnya yang sudah berstatus kota besar. Oleh sebab itu, ketika melewati kandang kambing tadi seketika saya teringat ucapan istri saya, "Bau kambing." Â
Begitulah misteri takdir. Biarpun bau kambing, toh akhirnya kami berjodoh. Kalau kini kembali berdekatan dengan kambing, toh saya sudah berstatus "Sudah menikah".
***
Di antara permukaan tanah yang becek, saya melewati beberapa rumah warga, kandang ayam di belakang rumah warga lainnya, dan kontrakan Pak Odang dan Degul. Suasana kampung memang cukup padat, meskipun jarak antara rumah tidak sampai merapat.
Dari pemberitahuan Sarwan serta pengakuan Bu Lia sendiri saya pun mengetahui bahwa Bu Lia dan Pak Odang telah menikah "di bawah tangan". Hanya dengan alasan profesionalisme, Pak Odang dan Bu Lia bersepakat untuk tidak berada dalam satu kontrakan.
Saya tidak menghiraukan perihal rumah tangga atau privasi orang lain. Yang saya hiraukan hanyalah realitas profesionalisme, dimana hubungan kami di sini adalah rekan satu tim. Saya tidak perlu menyebut "suami Ibu" ketika ngobrol dengan Bu Lia mengenai pekerjaan Pak Odang atau menyebut "istri Bapak" ketika ngobrol dengan Pak Odang mengenai pekerjaan Bu Lia.
Dunia nyata menjadi dunia lain, pikir saya sambil tersenyum ketika langkah saya kian mendekati teras samping kiri Bu Lia yang tergerai sebentang kerai bambu.
Embun dan sisa hujan masih menempel di rerumputan. Petak-petak sawah yang telah dibeli sebuah perusahaan penambang batu di depan teras kontrakan Bu Lia sudah menghijau, karena rumput bermunculan sejak awal musim hujan.
Di sana tampak sebuah gubuk beratap genteng tanah liat, dan berdinding tripleks yang dicat putih. Kata Bu Lia sewaktu pertama saya berkunjung di kontrakannya, tempat itu adalah tempat keramat, dan juru kuncinya adalah pemilik rumah kontrakan Bu Lia.
"Masuk, Mas Oji," sambut Bu Lia yang sedang duduk di kursi plastik.
"Selamat pagi."
"Ya, selamat pagi juga," sahut Pak Odang.
"Malam ngopi, pagi ngopi di kontrakan Ibu."
"Mumpung baru jam setengah tujuh, Mas Oji. Belum ada yang bekerja."
Dua kursi kayu berada di tengah dengan sajian kudapan goreng, roti tawar dan roti berisi cokelat, kelapa, srikaya, dan lain-lain. Mentega dan gula mendampingi. Tidak ketinggalan kopi dalam beberapa gelas, termasuk satu gelas bagian saya.
 "Tadi malam bisa nyenyak, Mas?"
"Nyamuknya banyak, Pak."
"Lho, kenapa tidak pakai obat nyamuk bakar?"
"Tidak ada, Bu. Saya juga tidak menyangka kalau bakal tidur bareng nyamuk."
"Biasa tidur sendiri, sih."
Saya, Pak Odang dan Bu Lia tertawa. Sementara Degul tidak terlepas dari layar ponselnya, karena selalu asyik dengan permainan game online, termasuk apabila sedang berada di lokasi, warung proyek, dan di kontrakannya.
"Selamat pagi... Bu Lia sudah bangun, belum?"
Suara seorang perempuan di balik tembok sisi kanan teras. Saya mengenali siapa pemilik suara itu.
"Sudah, Nab," jawab Bu Lia. "Ke sini saja."
Zaenab muncul sambil menebarkan senyuman. Gadis yang manis sekaligus karyawan bagian pemasaran perumahan milik pengembang itu bergerak perlahan untuk mengambil sebuah kursi plastik yang kosong di dekat samping kanan teras.
"Tumben, pagi banget?"
"Saya sengaja ke sininya pagi-pagi supaya tidak diketahui Pak Semprul," jawab Zaenab setelah meletakkan dan menduduki kursi plastik di depan Bu Lia.
"Lho, ada apa?"
"Begini, Bu. Saya sudah bekerja selama delapan bulan, tetapi belum seorang pun calon pembeli satu unit rumah. Ada beban perasaan kalau bertemu Pak Demun."
"Ya, saya maklum. Saya juga begitu. Ada beban moril."
