Dua ekor induk ayam sedang mengasuh sekaligus dan mengajari beberapa anaknya masing-masing perihal mengais-ngais tanah untuk mendapatkan sarapan. Embikan dua ekor kambing di sebuah kandang bambu berukuran 2 x 2,5 meter persegi pun seolah sambutan meriah kepada pagi yang cerah.Â
Setelah menutup pintu, saya bergegas ke kontrakan Bu Lia melalui jalan tanah di samping kanan kontrakan. Aroma kandang dan kotoran kambing menyusup ke pengendusan saya, dan mengusik ingatan saya ketika mengontrak di sebuah kampung yang berdekatan dengan sebuah lokasi proyek perumahan elite.
"Mas dulu bau kambing gara-gara ngontrak dekat kandang kambing," kata istri saya yang kembali mengiang dalam benak saya.
Ya, apa boleh buat. Kontrakan saya dulu serta belum menikah memang berdekatan dengan kandang kambing yang cukup panjang dan lebar. Kandang kambing itu tepat berada di belakang kontrakan.
Selain dekat dengan lokasi proyek, harga sewanya pun cukup murah. Mungkin karena berada di sekitar peternakan kambing. Dan aroma kambing pun langsung menyusup ke pakaian yang saya jemur.
Waktu masih pacaran, calon istri saya pernah singgah untuk menengok saya setelah pulang dari pelatihan tingkat lanjut di luar daerahnya yang sudah berstatus kota besar. Oleh sebab itu, ketika melewati kandang kambing tadi seketika saya teringat ucapan istri saya, "Bau kambing." Â
Begitulah misteri takdir. Biarpun bau kambing, toh akhirnya kami berjodoh. Kalau kini kembali berdekatan dengan kambing, toh saya sudah berstatus "Sudah menikah".
***
Di antara permukaan tanah yang becek, saya melewati beberapa rumah warga, kandang ayam di belakang rumah warga lainnya, dan kontrakan Pak Odang dan Degul. Suasana kampung memang cukup padat, meskipun jarak antara rumah tidak sampai merapat.
Dari pemberitahuan Sarwan serta pengakuan Bu Lia sendiri saya pun mengetahui bahwa Bu Lia dan Pak Odang telah menikah "di bawah tangan". Hanya dengan alasan profesionalisme, Pak Odang dan Bu Lia bersepakat untuk tidak berada dalam satu kontrakan.
Saya tidak menghiraukan perihal rumah tangga atau privasi orang lain. Yang saya hiraukan hanyalah realitas profesionalisme, dimana hubungan kami di sini adalah rekan satu tim. Saya tidak perlu menyebut "suami Ibu" ketika ngobrol dengan Bu Lia mengenai pekerjaan Pak Odang atau menyebut "istri Bapak" ketika ngobrol dengan Pak Odang mengenai pekerjaan Bu Lia.