“Inilah istanamu”
“Bertahun kami menunggumu”
“Sukmaaa….”
Aku dibawa terbang melayang-layang dalam lorong-lorong gubuk renta, kiri kanan terpampang wajah wajah melolong, di mulutnya berjilatan ular-ular berkepala kodok, tikus, trenggiling, dan kalajengking. Di rambutnya bergentayangan lintah-lintah besar meloncat-loncat, beberapa diantaranya melompat-lompat ke tangan, kaki dan perutku, aku merinding dan menggigil. Kemudian aku dihempaskan di atas dipan dari tulang-tulang manusia… sakit sekali.
Sambil meluruskan badanku yang kaku dan perih, samar-samar aku melihat nenek di keremangan gubuk, bersimpuh dengan mulut komat kamit, di depan sebuah nampan kayu yang penuh darah, dihiasi kembang bunga aneka warna, ada ular yang melingkar di dalamya.
Aku sapa nenek dengan terbata-bata.
“Ne..nek..?” Beliau masih khusuk dengan ritualnya, ku ulangi sekali lagi.
“Neneek..?”
“Nek..nek…?”
Belum juga ada reaksi dan jawaban, sampai kali kelima, baru nenek menoleh ke arahku, dengan terbungkuk-bungkuk nenek memegang bahuku, dingin sekali. Aku tak bisa menatap wajah nenek secara utuh, niat dan tekadku menemui nenek sudah kepalang basah, aku sudah berjuang mencari gubuk si nenek.
Aku beranikan diri membuka pembicaraan, aku ceritakan, bahwa aku adalah anak ayahku yang bernama Danang, yang dahulu saat kelahiranku, neneklah yang menyelematkanku. Sekarang ayahku sudah tiada, bersama hilangnya ibuku Savitri, sampai akhir hayat ayahku, tak diketahui kabar beritanya. Kulihat mata nenek memerah, dalam bola matanya seperti ada bayi-bayi yang meronta, nenek mendesah, bau sekali.