Jaka Pening kembali bersedih. Itu adalah percakapan terakhir dirinya dengan ibunya ketika beliau sakit keras dan berujung kematiannya setahun yang lalu. Bahkan saat kematian ibunya pun, tak seorang pun warga desa yang sudi menolongnya. Semua mengusirnya dengan umpatan dan makian kotor saat ia mengetuk pintu rumah warga dan menangis meminta tolong, bahkan tak segan mereka melemparinya dengan batu atau mengacungkan senjata tajam. Tak seorang pun sudi mendekati gubuknya yang terletak di pinggir desa itu, apalagi menyentuh mayat ibunya, lantaran takut terkena sial. Anak itu adalah pembawa penyakit dan kesialan sejak hari kelahirannya, begitulah yang mereka pahami dari Ki Balapati, dukun yang disegani di Desa Wingit tersebut. Jaka Pening akhirnya menguburkan jasad ibunya sendirian di belakang rumahnya.
Â
Sejak saat itu sampai hari ini ia sendirian, hanya bertemankan Slamet, kerbau jantan peliharaannya sejak sang ibu masih hidup. Dan sekarang Slamet menghilang entah ke mana. Saat tadi ia menggembalakan kerbaunya itu di dekat kaki bukit usai membajak sawahnya yang tidak seberapa di dekat rumahnya, para remaja seusianya yang juga menggembalakan ternaknya melihatnya dan begitu marah. Mereka memukulinya beramai-ramai hingga ia terkapar di tanah, kemudian melemparinya dengan batu. Pada saat itulah, Slamet melarikan diri entah ke mana.
Â
"Pergi kamu dari sini! Anak haram pembawa sial."
"Jangan pernah menunjukkan wajah burukmu itu di hadapan kami, kami tidak mau ketularan penyakitmu yang menjijikkan itu!"
"Ttt..tapi... aku tidak bermaksud mendekati kalian, aku hanya... menggembalakan kerbauku di sini. Kk..kalian yang.. mendekatiku dan memukulku."
"Hei bangsat! Masih berani ngoceh ternyata."
Bugh... Plaks!
"Kau itu cuma manusia rendahan! Anak paling hina, pembawa sial. Anak setan! Kamu tidak pantas menjawab ucapan kami! Kami lebih mulia dari kamu."
"Pergi dari sini, kalau perlu tinggalkan desa ini!"