"Nah, tadi malam bapak saya menelepon. Awalnya bapak menanyakan soal kabar dan pekerjaan saya. Lalu soal berapa unit rumah yang sudah ada peminatnya. Saya, sih, jujur saja, belum seorang pun yang datang untuk melihat, apalagi membeli."
Zainab pun mengatakan bahwa soal belum ada peminat itu sudah beberapa kali disampaikannya kepada bapaknya jika bapaknya menanyakan kabar. Beberapa hari kemarin bapaknya pernah kedatangan tamu yang masih tergolong saudara, dan dikenal sebagai "orang pintar".
"Orang pintar" itu menyarankan bapaknya dan Bu Lia melakukan sebuah ritual untuk berkompromi dan bernegosiasi dengan "penunggu" di lokasi proyek agar terbuka suasana gaibnya sehingga para calon pembeli meminati rumah-rumah di calon perumahan itu. Ritual berupa kepala kambing, dan semua biayanya ditanggung berdua oleh bapaknya dan Bu Lia.
"Gini, ya, Nab. Menurut Ibu, orang pintar itu harus mampu membuka perasaan dan pikiran Pak Demun yang berkaitan dengan harga jasa pekerjaan untuk kami, dan tidak lagi seenaknya membatalkan kontrak pekerjaan. Kalau mampu, baru nanti kita adakan selamatan."
Zaenab terdiam. Suasana mendadak senyap.
Saya tersenyum tipis sambil mengambil gelas kopi dan menyeruputnya. Tergambar di benak saya, sosok Pak Demun yang renta dan gemetar ketika menarik garis di selembar kertas tetapi masih ngotot untuk meninjau lokasi dengan berjalan kaki lalu bisa secara sepihak membatalkan pekerjaan yang sebelumnya sudah diteken bersama dengan kontrak kerja beserta gambar kerja buatannya sendiri.
***
Pagi pertama berada di lokasi setelah tidur pertama di dekat lokasi. Pkl. 07.30. Matahari bersinar dari sudut kiri.
Beberapa pekerja melintasi jalan utama lokasi yang masih berupa susunan batu tetapi sudah rapi. Ada yang berjalan kaki. Ada pula yang mengendarai motor.
Pak Odang, saya, dan Bu Lia berdiri di lahan Blok H1. Degul mengambil peralatan ukur di kontrakan. Sementara Handoko sudah menggerakkan excavatornya ke sisi kiri blok untuk menggali saluran drainase. Sebelumnya excavator "bersenam besi" sebelum memulai tugas  tepat pkl. 08.00 nanti.  Â
"Itu rumahnya, Ji," kata Bu Lia tanpa menyertakan telunjuknya.
"Ya, Bu."
Rumah "orang pintar" di tengah persawahan tadah hujan yang belum ditanami lagi. Tidak ada satu rumah lainnya di dekat rumah itu. Sekitar seratus meter di kanannya adalah makam keramat yang berpohon mahoni dan dikelilingi persawahan tadah hujan yang juga belum ditanam lagi..
Sebentar-sebentar Pak Odang melihat ke patok-patok, baik di sudut-sudut blok maupun di  lahan lainnya. Sebagian masih terikat tali rafia, meski sudah selesai dikerjakan. Memang, urusan semacam itu merupakan tugas sekaligus tanggung jawabnya.
Sementara sisa hujan kemarin sore sampai malam masih memamerkan genangan di sebagian lahan blok. Genangan paling menyebalkan terlihat di jalan yang masih berupa tanah dan sebagian galian saluran drainase yang belum tersambung ke mana-mana. Â
Tiba-tiba ponsel Pak Odang berbunyi, dan saya menoleh ke arahnya. Pak Odang langsung mengambil dari tas buluk andalannya.
"Halo?" Begitu saja Pak Odang menanggapi.
Tidak ada kelanjutan komunikasi, Pak Odang menutupnya. Kemudian ponsel berbunyi lagi, dan Pak Odang menanggapi.
Saya agak kepo. Pak Odang mengamati layar ponsel, lalu keningnya berkerut. Bu Lia masih meneruskan cerita misteri.
"Ibu menelpon saya?"
Pak Odang menghadap ke Bu Lia. Saya pun menoleh ke Bu Lia.
"Tidak."
"Lho, kok barusan ada panggilan dari nomor Ibu. Sampai tiga kali."
"Tidak, tidak, tidak."
"Tapi nomornya punya Ibu."
Berkali-kali Bu Lia mengatakan "tidak". Pak Odang tetap tidak percaya.
