“neneeeeeek…. mengapa wajahmu bisa seperti itu…!!”
Aku membatu, kuulangi melihat nenek dari jauh, ingin meyakinkan akan wajah nenek, yang baru saja aku lihat, apakah nenek dukun beranak seorang manusia, setan atau malaikat ? mengapa wajahnya mirip sekali dengan sosok yang pernah diceritakan oleh Ayah kepadaku ?
Aku beringsut kesudut gubuk, aku merangkak menuju dapur, aku ambil bilah kayu rotan tumpul yang banyak di dinding gubuk sebagai penopang kakiku berjalan, aku keluar. Malam gelap, petir dan kilat bersahutan, aku menggigil, pucat pasi.
Aku berusaha mencari tempat berteduh, di sebuah pohon beringin rindang, di belakang gubuk nenek. Aku bersandar, mencoba menenangkan diri, dari apa yang baru saja aku saksikan.
Aku terduduk lesu, dibatang beringin tua yang kekar, kulihat air mengalir dibawah telapak kakiku, mungkin itu air hujan yang turun lebat, pikirku, tetapi airnya tidak seperti air hujan yang mencair, airnya kental, lengket dan bau amis, karena suasana sangat gelap, tak aku hiraukan air apakah itu. Aku angkat kakiku, kunaikan keatas cabang kayu beringin, tapi kurasakan kayunya lunak sekali, tidak seperti batang kayu yang keras, lagi-lagi air kental mengalir disekujur kakiku, hingga mengalir keselangkanganku, padahal aku sudah dapat tempat berteduh yang tidak terkena air hujan. Aku ketakutan.
Aku coba mencari tempat lain disekitar batang kayu, suasana semakin gelap. Kuraba disekelilingku, setiap kumeraba tanganku terciprat air yang kental, lengket dan bau amis. Suasana semakin menyeramkan, petir bersahutan-sahutan, awan bergumpal-gumpal, sekali kali muncul cahaya dari kilatan petir, aku gemetaran, disela cahaya kilat, aku melihat kepala-kepala manusia yang bergelantungan di pohon beringin, lidahnya menjulur, matanya mengeluarkan tetesan darah merah. Aku semakin ciut dan tak karuan.
Aku berlari mencari tempat lain, belum beberapa langkah, tiba tiba aku terperosok kedalam lobang, seperti ada tarikan tangan yang menarikku kedasar perut bumi. Aku menggelinjang dan mengerang. Aku semakin terbenam, hingga mencapai leherku, sebentar lagi kepalaku bersatu dengan lobang gelap ini.
Tiba-tiba..
Kurasakan tangan dingin, lembut dan halus dengan cekatannya menarik tubuhku. Aku terpelanting keatas ranting pohon, kemudian terpapar dirumput tebal. Tak berapa lama, aku merasakan tubuhku di bopong oleh seseorang, membawaku entah kemana, kubuka mataku pelan-pelan, aku tak bisa melihat dengan terang siapa sosok yang membopongku, sekelabat kulihat ada benda di tangan kirinya, memegang biola hitam bergagang kulit kayu medang, aku terkesima, bukankah itu biola ayahku yang sering digeseknya jika hatinya gulana mengingat ibu ? aku linglung dan tak sadarkan diri.
***
Mak Raisah meratap memandang tubuh Sukma yang tergolek lesu, penuh darah dan nanah. Diambilnya air dan kain lap, dibersihkannya luka-luka dan bercak darah, nanah dan debu yang banyak lengket di tubuh Sukma. Setelah dibersihkannya, Mak Raisah kaget menatap wajah Sukma yang bercahaya, cantik sekali. Mak Raisah ingat masa mudanya, dia merasa tak jauh beda rupanya dengan gadis yang berada didepan matanya. Sambil menangis tersedu sedan, dia berbicara sendiri.