Pkl. 20.45. Kerai bambu di samping kiri teras terkuak. Saya, Bu Lia, dan Pak Odang menoleh ke situ. Muncul wajah Handoko sang operator excavator.
"Pak Oji, tadi saya menerima pesan dari Degul. Pak Oji mau nginap di kontrakan saya, ya?"
"Iya, Han. Tapi masih asyik di sini nih. Masih menikmati suasana malam pertama begini dengan Bu Lia dan Pak Odang."
"Han, sana bikin kopi dulu," sela Bu Lia sambil menoleh dan menunjuk meja yang berada di sisi kanan teras.
"Iya, Bu. Kebetulan ada camilan juga. Dingin dan basah bisa hangat dan kenyang."
"Kebiasaan," celetuk Pak Odang dilanjutkan dengan tertawa.
Handoko masuk dan lewat dengan sedikit membungkuk di depan kami yang duduk berjajar di kursi plastik. Aroma sabun mandi pun langsung mengusik udara.
Bu Lia melanjutkan cerita seputar kenyataan "dunia lain" di lokasi. Kali ini salah seorang tenaga harian yang bernama Pak Kalok dan bertugas membelah batu kali untuk bahan saluran drainase mengalami hal aneh.
Sebelum digarap oleh Pak Odang dan peralatan berat, lahan proyek merupakan persawahan tadah hujan. Ada ritual tertentu yang dilakukan Pak Kalok untuk masa tanam, perawatan, dan panen. Akan tetapi, sejak lahan beralih kondisi dan Pak Kalok tidak beritual lagi, kondisi kulit Pak Kalok ikut berubah, yaitu sebagian badannya bermunculan sisik.
"Barusan saya mengalami hal aneh juga, Bu," kata Handoko yang sudah duduk santai di kursi kayu sebelah saya. "Eh, bukan hanya barusan. Setiap saya lembur kemarin-kemarin, apalagi kalau gerimis."
Kemudian Handoko menceritakan satu kejadian gaib selama lembur hingga menjelang magrib. Menjelang azan, Handoko selalu mendengar suara perempuan memanggilnya. "Handoko, Handoko..."