Kedatangan sepuluh pekerja itu berarti berarti keesokan paginya saya harus berada di lokasi untuk pekerjaan awal, yaitu memasang bouwplank. Kalau berangkat dari rumah Sarwan, saya pasti kesiangan sampai ke lokasi, karena terbiasa bangun pada waktu bersiklus tetap lalu menyiapkan diri dan menempuh perjalanan yang berjarak cukup jauh sekaligus hal-hal biasa di perjalanan, semisal macet.
Hujan lebat dan kehadiran para pekerja baru untuk posisi baru di lokasi menjadi alasan utama saya untuk tidur di dekat lokasi. Juga sekali-sekali tidur di sana karena alasan situasional.
Saya sempat kebingungan untuk tidur di mana. Kamar kontrakan Pak Odang dan Degul tidak memungkinkan. Ruang tidur dan penyimpanan alat kerja untuk pengukuran dan lain-lain memadati ruangan.
"Di kontrakannya Handoko saja, Mas Oji. Kebetulan kontrakan itu dibayar oleh Sarwan per bulan," usul Bu Lia ketika saya dan Pak Odang sedang menikmati kopi sore di teras kontrakan Bu Lia.
"Ya, itu, Mas Oji," timpal Pak Odang. "Arti kata, kita tidak usah bingung soal tidur dan mandi selama bekerja di proyek."
"Oh, iya juga," sahut saya.
Seketika saya teringat pada laporan pengeluaran Bu Lia yang sudah dua kali saya kerjakan dengan komputer jinjing saya. Ada bagian yang berisi tentang pembayaran kontrakan operator excavator setiap bulan. Sementara pekerjaan Cut and Fill masih membutuhkan waktu lebih dari seratus jam (sekitar dua minggu).
***
Pkl. 19.30. Gerimis singgah di perkampungan yang sebagian sedang menjadi lokasi proyek persiapan perumahan sederhana yang kami kerjakan.
Saya masih menikmati kopi dan camilan sambil ngobrol di teras kontrakan Bu Lia. Teras yang beratap genteng tanah liat dan berlangit-langit berupa anyaman bambu yang lapuk itu sering kami manfaatkan juga untuk berdiskusi dan berkoordinasi, karena ketiadaan direksi keet di lokasi proyek, dan pengembang yang "sederhana" memang tidak menganggarkannya untuk kontraktor.
"Nanti Mas Oji bawa saja alas tidur dari karet dan bantal punya saya," tawar Bu Lia. "Nanti biar diantarkan oleh Pak Odang."