Dunia nyata menjadi dunia lain, pikir saya sambil tersenyum ketika langkah saya kian mendekati teras samping kiri Bu Lia yang tergerai sebentang kerai bambu.
Embun dan sisa hujan masih menempel di rerumputan. Petak-petak sawah yang telah dibeli sebuah perusahaan penambang batu di depan teras kontrakan Bu Lia sudah menghijau, karena rumput bermunculan sejak awal musim hujan.
Di sana tampak sebuah gubuk beratap genteng tanah liat, dan berdinding tripleks yang dicat putih. Kata Bu Lia sewaktu pertama saya berkunjung di kontrakannya, tempat itu adalah tempat keramat, dan juru kuncinya adalah pemilik rumah kontrakan Bu Lia.
"Masuk, Mas Oji," sambut Bu Lia yang sedang duduk di kursi plastik.
"Selamat pagi."
"Ya, selamat pagi juga," sahut Pak Odang.
"Malam ngopi, pagi ngopi di kontrakan Ibu."
"Mumpung baru jam setengah tujuh, Mas Oji. Belum ada yang bekerja."
Dua kursi kayu berada di tengah dengan sajian kudapan goreng, roti tawar dan roti berisi cokelat, kelapa, srikaya, dan lain-lain. Mentega dan gula mendampingi. Tidak ketinggalan kopi dalam beberapa gelas, termasuk satu gelas bagian saya.
 "Tadi malam bisa nyenyak, Mas?"
"Nyamuknya banyak, Pak."