Tak pelak Handoko langsung celingak-celinguk untuk mencari sumber suara di antara gundukan tanah berbatu dan temaram. Tidak seorang pun berada di sana selain Handoko. Pak Odang sudah pulang sejak pkl. 17.00.
Mau-tidak mau, Handoko menghentikan lemburan, lalu memutar excavatornya untuk kembali sekaligus memarkirkannya ke pangkalan yang berdekatan dengan warung proyek. Sekitar setengah jam selepas azan magrib dan makan malam, Handoko pulang ke kontrakan.
***
Pagi pertama tinggal di sekitar lokasi diawali dengan panggilan dari Bu Lia melalui jaringan seluler. Alarm reguler di ponsel saya belum berbunyi.
"Ngopi dan sarapan di sini, Mas Oji," ajak Bu Lia. "Cepetan. Sudah ditunggu Pak Odang dan Degul."
"Baik, Bu. Terima kasih. Tunggu lima menit, saya mau cuci muka dulu."
Jaringan seluler terputus. Saya bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Sementara Handoko masih meringkuk di atas alas tidur karetnya.Â
Pagi pertama berada di situ memang terasa tidak biasa bagi saya, apalagi Handoko sering mengigau ketika subuh. Biasanya, baik di rumah Sarwan maupun di rumah saya yang nun jauh, pagi selalu dibuka dengan menjerang air lalu menyeduh kopi dan menyantap roti tawar berisi mentega atau keju.
Pintu depan kontrakan yang akan saya buka pun dengan ketidakbiasaan suasana bersuara kokok ayam. Dari ruang tamu atau keluarga yang menjadi tempat parkir motornya Handoko, jelas sekali suara anak-anak, emak-emak, dan kambing.
Selamat pagi, batin saya.
Begitu pintu depan terkuak, becek berpendar sinar matahari pagi menyambut pandangan saya. Beberapa balita dan emak-emak sedang menikmati pagi. Beberapa murid SD sedang duduk untuk menunggu kawannya dan akan berangkat ke sekolah yang berjarak sekitar dua ratus meter dari kontrakan.