"Baik Ki Ageng, akan saya ingat pantangan itu. Terima kasih."
Â
      Dan begitulah, Endang Sawitri pulang ke rumahnya dengan membawa keris pusaka tersebut. Begitu ia sampai di rumahnya, orang-orang sudah sibuk bergotong-royong mempersiapkan upacara merti desa (bersih desa). Sebuah tradisi syukuran sekaligus berdo`a menolak bala, yang diadakan setiap bulan Sapar (Safar) sebelum musim panen tiba. Para pria sibuk mempersiapkan tempat dan peralatan upacara. Para wanita mempersiapkan makanan dari hasil bumi untuk diarak. Keluarga Ki Demang tampak sangat sibuk, begitu pun para tetangga semuanya saling membantu.
Â
"Witri, kamu sudah pulang Nduk?" Nyi Demang melihat anaknya sampai di teras rumah.
"Iya Yung, lihatlah... Ki Ageng bersedia meminjamkan pusaka ini.?"
"Ah... syukurlah."
"Di mana Romo, Yung."
"Romomu sedang ikut rapat dengan dewan desa. Sebentar lagi juga pulang. Lebih baik sekarang kamu bantu budhe dan bulikmu dulu ya, Biyung mau ke dapur dulu." Ucap Nyi Demang seraya beranjak ke dapur. Budhe adalah panggilan bibi untuk kakak perempuan ayah dan ibu. Sedangkan bulik adalah panggilan bibi untuk adik perempuan ayah dan ibu.
Â
      Endang Sawitri pun duduk di teras bersama para bibi dan sepupunya, memotong-motong daun pisang dan menyusun makanan. Ah... keris pusaka itu agak merepotkannya. Takut juga mau diletakkan sembarangan. Pada saat itulah, Endang Sawitri lupa akan pantangan yang dikatakan oleh Ki Ageng Mangir. Keris itu ia letakkan begitu saja di atas selendang dan jariknya, tepat di pangkuannya. Semula gadis itu tak merasakan apa-apa, sampai kemudian matanya membelalak melihat keris itu berubah menjadi cahaya putih dan menghilang. Seperti... seperti masuk ke dalam perutnya. Dan ia tidak merasakan apa-apa.