Saya mulai tidak nyaman berada dalam situasi semacam itu. Mungkin sudah waktunya saya untuk beranjak ke sekelompok para pekerja baru yang sedang menyiapkan peralatan bekerja di sisi kanan Blok H1.
***
Di sisi kanan Blok H1 saya mendampingi kepala kelompok yang baru untuk memasang bouwplank. Bouwplank tanpa papan. Hanya berupa potongan dan belahan bambu. Kemudian seutas benang tukang diikat pada ketinggian tertentu yang angkanya telah diterakan Pak Odang, lalu ujung lainnya ditarik ke patok bambu lainnya.
"Ikat juga di sana, Pak," kata saya. "Setelah itu ukur jarak antarbatas blok atau kavling."
Dua orang menarik meteran untuk mengukur jarak antarbatas blok. Sementara sebagian lainnya sedang mengaduk semen, membenahi galian, dan menempatkan batu belah ke pinggiran galian. Genangan air hujan belum diseruput matahari.
"Ada enam meter, tidak?"
"Lima koma delapan puluh, Pak."
"Hah?" Saya heran. "Coba ukur lagi. Harusnya enam meter pas."
Jarak antarbatas blok atau kavling di situ memang seharusnya 6 meter sebagaimana yang tertera dalam Site Plan lokasi, dan patok-patok bambu yang telah terpasang merupakan hasil pengukuran Pak Odang. Jalannya selebar 4,5 meter. Sisanya dibagi dua untuk saluran drainase di kanan-kini.
Saya menoleh ke arah Pak Odang tadi. Pak Odang sudah berpindah posisi. Kini berada di dataran tinggi yang merupakan batas lahan antara kawasan perumahan dan kawasan penambangan batu.
Kalau ukuran belum beres, Pak Odang harus ke sini, pikir saya.
"Lima koma delapan puluh, Pak."
"Sebentar, Pak. Saya mau nelpon Pak Odang dulu. Jangan sampai kita salah memasang bouwplank."
Untuk menghubungi Pak Odang, saya melakukan panggilan melalui nomor Degul. Saya tidak memiliki nomor ponsel Pak Odang, karena ponsel jadul saya rusak setelah kehujanan. Saya menggunakan ponsel yang lain, dan hanya bisa menghubungi Degul.
"Ya, Pak?"
"Gul, tolong sampaikan ke Pak Odang, ada kesalahan ukuran di Blok H1 sisi kanan. Aku masih di situ."
"Iya, Pak."
Saya menutup komunikasi, menunggu Degul menghubungi Pak Odang menggunakan HT (Handy Talky), lalu meminta kepala tukang untuk menunda pemasangan bouwplank sebelum ada keputusan dari Pak Odang mengenai ketinggiannya. Saya tidak mau terjadi kesalahan ketika pekerjan pemasangan batu dimulai. Biar sebatas ukuran dulu, dan masih bisa dikompromikan.
Selang sepuluh menit, Pak Odang dan Degul datang. Saya langsung menyampaikan persoalan.
Pak Odang bergerak ke patok satunya dan mengamati patok yang dipasangnya beberapa hari lalu. Degul bersiap-siap dengan meteran 50 meter.
"Gul, coba ukur lagi," perintah Pak Odang. "Kamu ke sana."
"Iya, Pak," sahut Degul sambil beranjak ke pinggir Blok H2.
Di sisi kiri Blok H2 sudah terpasang saluran drainase, dan bagian bawahnya terdapat genangan air hujan. Degul meletakkan ujung meteran ke sisi dalam alias batas Blok H2 sisi kiri. Pak Odang mendekatinya untuk menarik meteran ke sisi kanan Blok H1.
Saya menunggu hasil pengukuran ulang dengan berdebar-debar. Sangat riskan jika ada selisih 20 cm. saya tidak mau terjadi kesalahan ukuran, lantas lahan kavling ada yang berkurang sekitar 10-20 cm. kurang sepuluh atau dua puluh centimeter bisa menimbulkan keributan lokal dengan Pak Demun.
"Sudah pas nih. Enam meter. Lanjutkan bouwplank-nya!"
Saya dan kepala kelompok baru saling memandang dengan diam. Saya sendiri heran sekaligus merasa aneh. Mujurnya tadi bouwplank belum jadi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemasangan batu kali.
Tadi, kata anak buahnya, ukuran bentangan hanya 5,8 meter, sekarang kok bisa tepat 6 meter, ya?
*******
Ruang Lebur, Cibubur, Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H