Gubuk nenek dukun beranak sungguh rapuh, atapnya ijuk dan sudah di tumbuhi tumbuhan, kayunya dari bambu yang sudah di makan rayap, halamannya di tumbuhi duri dan rumput ilalang, baunya pesing.
Kuberjalan sekeliling rumah, kulihat banyak tanaman kembang, bunga melati, puding, kemboja dan tanaman-tanaman yang banyak dtanam di perkuburan.
Aku berjalan melewati sisi samping rumah nenek, aku menuju ke dapur belakang, mana tahu nenek lagi memasak pikirku.
Aku terperanjat, tiba-tiba, aku melihat lorong nan amat panjang, aku bergumam, bukankah saat kulihat dari depan, gubuk reot ini kecil sekali ? mengapa aku berada di sebuah lorong panjang nan mencekam ? Belum habis rasa keherananku, seketika itu berhamburan kelelawar-kelelawar berwajah gadis jelita. Kelelawar itu seolah datang menjemputku, membuat tarian selamat datang, menyanyikan senandung kerinduan. Dari telinga kerumunan kelelawar, keluar tetesan-tetesan darah nan menghitam, pekat dan anyir. Dari pusatnya menjuntai-juntai usus perutnya, mengeluarkan nanah yang amat busuk sekali. Darah dan nanah itu menetes dikepalaku, aku bermandikan darah dan nanah. Mata, hidung dan mulutku berlumuran darah bercampur nanah.
Aku di kerumuni oleh para kelelawar itu, tubuhku dalam sekejab dibungkus oleh sayap-sayap kelelawar yang di tumbuhi rambut tebal. Kelelawar itu membopong tubuhku dan membawa terbang, sambil melayang-layang mereka berbisik di telingaku.
“Sukmaaa”
“Kamukah yang bernama Sukma”
“Kamu cantik sekali”
“Marii.. mariii… sukma…”
“Kita menari… bernyayi… dan bersuka ria..”
“Sukmaaaaa….”