“Sambil berjalan sempoyongan di pematang sawah, ayah melihat kepala-kepala tanpa tubuh menyiringai, isi perut yang terjuntai-juntai, ada tengkorak yang bermata besar, ada mulut besar yang bertaring ular, menghalang-halangi ayah menuju rumah nenek dukun beranak. Ayah terus berjalan tanpa menghiraukan apa yang terjadi, ayah anggap semua adalah halusinasi. Saat hampir tiba dirumah dukun beranak, rumahnya berada dipinggir sungai, yang ditumbuhi semak belukar, ayah kehabisan tenaga, ayah merasa kaki ayah diliit-lilit oleh kain kafan usang yang berlumur darah, ayah jatuh kelembah sungai, ibumu tergolek tak berdaya diatas tebing.”
Kami saling terdiam, kain sarung ayah telah basah oleh air mataku, ingin aku berteriak sekuatnya, ingin berlari membelah malam mencari ibu, tetapi kekarnya tubuh ayah, sedikit menenangkanku sambil bersandar di bahunya.
“Setelah itu, ayah tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ayah mendapat cerita dari Mbok Minah, bahwa kamu diselamatkan oleh dukun beranak tersebut, yang menangis diatas tebing. Tapi malang bagi ibumu, kata Mbok Minah, ibumu mati dengan tubuh membiru terkena angina duduk.” Ayah menatap langit-langit rumah, dengan wajah hampa. Akupun larut dalam linangan air mata.
“Ayah sampai sekarang tidak bisa mengerti, jasad ibumu tidak pernah ketemu, jika mati dimana nisannya, sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Setiap hari ayah mencari ibumu, seluruh sudut kampung, pasar, ladang, goa, hutan, sungai dan rimba ayah susuri, semua hampa, tidak ada bekas ibumu berada. Sampai ayah mengikhlaskan, semoga ibumu bahagia di alam sorga.”
***
Saban hari aku selalu gelisah, aku selalu ingat ayah, ayah sering datang dalam mimpiku. Begitupun dendamku pada Kepala Desa Sadikin dan Dokter Zaldi semakin membara. Walau batang kelakiannya serasa pernah aku tebas, tetapi jasad dan kuburannya tidak ada yang tahu sampai sekarang, aku juga heran mengapa dirumah sakit masih kudengar ada suaranya ? Mati ataukah hidup mereka, aku tak tahu, namun pernah Mbak Desia mengatakan, bahwa dia pernah melihat Kepala Desa dan Dokter Zaldi berjalan ditengah pasar, duduk di warung-warung pinggir jalan. Aku merinding, darahku bergelora.
Saat ini tekadku semakin bulat, aku harus mencari tahu siapa pembunuh ayah. Aku harus membalas semua itu, aku juga harus melanjutkan usaha ayah mencari tahu dimana ibuku, jika mati dimana kuburnya, jika hidup bagaimana kabar beritanya. Semalaman aku tak tidur, aku menyusun rencana, memulai dan melangkah dari mana, aku putuskan, aku harus mencari nenek dukun beranak yang menyelamatkanku terlebih dahulu.
Aku pamit dari Mbak Desia, aku buat alasan, aku mencoba mencari pekerjaan ke daerah lain. Mbak Desia melepas dengan berat hati. Kuberjalan terlunta lunta seorang diri, aku mencari rumah nenek seperti yang diceritakan ayah kepadaku.
Dalam letih lesu, sampai juga aku dilokasi rumah nenek dukun beranak, seperti yang pernah diceritakan ayah, kuperhatikan sekelilingnya, aku sangat yakin, inilah rumah nenek dukun beranak itu. Kuketuk pintu gubuk reyot yang berada di tebing hutan.
Tuk tuk tuk..
Tidak ada sahutan yang terdengar.