“lenyaplah bersama birahi nafsumu..!!”
“enyahlah dari hidupku...!!”
Dalam pergulatan gelora birahi Kepala Desa Sadikin dan Dokter Zaldi yang membara, tanganku mendapat kesempatan menusuk tubuhnya dengan tusuk konde, kuarahkan kejantung Dokter Zaldi, seketika itu juga tubuhnya melenguh, melengking, melayang entah kemana, kuarahkan tusuk konde ke Kepala Desa Sadikin, tapi kulihat diapun tidak ada, hilang.
Remang-remang kulihat ada setitik cahaya lewat dari atap gubuk nenek, kudengar ada suara ayam hutan berkokok bersahutan. Aku raba wajahku, oh ternyata, mata, telinga, hidung dan mulutku masih ada. Kuraba badanku, okh bajuku masih menempel ditubuhku. Kupegang tanganku, nadiku masih berdetak, namun badanku serasa remuk redam, jiwaku kosong dan hampa.
Kulihat, nenek terbungkuk-bungkuk menghampiriku, dia membawa semacam air ramuan di dalam sayak, di taruh disamping dipanku, nenek memegang bahuku, dingin sekali. Sebuah gerakan badan, pertanda nenek memintaku meminum ramuan itu. Kuperhatikan sayak itu, kulihat minumannya, aku terkesiap, air itu mirip sekali dengan jamu buatan Mbok Minah yang sering menawariku. Aku semakin bingung.
***
Sudah beberapa malam aku digubuk nenek, aku penasaran, aku tak pernah melihat wajah nenek, karena wajahnya selalu ditutupi oleh rambutnya yang panjang dan selendang batik kumal yang melilitnya, yang tampak hanya bola matanya semata. Nenek tidak pernah berbicara, tetapi dia pintar berkomunikasi dengan gerak tubuhnya.
Rasa penasaranku semakin memuncak, disuatu kesempatan, saat nenek tertidur pulas, kubuka selendang yang melilit di mukanya, kupilah pelan-pelan rambut yang menutupi wajahnya, kutatap wajah nenek dukun beranak, aku terperanjat, dadaku berdegup kencang, jantungku berdetak tak karuan, aku gemetaran, lidahku kelu, keringat dinginku mengucur deras.
Aku melihat wajah nenek….
Aku melihat wajah nenek…
Ku tahan jeritanku, aku berteriak dalam hati.