Mohon tunggu...
Funy Febrianti
Funy Febrianti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisis Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Cerpen "Umi Kalsum"

22 Januari 2018   21:26 Diperbarui: 22 Januari 2018   22:02 5955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Haji Basuni bercita-cita agar anak gadisnya itu dilamar oleh orang-orang yang berharta saja. Dan anak-anaknya itu harus menurut apa katanya. Tak boleh membantah dan membela diri.

O, Umi Kalsum ku yang manis itu, begitu benar nasibnya; keluhku. Kalau saja Haji itu tak murah tangan, takkan begini sentiment aku padanya. Sejak kejadian yang menyedihkan malam itu, lama sekali aku tak berani berjumpa dengan Umi. Melihat dia pun, tidak. Dan memang tak pernah lagi aku melihatnya. Zainab tahu hal ini. Dan betapa gairahnya ketika pada suatu hari ia datang ke rumahku dan buru-buru berkata kepadaku:

  • Kau sudah dengar kabar itu? Tanyanya.
  • Kabar apa?
  • Umi.
  • Kenapa kau tanyakan itu?
  • Maksudku... dia hamil.
  • Ha? Bicara yang benar, kau! Teriakku kaget.
  • Ssst, jangan keras-keras. Ini masih dirahasiakan, kata si Zainab. Memangnya aku bicara ngawur? Dia sudah tiga bulan!
  • Aku terenyak. O, ngeri sekali kedengarannya. Zainab masih saja memandangi mukaku. Hingga aku jadi marah:
  • Kenapa aku kau lihat seperti itu? Dan Zainab tertunduk.
  • Aku berpikir, kalau begitu benarlah apa yang dipercakapkan bapak dan ibuku kemarin.
  • Kasihan si Umi, kata Bapak.
  • Kenapa dia! Tanya ibu.
  • Ayahnya terlalu keras, sih. Kasihan dia.
  • Sampai di situ percakapan itu tak kudengar lagi. Kepada Zainab yang masih menunggu di hadapanku aku bertanya dengan gugup:
  • Dengan siapa kau tahu dia bunting?
  • Umi berkali-kali ditanyai bapaknya, tapi ia cuma nangis dan bungkam terus.
  • Lalu dia dipukuli?
  • Lantaran dia, lalu seisi rumah dipukuli semuanya.
  • Masyaallah! Lantas bagaimana?
  • Ibunya sudah ikhtiarkan pada dukun, supaya buntingnya kempes. Tapi percuma. Perut itu makin besar-besar juga.
  • Lalu, apa kata dukun itu lagi?
  • Katanya, yang berbuat itu laki-laki gemuk dan kudisan, yang dulu pernah melamar tapi ditolak oleh bapaknya.
  • Apa? Si Mursid yang bugil itu, pikirmu?
  • Itu kita tak pasti.
  • Dan umi sekarang di rumahnya?
  • Kau tahu, Haji Basuni kemarin menemui ayahmu? Zainab balik bertanya.
  • Menemui ayahku?
  • Dia berjanji mau memberi sebuah rumah dan uang yang diminta, pada siapa yang mau ngawini anaknya. Sampai hari ini Bu Haji masih menangis terus!
  • O, haji laknat. Kalau mati ia pasti digilas neraka! Kataku masygul. Zainab mengejek:
  • Kau mau?
  • Diam, kau! Bentakku, tapi Zainab dengan latahnya terus menertawai diriku.
  • Sejak hari itu pikiranku terpengaruh oleh kabar yang menyedihkan itu. Siapakah yang menduga bahwa kejadian semacam itu menimpa keluarga Haji Basuni? Menimpa Umi Kalsum yang begitu lembut? O, mustika-hidupku yang lama ku impikan dan yang hendak kurebutkan dengan sepenuh perasaanku itu, kini telah noda. Tapi bagiku Umi tetap suci. Sebab betapapun ia telah berusaha mempertahankan kemerdekaan dirinya dari kekerasan orang tuanya. Bagiku, Umi tetap zamrud dalam harapan dan kenang-kenangan. Tapi kurasakan, betapa kini aku tak tentram lagi tinggaldi rumah. Dan tak kutahu, mengapa begitu besar kesan Umi dalam hatiku, dan aku tak sanggup bebuat apa-apa.
  • Kejadian yang menimpa keluarga Haji Basuni itu mula-mula dirahasiakan orang. Tak banyak orang yang mendengar atau mengetahui, sebab memang tidak banyak orang melihat keadaan Umi dari dekat. Tapi akhirnya rahasia itu bocor juga, seperti bau bangkai meski betapapun pandai orang menutup-nutupi. Keluarga haji yang malang itu tak sanggup lagi mempertahankan rasa malunya yang besar. Menurut kabar orang-orang sekampung, pada akhir-akhir ini di rumahnya selalu terdengar orang gaduh dan rebut. Suara perempuan-perempuan yang menangis tak henti-henti hingga para tetangga merasa terganggu. Dan oleh gangguan-gangguan itu para tetangga mulai ikut campur. Mereka sama kuatir akan timbulnya sesuatu kemungkinan yang tak diharapkan.
  • Dan beberapa hari kemudian kekuatiran itu pun benar-benar menjadilah suatu kenyataan.....
  • Pada suatu malam sebelum fajar, ketika sedang enak-enaknya orang tidur, tiba-tiba terdengar dari rumah Haji Basuni jeritan orang perempuan. Keadaan jadi ribut. Tetangga-tetangga yang dekat sama datang menyaksikan apa yang kiranya telah terjadi. Juga orang-orang kedungpring yang letaknya sedikit jauh dari desa itu ikut berkerumun dan dari mulut ke mulut akhirnya peristiwa itu pun tersebarlah merata dengan cepatnya.
  • Kami serombongan kanak-kanak ikut juga ke sana dengan hati yang cemas. Terlebih aku, yang merasa punya sangkutan batin dengan salah seorang anggota keluarga itu. Betapa terkejutku manakala seseorang berteriak: Bunuh diri! Bunuh diri!
  • Dalam ketakutanku kubayangkan sebuah tubuh ramping yang sedang tergantung pada seutas tali dan sebuah wajah cantik mengeluarkan lidah dan busa. Di situ mataku kupejamkan. Aku tak sanggup melihat kemurungan langit malam itu. Sebuah cahaya menganga di arah timur. Mungkin malam itu sudah menjelang fajar.
  • Oleh kerusuhan-kerusuhan pikiran itu aku tak ikut orang-orang itu memasuki rumah Haji Basuni. Tapi sebentar ada kudengar kebenaran pikiranku tadi. Orang-orang itu menyaksikan suatu kejadian yang mengerikan: di kamar mandi Umi didapati mati tergantung!
  • O, waktu itu aku tak bisa menguasai diriku. Kepalaku terasa pusing dan mataku berkunang dalam peluh dingin yang mengaliri seluruh tubuh ku. Aku lari pulang. Sementara itu aku masih mendengar bisik seorang-seorang:
  • Dia senyum. Lalu sambung yang lain:
  • Umi melihat Tuhan.

Tapi aku hanya melihat seutas tambang keras telah menjerat leher halus itu dan menyeretnya ke kubur. Aku melihat seorang laki-laki setengah tua, berkopiah putih dengan bengisnya kemudian melemparkannya kedalam jurang.

Beberapa hari sesudah kejadian yang mengerikan itu, orang-orang kampung ramai mempercakapkan nama Haji Basuni. Dalam isi percakapan itu terasa benar nada kebencian mereka terhadap Haji yang malang itu. Tapi kini aku berpendapat lain, Haji Basuni semestinya dikasihani. Karena setidaknya ia akan dihadapkan pada bayangan ketakutan, selama hidupnya.

Demikianlah akhirnya, Umi Kalsum yang kami kagumi kecantikan dan kelembutannya itu, mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang amat menyedihkan.

Bukan saja keluarganya yang merasa kehilangan. Tapi kami, teman-temannya yang ketika hidupnya saling merebutkannya, ikut pula kehilangan.

                                                      ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun