Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati (5 Sunset)

29 Januari 2022   20:36 Diperbarui: 29 Januari 2022   20:49 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah diceritakan oleh ayahku. Pada suatu waktu saat aku masih kecil sekira umur   6 tahun. Pulau ini telah dijadikan tempat sebagai ajang perang telur. Itu dilakukan orang-orang kampung sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta karena banyaknya sekali penyu-penyu yang mendarat untuk bertelur di pulau ini.  Perang itu banyak dihadiri oleh muda mudi karena dasarnya semua ingin merasakan suasana pesta perang telur ditempat yang eksotis tersebut. Sebelum dimulai perang telur, didahului dengan upacara adat yang pasti dipimpin oleh Datuk Emran. Ribuan telur penyu sengaja disiapkan oleh panitia kampung untuk dijadikan senjata saling lempar. Siapa saja bisa mengambil peran tanpa batasan. Saat perang berlangsung tidak ada teman, yang ada adalah setiap orang bisa menyerang dan diserang. Suasana sangat heboh dan seperti kacau balau, tetapi semua dilakukan dengan penuh kegembiraan.

Sekadar saling kejar mengejar adalah hal biasa. Itu dilakukan oleh setiap orang untuk meyakinkan agar telur mendarat dengan sempurna di seluruh bagian tubuh. Tentu tanpa kecuali termasuk wajah dan rambut.

Ada saja yang usil. Mereka telah persiapkan sejak dari rumah masing-masing dengan sengaja membawa telur-telur ayam dan itik busuk untuk dilemparkan kepada target orang yang diinginkannya. Tentunya bau super busuk yang bisa membuat kepala pusing, sekaligus dapat segera membuat isi perut keluar seketika. Siapapun akan lari terbirit-birit demi menghindari lemparan telur-telur busuk tadi. Sebaliknya mengejar dan dikejar sekuat tenaga adalah hal biasa sehingga memberikan kesan yang mendalam bagi siapa saja yang pernah mengikuti tradisi tersebut.

Tidak jarang seseorang berlari sebisa dan sekencangnya, hanya untuk dapat berlindung sesaat disemak-simak hutan pinus atau segera menyelam dipantai. Itu dilakukan terutama menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang yang sangat bersemangat melumurinya dengan telur-telur busuk yang berada dibalik kantong-kantong baju dan celananya. Untuk yang pandai berenang melarikan diri kepantai kemudian menyelam selama mungkin adalah hal yang biasa. Dapat dibayangkan cairan telur busuk tersebut jika sempat bersarang dirambut atau anggota badan kita mana saja, sehingga tidak jarang terlihat orang langsung muntah-muntah meski hanya sekadar melihatnya saja, yang pasti akan  tercium dijarak yang masih puluhan meter.

 Tetapi tidak ada rasa dendam. Perang telur berakhir saat tiada lagi telur yang jumlahnya ribuan habis dilemparkan kesiapa saja yang hadir. Perang biasanya berakhir menjelang siang. Rasa yang timbul justru kegembiraan dan akhirnya tertawa bersama. Bahagia akhirnya timbul setelah waktu perang dikatakan usai. Setelahnya adalah waktu setiap orang menikmati keindahan pantai. Baik yang hanya sekedar berjalan-jalan di pantai atau mandi sekalian membersihkan tubuh dari lumuran bau telur yang masih lengket di tubuh.

******

          “Ayo...kepantai sekarang!,” seru Fithar kepada kami semua.

            “Itu yang kami tunggu sejak tadi,” Kemala membalas sambil mengedipkan mata manjanya kepada kami berdua. Dewi hanya tersenyum seolah tidak sabar lagi untuk merasakan hangatnya air laut sore itu.

 Tidak diperlukan waktu yang lama dari kami semua untuk berlarian mendekati arah datangnya gemuruh ombak yang menghempas pantai. Jarak kepantai hanya kurang  200 meter saja, sehingga aura biru laut seperti nampak menembus diantara celah-celah pohon cemara.

“Wow biru tosca!, lihat gradasi warna yang membiru! alangkah cantiknya.” Telunjuk Kemala mengarah ke arah barat dimana deburan ombak tiada henti seolah-olah terus memanggil. Diatas langit cerah, matahari bersinar terang tanpa halangan apapun. Dewi tertawa lepas dan tersenyum kearahku seakan apa yang diinginkannya seperti telah menjadi kenyataan. Dengan berlari-lari kecil Kemala dan Dewi berusaha mendahului kami untuk menjadi orang paling pertama yang segera mencapai bibir pantai. Aku dan Fithar berjalan santai segera membuntuti mereka dari belakang.

Saat dua gadis berlarian kecil dan saling mendahului tersebut tiba-tiba terdengar

“ Gubraaakkk...!”

“Kemala!, aduuhhh...,” seru Dewi terdengar memanggil Kemala dengan suaranya seperti merintih kesakitan.

Terlihat oleh kami, tubuh Dewi jatuh kepasir karena kakinya tersangkut tali temali tumbuhan liar sesaat ia akan melompat ke batas bibir pantai pasang tertinggi.

“Dewi!, apakah kau tidak apa-apa?” teriakku sambil berlari mendekat sekencangnya . Kemudian segera kulepaskan tali rumput-rumputan liar yang melilit kaki jenjangnya. Sebelumnya Kemala yang paling dekat dengan Dewi, tidak mampu untuk mengangkat tubuh Dewi. Kemala juga masih terlihat sangat kaget dengan kejadian temannya yang mendadak terpeleset tersebut.  Aku dan Fithar secara sigap berusaha untuk membantu Dewi agar secepatnya dapat berdiri kembali .

“ Apakah kau terluka?” Fithar meyakinkan kembali. Tangannya mengecek dan melihat langsung secara teliti terutama pada bagian kaki, lengan serta lutut Dewi.

Aku segera meraih lengan Dewi yang tampak lemas dan gemetaran. Aku segera memapahnya agar ia dapat berdiri kembali. Terlihat olehku goresan luka dipergelangan kakinya sebelah kanan yang mengalirkan darah. Aku berusaha secepatnya untuk dapat menutup lukanya dengan tanganku, dengan tujuan untuk segera menghentikan darah segar yang mengalir cukup deras. Kemudian bersama Fithar, aku segera bahu membahu membantunya berjalan untuk mencari tempat duduk yang teduh.

“Fithar dan Kemala bisa duluan saja ke pantainya” pinta Dewi yang masih terlihat pucat kepada kedua temannya yang terlihat khawatir dengan keadaannya.

”Rasanya luka ini tidak akan lama ditangani oleh Dewa” sambungnya kembali  meyakinkan temannya. Aku mengangguk saja mengiyakan, dan sesekali melihat wajah Dewi yang sepertinya masih gugup dengan kejadian barusan yang dialaminya. Kemala seperti tidak rela meninggalkan Dewi yang kududukkan diibawah pohon pinus besar. Kembali aku meyakinkannya bahwa aku bisa menanganinya dengan baik.

“ Fithar bawa Kemala duluan!, aku bisa menanganinya,” kuyakinkan Fithar dan Kemala sekali lagi. Akhirnya mereka mengalah, minta izin duluan kemudian berjalan menyongsong pantai indah yang telah menunggu mereka sedari tadi.

 “Aku harus segera membersihkan lukanya” izinku kepada Dewi. Kemudian kurebahkan kakinya dengan posisi lebih tinggi diatas pasir secara hati-hati. Dewi memperhatikan wajahku dengan serius. Mungkin ia ragu dengan apa yang ingin kulakukan dengan lukanya tersebut. Tetapi aku membiarkannya saja kekhawatirannya dan terus bekerja menyelesaikan apa yang seharusnya aku lakukan.

Seperti biasa, jika ada pengunjung yang luka, akan kubersihkan lukanya sebersih mungkin dengan air minum dalam veples yang selalu kubawa dipinggangku. Untuk kemudian lukanya segera kukeringkan. Peralatan pertolongan pertama sederhana seperti: kapas, antiseptik dan plester juga pasti tersedia di saku celana saat berpergian membawa tamu-tamu berkunjung. Dewi seperti meringis saat aku membubuhkan beberapa tetes antiseptik dilukanya. Pasti akan terasa nyeri. Kemudian kuletakkan kapas dan terakhir plester agar lukanya aman dari infeksi. Sesekali perhatiannya kepada luka yang sedang kutangani dan kemudian kembali menatapku tajam. Kemungkinan ia harus memastikan bahwa aku bisa melakukan perawatan luka dengan baik.

 “Bagaimana rasanya sekarang?” tanyaku sambil melihat ekspresi wajahnya saat plester terakhir kurekatkan. Dia tersenyum lega kepadaku dan hanya mengangguk tanda setuju terhadap semua apa yang telah kukerjakan sebelumnya.

“Dewa!..apakah hal seperti ini sering kau lakukan terhadap gadis lain?” tanya Dewi tiba-tiba kepadaku tanpa aku siap menjawabnya. Apakah ini tanda-tanda cemburu seorang gadis? Fikirku, dan aku masih membiarkan saja pertanyaannya. Kemudian aku terus membalut lukanya dengan perban dan plester lebih banyak lagi.

“Beruntung orang yang menjadi teman dekatmu” sambungnya kembali. Kuberanikan menatap matanya. Terlihat seperti ia sangat serius meminta jawabanku. Aku menjadi kikuk dan rasa tidak berdaya dengan tatapannya yang seperti menusuk-nusuk jantungku paling dalam.

”Akuu...aku merasa...”, tanpa bisa kuteruskan kegugupanku menjawab pertanyaan Dewi, kemudian tiba-tiba Kemala dan Fithar dari pantai segera berlarian menghampiri kami untuk memastikan Dewi baik-baik saja setelah lukanya di perban.

“Ayo Dewi!.. cuaca cerah sore ini” ujar Fithar bersemangat meminta Dewi juga segera merapat ke pantai yang deburan ombaknya telah terlihat jelas didepan mata.

“Airnya lautnya jernih dan terasa hangat dikaki,” balas Kemala tidak mau kalah, dimana bajunya tampak basah karena baru saja bermain air.  

“Kita kesana, tapi aku berjalan pelan saja” jawab Dewi sambil kembali menolehku yang seolah tidak sabar juga untuk menjejakkan kakinya ke air laut yang bergemuruh menghantam pantai. Segera tangannya di ulurkan kepadaku dan perlahan kami berjalan menuju Fithar dan Kemala yang sebelumnya telah kembali berlari kecil mendahului kami.

Tiada kata yang bisa melukiskan bagaimana bahagianya hatiku. Bisa melihat Dewi saja sudah sangat membahagiakan. Apalagi sampai bisa berjalan beriringan sambil menggenggam tangannya yang hangat. Ia kugiring berjalan santai kepantai dengan angin, pasir serta air laut biru yang siap menyambut penuh suka cita.

Sepertinya Fithar dan Kemala juga dengan sengaja memberiku kesempatan yang luas untuk mengenal Dewi lebih jauh. Kami meninggalkan pola kaki masing-masing di sepanjang pantai berpasir yang landai itu. Pola jejak kakiku yang beriringan dengan Dewi kuharapkan berujung pada suatu titik yang membawa kebahagiaan bagi kami.

Tetapi alam bawah sadarku sepertinya langsung bekerja menyadarkanku. Pesan emak seperti langsung bekerja secara otomatis dikepalaku agar aku mengambil jarak dengan Dewi. Sungguh fikiran yang cukup mengangguku.

 Seperti sebelumnya, saat aku mulai beranjak dewasa dan melanjutkan pendidikan sekolah menengah dikota. Emak pernah mengatakan kepadaku agar selalu mengerjakan ibadah wajib lima kali sehari, bersikap jujur dan selalu berbuat baik kepada orang lain adalah beberapa pesan yang masih terngiang-ngiang ditelingaku.

Tetapi pesan yang dikatakan terakhir kepadaku sebelum berangkat ke Pulau Penyu agar aku menghindari dua gadis cantik ini adalah sebuah pesan yang sangat janggal dan aneh. Seperti bukan emak yang kukenal selama ini.

Mungkin emak tidak tahu. Justru dua gadis tersebutlah yang mampu menyibak kembali naluri kelaki-lakianku yang selama ini dingin kepada lawan jenis. Disebabkan terutama oleh Amarilis Dewi adalah seorang yang sangat mengundang ketertarikan yang besar bagiku. Bahkan dapat kukatakan ia telah mampu meruntuhkan tembok besar kebekuanku selama ini terhadap lawan jenis.  Mungkin emak mengkhawatirkanku yaitu ,tidak ingin nanti anaknya seperti pungguk merindukan bulan, dikarenakan aku tidak sederajat dengan gadis kota yang orang berpendidkan dan berpunya?

Tetapi rasanya saat ini, perasaan dan jiwaku seperti telah terbelenggu oleh seorang gadis anggun bernama Amarilis Dewi. Bukan juga karena ia seanggun emak sewaktu muda. Tetapi, sejak pertemuan pertama, Dewi yang bicaranya agak sedikit dibanding temannya Kemala, telah mampu memberikan getar-getar rasa untuk menyukai seseorang pujaan hati yang selama ini membeku.

 Bahkan secara sadar terucap langsung didepan emak sebelumnya dimana aku menyukai Dewi, gadis kota yang baru saja datang itu. Hal terberat saat ini justru aku adalah termasuk tipe orang yang sangat tidak ingin melanggar nasehat orang tua. Sejak kecil, sangat pantang begiku melanggar pantang larang orang tua terutama emak. Sehingga saat ini, rasanya aku berada dipersimpangan jalan dan harus memilih.

Sepertinya, perasaanku kepada Dewi tidak dapat disembunyikan, demikian juga perasaan Dewi kepadaku. Kurasa aku tidak bertepuk sebelah tangan. Sorot matanya yang teduh sangat  penuh arti, seakan memberikan harapan besar kepadaku. Kata hati tidak pernah berbohong dan akan selalu jujur. Tambahan lagi, Dewi juga tampak membuka diri akan keberadaanku di sampingnya.

Masalahnya aku tidak tahu harus mulai darimana pernyataan suka itu, karena memang kuakui sangat lugu dan tidak berpengalaman sama sekali. Apakah dengan saling menyukai dalam diam akan membuat kami sepakat saling mencintai. Bukankah senyumnya dan gerak gerik tubuhnya selama ini telah memperlihatkan Dewi menyukaiku lebih dari biasa. Tetapi cukupkah baginya untuk meyakinkan bahwa ketertarikanku hanya dengan isyarat-isyarat mata dan senyuman. Ataukah dia menginginkan ada tindakan-tindakan lain seperti kata-kata yang jelas yang meluncur dari mulutku yang sering kelu jika berhadapan langsung dengannya?. Fikiran-fikiran tersebut terus berkecamuk didalam benakku, yang aku sendiri tidak tahu untuk menjawabnya. Atau mungkin waktulah yang akan menentukan semuanya nanti.

Terlihat keceriaan menyambut sunset, semuanya seperti sibuk dengan caranya masing-masing. Fithar dan Kemala sepertinya tidak bosan-bosannya bermain air. Terkadang mereka menceburkan diri mereka dengan sengaja di air, sekadar untuk membasahkan diri dan berenang dipantai yang dangkal. Sesekali badan mereka dibiarkannya berguling-guling dihempas gelombang yang menggulung tinggi

Sedangkan aku saat ini masih mendampingi Dewi. Kami hanya duduk-duduk saja di ujung hempasan gelombang sambil memperhatikan Fithar dan Kemala yang tertawa lepas saat badan-badan mereka dihempas gelombang tiada henti.

 “Ayo kita ke sana juga!” ajak Dewi tiba-tiba sembari tersenyum. Ia terlihat sangat ingin lebih mendekat dan bergabung dengan dua temannya yang sudah lebih dulu berbasah ria itu.

“Tapi kakimu ….!” Sambil aku melirik lukanya kembali dengan serius karena khawatir luka itu akan semakin terasa nyeri ketika bertemu dengan air laut yang asin. Namun, tak kusangka Dewi tetap berusaha memaksa.

 “Aku sudah tidak apa-apa, ayo...! aku mau main air,” disebabkan keinginannya yang kuat. Aku menyerah. Aku menggandengnya menghampiri Fithar dan Kemala.

Segera saja semua kami menjadi basah terciprat gelombang besar yang menghempas pantai. Sesekali Dewi mulai bekejar-kejaran dengan Kemala dan juga aku. Sepertinya dia lupa, ada luka dikakinya yang kupastikan masih terasa nyeri. Tetapi, tarikan untuk bermain gelombang laut dengan pasir putihnya yang lembut sangat tidak mungkin untuk dilewatkannya.

 Sesekali aku mendapatkan rammis[1](Meretrix meretrix L). Hewan sejenis kerang pipih itu muncul saat gelombang menghempas pantai. Sekawanan kerang kecil tersebut terlihat berebutan masuk menggali pasir, terutama sesaat air gelombang kembali surut turun menjauhi pantai. Hewan yang biasanya dibuat asinan oleh orang kampung untuk kemudian dikonsumsi sebagai lauk yang terasa lezat dilidah. Diperlukan kejelian mata dan kecepatan tangan untuk segera menangkapnya sebelum hewan tersebut menggali pasir dengan kecepatan hanya dalam hitungan detik.

 

 Berlarian kesana kemari dan saling mencipratkan air adalah lumrah di tempat seperti ini. Aku dan Dewi beberapa kali tanpa sadar bahkan saling lempar pasir ditubuh masing-masing. Kemudian kembali berenang ke air yg terasa hangat ditubuh. Sehangat asaku  bersama Dewi disore itu. Ternyata permainan air telah mengurangi kecanggunganku sebelumnya.

 

“Jangan Dewa!” teriak Dewi beberapa kali sambil tertawa yang tidak tertahankan, sambil ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya, sedang telunjuk tangan kanannya berkali-kali digoyangnya kekiri dan kanan. Isyarat agar aku menghentikan lemparan pasir yang mendarat ditubuhnya berkali-kali yang sudah basah kuyup. Meskipun, tetap beberapa kali kulanjutkan lemparan-lemparan itu, sambil berlarian dan saling kejar yang tak terhindarkan. Sedang Kemala dan Fithar kulihat sama saja situasinya. Mereka saling berteriak, bersenda gurau sambil bermain air dan pasir. Terlihat mereka sangat asyik dan menikmati pantai seutuhnya.Waktu terasa berlalu begitu cepat.

 

 Tidak kumungkiri dipantai inilah aku semakin menyadari yang Amarilis Dewi tidak hanya mengikatku secara rasa, tetapi ia juga sangat menarik secara lahiriah. Sifatnya yang terbuka dan sangat perhatian rasanya sangat cocok dengan diriku yang tertutup. Kadang ia terlihat sangat ingin meringankan beban tugasku meski kadang caranya pun ia tidak tahu. Sifat keterusterangannya, justru telah membuatku merasa jatuh hati kepadanya.

 

Aku hanya bisa menyimpan didalam hati. Hal yang menjadi pertanyaan besar yang selalu bermain dikepalaku yaitu apakah sifatnya tersebut juga sama ke orang lain selain aku? Atau aku yang justru lagi geer...karena lagi merasa jatuh cinta. Tentunya besar harapanku, Dewi juga menaruh hati kepadaku. Sehingga sempurnalah hidupku yang selama ini belum pernah mengalami apa rasanya jatuh cinta. Kadang aku dikatakan teman sewaktu SMA dulu adalah manusia bodoh, karena tidak mau memanfaatkan fisikku yang cukup menarik gadis-gadis satu sekolah. Disaat itu banyak gadis yang menyukaiku secara terang-terangan maupun secara diam-diam.

 

Sebagai seorang lelaki dewasa normal, tentunya siapapun akan teramat ingin menjalin pertemanan spesial dengan Dewi. Meskipun bagiku saat ini, kondisi yang ada didepan mataku sekarang, sudah dapat kukatakan lebih dari cukup. Daripada aku berharap lebih kepada gadis kota itu. Karena mungkin saja Dewi nya sudah mempunyai pacar di kampus nya.

 

 Berbeda dengan Dewi, Kemala yang tampak selalu tersenyum. Pembawaannya aktif dan kelihatan selalu bercengkrama dengan Fithar. Kiranya tidak salah aku menduga dialah pacar Fithar yang sebenarnya. Tampak sering dengan sengaja mereka membiarkan Dewi mendekatiku, sedang Kemala sendiri akhirnya lebih banyak kembali bercengkrama dengan Fithar.

 

“Fithar...ayo!” beberapa kali ajakan Kemala kepada Fithar agar kembali berlari menjauhi kami. Itulah cara mereka dengan sengaja untuk memberikan kesempatan kepadaku untuk lebih mengakrabkan diri bersama Dewi. Tetapi aku tetap merasa sangat kaku. Meski perasaan untuk selalu dekat secara fisik dengan Dewi tidak dapat kupungkiri. Sampai akhirnya aku merasa, terlukanya Dewi adalah suatu keberuntungan sebagai pintu masukku untuk bisa lebih mendekatkan diri bersamanya. Satu skenario yang sempurna, fikirku.

 

         Senja yang terasa sangat romantis. Matahari tenggelam. Tampak rona merah berwarna emas diufuk barat. Angin laut senja itu mulai terasa dingin menerpa tubuh. Disampingku Dewi duduk diatas pasir pantai dengan wajah seperti berseri-seri. Ia berselonjor kaki sambil menikmati suasana sunset. Ia membiarkan saja kedua kakinya yang kadang digulung dan dihempas gelombang pantai tiada henti.Gadis cantik yang terluka disampingku ini juga tampak kelelahan karena sedari tadi berlarian bermain ombak. Tetapi sepertinya tidak terasa lagi perih luka yang dirasakannya.

 

Kemala dan Fithar nun disana juga terlihat duduk berdekatan.Kadang terlihat kaki-kaki mereka berselonjor santai, terkadang terlihat juga salah satu kaki mereka ditekuk keatas dengan kedua tangan seperti tegak bersandar menahan tubuhnya ke pasir pantai. Terlihat sangat rileks. Mereka seperti terlibat dalam perbincangan akrab. Sekali-sekali matanya melirik kearah kami. Merekapun terlihat membiarkan diri dihantam oleh deburan ombak yang terasa semakin meninggi. Dingin menusuk mulai menghantam tubuh. Hembusan angin laut mulai berhembus kencang setelah senja menghilang.

 

Sekarang Dewi juga terlihat menggigil kedinginan. Rambutnya yang sebelumnya basah kini telah kembali mengering. Angin sepertinya telah menjadi mesin pengering rambut yang cukup ampuh buatnya.

 

 Aku memberanikan diri merapatkan diri untuk duduk disamping Dewi. Niatku untuk meyakinkan diriku, bahwa ia sedang baik-baik saja. Kembali kukumpulkan sisa-sisa keberanianku yang selama ini entah berserak kemana, dengan membuka pembicaraan sekadarnya.

 

“Bagaimana perasaanmu tentang sunset barusan, Dewi?” basa basiku membuka pembicaraan sambil mataku menatap kearah laut yang langitnya telah gelap.

 

“Indah, Dewa!..sangat mempesona,” suaranya agak tercekat sebentar ”bahkan lebih dari yang diceritakan oleh mereka yang datang kesini sebelumnya,”sambung Dewi yang tatapannya seolah hanya tertancap dititik matahari sebelumnya menghilang beberapa menit sebelumnya.

 

”Orang-orang terluka sepertiku tadi, Apakah kau perlakukan sama?” tanyanya tenang tetapi tetap bernada menyelidik.

 

“Maksudnya?”  balasku sambil berusaha kembali untuk memahami pertanyaannya lebih baik lagi.

 

“Gadis yang datang kesini dan terluka, apakah selalu kau perlakukan sama sepertiku?” Dewi menatapku dalam suasana temaram sebelum bulan benar-benar menampakkan cahayanya.

 

“Aku...akan melakukan apapun sebisa dan semampuku,” aku memberanikan menjawab dengan percaya diri sambil menatap kembali wajahnya yang nampak gelisah dengan jawabanku yang belum tuntas.

 

”Tetapi saat ini terasa berbeda. Rasa yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.” jawabku lagi melanjutkannya sambil memberanikan diri dan berusaha untuk jujur.

 

“Dewa!” jelas aku mendengar dia memanggilku. Justru membuatku penasaran dan ingin tahu kelanjutan perkataan yang akan keluar dari bibirnya yang mulai tampak gemetar kedinginan.

 

“Sejak pertama melihatmu rasanya ada yang berbeda” sambungnya percaya diri. Dewi kembali menatapku sejenak kemudian memandang jauh ke laut lepas.

 

“Tetapi!” Dengan nada tinggi, Dewi seperti tersentak tanpa bisa melanjutkan kata-katanya lagi.

 

“Sepertinya!” aku menyela katanya yang terputus tidak berujung meski rasanya lidahku kelu dan berat untuk dapat melanjutkannya kata-kataku.

 

“Seperti apa Dewa?” Balasnya seperti tidak sabar ingin segera tahu kalimatku yang belum selesai itu.

 

 “Perlu kau tahu, a..ku tidak pernah merasakan, rasa yang saat ini kurasakan!” aku memerlukan dorongan luar biasa untuk mengatakannya.

 

“Rasa yang membuatku selalu bahagia, meski sekadar melihatmu saja,”kataku terasa berat. Hatiku terdorong kuat sekali ingin mengatakan apa adanya. Dan terasa badan melayang layang ringan keudara setelah meluahkan semuanya

 

 Wajahnya Dewi terlihat tersenyum lega, mendengar apa yang baru saja kukatakan .Rambutnya yang sedikit terurai menutupi daun telinganya dibetulkan sekenanya dengan jari telunjuknya. Tampak ia lega.

 

Seorang Amarilis Dewi, gadis kota tersebut tiba-tiba meraih tanganku. Masih belum lepas keterkejutanku. Ia kemudian menyandarkan dirinya dibahuku. Suatu pengalaman terindah sepanjang hidupku. Tiada rasa yang dapat melukiskan kebahagiaan hatiku. Relung-relung hatiku terasa damai. Bunga beraneka warna terasa berjatuhan dari atas langit secara tiba-tiba.

 

Apakah itu yang dikatakan jatuh cinta? karena aku sendiri tidak tahu apa artinya jatuh cinta sebelumnya!. Deburan ombak yang terus menghantam kaki-kaki kami seakan menjadi saksi dua muda mudi sedang mengabadikan kebahagiaannya. Angin laut berhembus semakin mendinginkan tubuh-tubuh. Menjadikan kami berdua lebih dekat lagi. Udara disekeliling juga terasa menjadi dingin. Tetapi tidak untuk hati kami berdua, yang justru menghangat dibawah belaian angin malam yang terasa sepoi-sepoi itu.

 

Fithar dan Kemala seolah tahu, yang kami lagi sedang bersefakat untuk secara jujur memadu hati diri kami masing-masing. Tidak tampak mereka ingin mendekat. Bahkan, mereka seolah menjaga jarak nun disana yang tampak siluetnya saja.

 

Waktu seperti berayun pelan. Kebersamaan yang aku tidak ingin cepat berlalu. Memang tidak banyak kata-kata yang dapat terucap saat ini. Sekali waktu ada saatnya Dewi melirik mataku. Darah mudaku serasa bergelegak seiring dengan degup jantung seolah berlari kencang. Hentakan jantungku seolah berkejaran dengan deru ombak yang menghempas tiada henti. Aku merasa terbawa melambung kelangit ketujuh. Dibawah temaram malam yang sebentar lagi berganti dengan cahaya bulan purnama. Aku merasa yakin, Dewi adalah gadis yang dikirim khusus untuk mengisi hatiku yang sebelumnya hampa.

 

“Apakah didepanku ini manusia atau bidadari turun dari kayangan?” kadang aku membatin dalam hati. Dengan balutan busana putih tipis yang penuh dengan baluran pasir putih justru menambah daya pikatnya. Tanpa bisa kukendalikan serta tanpa kusadari, tiba-tiba saju aku mendaratkan ciuman tipis ke bibirnya. Terasa tersengat listrik. Sampai aku menyadari itulah ciuman pertamaku. Dewi gadis kota, kembali dengan lembut membalas aksi ciuman nekatku. Aksi nekat yang selama ini aku hanya bisa dengar dengan sangat lugu dari cerita-cerita teman pria sekelasku di SMA, yang dengan sengaja seperti ingin memanasi hatiku saja.

 

“Maafkan aku, Dewi!” ungkapku setelah tiba-tiba aku tersadar dari aksi keberandalanku yang muncul tiba-tiba. Dewi tidak menjawab. Hanya sorot mata teduhnya saja yang kembali menembus sampai kejantungku yang terdalam.

 

Kemudian kami melanjutkan obrolan-obrolan ringan. Kuketahui kemudian bahwa umur Dewi beberapa tahun berada diatasku. Amarilis Dewi juga bercerita bahwa mereka bertiga adalah bagian dari kelompok pecinta alam kampus.Waktu libur kuliah pasti dihabiskan ketempat-tempat yang alamnya sangat menantang untuk di jelajahi. Dari obrolan ringan tersebut akhirnya aku mengetahui dimana Fithar dan Kemala adalah teman akrab sejak kecil. Tetapi Dewi sendiri mengakui tidak tahu, apakah hubungan mereka sampai ketahap yang lebih jauh atau hanya sekedar teman baik yang cocok dalam segala hal.

 

Sepanjang pembicaraan aku hanya banyak mendengar dan akan bertanya seperlunya saja. Rasanya ingin kuketahui apakah Dewi mempunyai pacar dikampus, tetapi mulutku masih seperti terkunci untuk mengatakannya. Hingga pada saatnya justru Dewi yang balik bertanya

 

”Dewa, adakah pujaan hatimu selama ini?”

 

”Belum” jawabku singkat sekaligus lugu namun tegas. Aku percaya diri sekali untuk pertanyaan tersebut.

 

”Rasanya tidak mungkin kau belum mempunyai pujaan hati?” kata Dewi yang meragukan jawabanku.

 

“ Aku belum punya keberanian” jawabku singkat padat, seperti seorang prajurit yang harus menjawab tegas komandannya.

 

“Tiada apa yang kurang denganmu, Dewa” sambil Dewi kembali menatapku dalam, “tentunya banyak gadis yang sangat menginginkanmu menjadi pujaan hatinya,” terdengar tenang dan teduh kata-katanya ditelinga.

 

 Sebenarnya aku merasa tertekan dicecar oleh pertanyaan dan pernyataan yang pernah emak juga sampaikan sebelumnya kepadaku. Tetapi kali ini sangat berbeda. Sekarang disampaikan didepanku secara langsung oleh seseorang gadis yang justru aku mempunyai hasrat yang sangat tinggi untuk bisa memilikinya.

 

”Aku tidak tahu, tetapi baru kali ini aku merasa  hatiku damai berada disamping seorang gadis” jawabku dengan emosi mulai agak terkontrol, kulirik ekspresi wajahnya sedikit terperangah. Aku sedikit kaget, mungkin aku disangkanya sedang menggombal seperti pemuda playboy yang pernah dikenalnya. 

 

“Jujur kuakui kaulah gadis pertama, dimana perasaanku langsung kuluahkan” ungkapku yang sekarang merasa semakin percaya diri sekaligus ingin berusaha jujur. Bahkan inilah pengalaman pertamaku memberanikan diri untuk berbicara dari hati ke hati dengan seorang gadis.

 

”Dari awal perjumpaan, kulihat kau sangat berbeda dari pemuda lainnya,” kata Dewi yang sejenak kemudian Dewi terdiam. Ia seperti mengambil nafas dalam, untuk kemudian melanjutkan ucapannya, “memang sepertinya banyak beban yang harus kau tanggung, Dewa!” kata-kata Dewi meluncur perlahan seperti berusaha menyelami apa yang sedang terjadi denganku saat ini.

 

Rasanya sulit bagiku untuk menjelaskannya panjang lebar kepada Dewi, sampai akhirnya keluarlah kata-kataku.

 

“Rasa yang selalu kutahan, sampai aku melihatmu untuk pertamakali” Dewi kembali melirik wajahku dengan tatapan tanda tanya.

 

 “Selalu menahan diri untuk tidak jatuh hati kepada seorang gadis manapun,” sambungku

 

“Kenapa?, apa yang membuatmu seperti itu?”sepertinya Dewi bertambah penasaran.

 

 “Meskipun gadis itu menurutku sudah sangat terasa cocok, tetapi tetap kutahan sekuat tenaga rasa itu!” kata-kataku mulai teratur pelan menjelaskannya.

 

Setiap menghadapi situasi yang sama. Seperti saat ini bersama Amarilis Dewi. Segera terbayang aku akan pesan emak.Beliau suatu ketika pernah menceritakan rahasia terbesarnya. Dan merupakan pesan penting khusus buatku. Bagiku cerita rahasiaku yang seharusnya kusimpan rapat.

 

Sebuah cerita yang disampaikan saat aku beranjak remaja sekitar umur 13 tahunan. Saat itu, banyak hal informasi dari emak masih banyak yang belum kumengerti. Tetapi akhirnya aku dapat mengambil kesimpulan. Bahwa aku harus berusaha sekuat tenaga untuk menutup hatiku kepada lawan jenisku. Ditujukan terutama untuk kebaikanku dan gadis yang menyukaiku. Meskipun akhirnya pasti mereka tidak akan bisa memahami alasan-alasan yang diberikan.

 

Sekali lagi emak dengan tegas memintaku untuk sekuat tenaga menghindari jatuh cinta kepada gadis yang menyukaiku.

 

“Janganlah kau mencintai seorang gadis, Nak!” muka emak pucat pasi saat menyampaikannya. Bagiku sebuah pesan yang sangat tidak masuk akal, sekaligus seperti betapa seriusnya masalah yang sedang dihadapinya.

 

“Emak ini!, asalnya dari negeri kebanaran[2]”

 

“Mak..Emak tetaplah yang terbaik,” balasku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Sebenarnya aku sendiri masih tidak mengerti mengingat usia beliaku. Tetapi yang terpenting aku dan kami sekeluarga tetap menyayanginya sampai kapanpun.

 

“Titisan darah emaklah yang mengakibatkan ayah dan adikmu mungkin belum kembali,” emak seperti tampak meratapi nasibnya disuatu sore menjelang hari raya diesok pagi.

 

Diceritakan bahwa hal tersebut adalah karena titisan darahku adalah berasal dari dari negeri tinggi, yang nantinya akan membawa akibat tidak baik kepada pasanganku nantinya. Bisa kehilangan atau kematian yang menjemput dengan berbagai cara.

 

Emak tidak ingin nasibku harus menanggung beban, seperti yang ditanggungnya saat ini. Dimana suami dan dua anaknya yang belum kembali seperti hilang ditelan bumi. Tidak seperti tetanggaku yang bersukacita saat menjelang hari raya. Semua orang-orang dari perantauan akan kembali merayakan bersama, hari kemenangan yang sangat ditunggu-tunggu. Sebaliknya emak, seperti menjadi orang yang paling merana. Ia menaggung kerinduan tiada berujung kepada ayah dan adik laki-lakiku. Sedang kakak perempuanku satu-satunya juga lagi tengah berjuang mengadu nasib kenegri tetangga untuk membantu memperbaiki kehidupan keluarga.

 

Waktu terus berlalu. Tak terasa air yang sebelumnya pasang tinggi sore tadi, sekarang sudah tampak surut menjauh dari tempat kami duduk.

 

 “Sebaiknya kita segera balik ketenda” Fithar memanggil kami. Kemudian Kemala berlari kecil mendekati kami dan langsung mengambil posisi duduk disamping Dewi.

 

”Badanku juga terasa menggigil,” ucap Dewi. Wajahnya pucat kedinginan karena hembusan angin malam yang semakin kencang. Langsung kuulurkan tanganku untuk membantu Dewi berdiri.

 

”Sini kubantu berdiri!” tanganku langsung memegang lengan Dewi agar ia dapat berdiri dengan baik. Karena ia sangat kedinginan, sepertinya ia tidak bisa berdiri sempurna meskipun ia terus berusaha untuk dapat berdiri tegak sempurna. Kemala kemudian memintaku untuk memapahnya agar Dewi dapat berjalan pelan menuju tenda.

 

“Dewa, tolong bantu Dewi menuju tenda ya!” pinta Kemala dengan sopan dengan suaranya yang terdengar manja.

 

“Iya, siap!” jawabku sigap dan bersemangat sambil mengepalkan tanganku seperti  mengucapkan untuk pekik merdeka. Kemudian kupersilakan mereka mendahului.

 

Fithar dan Kemala kembali berlarian kecil saling dahulu mendahului, untuk segera menjadi orang pertama yang bisa mencapai tenda.

 

            Tak terhindarkan lagi, badan kami yang sama-sama kedinginan secara reflek menjadi tambah saling berdempetan untuk membantu mengurangi rasa dingin hembusan angin laut. Secara tidak sengaja tubuh kami semakin merapat. Kemudian reaksi dalam tubuhku terjadi. Jantungku tambah berdegup kencang. Disaat bersamaan badan hangat Dewi terasa  menyatu ditubuhku. Darah mudaku seperti kembali berdesir. Akhirnya dorongan liar dari dalam hatiku yang sangat kuat tanpa dapat kukontrol lagi. Aku kembali mengecup bibir Dewi yang masih terlihat gemetar kedinginan. Gayung bersambut, ia meraih dua tanganku dan langsung melingkarkan kedua tanganku dipinggangnya. Tiba-tiba hangat menjalar keseluruh tubuh. Kami terjebak dalam pergaulan muda mudi yang sebelumnya belum pernah kualami. Sebuah ciuman sesaat anak muda yang sangat memabukkan. Gelora cinta yang sedang disaksikan oleh cahaya bulan purnama dengan suara ombak yang menderu-deru tiada henti.

 

            Terus kupapah Dewi berjalan pelan menuju tenda. Rasa saat ini kuakui dimana aku sedang mengalami apa yang namanya rasa sayang dan ingin memiliki yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sambil berjalan menuju tenda, Amarilis Dewi kembali menatapku sejenak dan meminta kesediaanku agar menambah erat peganganku ketubuhnya yang kembali mulai menghangat, meskipun pakaiannya dibeberapa bagian masih terasa basah dan berlumur pasir dimana-mana.

 

Segera kembali aku tersadar akan pesan emak. Kemudian aku berusaha mulai sedikit membuat badanku berjarak. Detak jantungku yang tidak karuan menjadi berkurang. Pesan emak jelas. Agar Amarilis Dewi hanya bisa diadikan sebagai teman biasa. Tidak lebih dari itu.

 

          Sinar rembulan seperti berusaha ingin meneroboskan cahayanya sampai rerumputan  Hanya sedikit cahaya yang bisa menembus kanopi daun pinus sampai ke lantai daratan berpasir tebal ini. Hembusan angin laut yang menyebabkan derunya yang khas juga seperti tiada lelah menemani saat–saat terindah kami menuju tenda  malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun