Â
      Tak terhindarkan lagi, badan kami yang sama-sama kedinginan secara reflek menjadi tambah saling berdempetan untuk membantu mengurangi rasa dingin hembusan angin laut. Secara tidak sengaja tubuh kami semakin merapat. Kemudian reaksi dalam tubuhku terjadi. Jantungku tambah berdegup kencang. Disaat bersamaan badan hangat Dewi terasa  menyatu ditubuhku. Darah mudaku seperti kembali berdesir. Akhirnya dorongan liar dari dalam hatiku yang sangat kuat tanpa dapat kukontrol lagi. Aku kembali mengecup bibir Dewi yang masih terlihat gemetar kedinginan. Gayung bersambut, ia meraih dua tanganku dan langsung melingkarkan kedua tanganku dipinggangnya. Tiba-tiba hangat menjalar keseluruh tubuh. Kami terjebak dalam pergaulan muda mudi yang sebelumnya belum pernah kualami. Sebuah ciuman sesaat anak muda yang sangat memabukkan. Gelora cinta yang sedang disaksikan oleh cahaya bulan purnama dengan suara ombak yang menderu-deru tiada henti.
Â
      Terus kupapah Dewi berjalan pelan menuju tenda. Rasa saat ini kuakui dimana aku sedang mengalami apa yang namanya rasa sayang dan ingin memiliki yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sambil berjalan menuju tenda, Amarilis Dewi kembali menatapku sejenak dan meminta kesediaanku agar menambah erat peganganku ketubuhnya yang kembali mulai menghangat, meskipun pakaiannya dibeberapa bagian masih terasa basah dan berlumur pasir dimana-mana.
Â
Segera kembali aku tersadar akan pesan emak. Kemudian aku berusaha mulai sedikit membuat badanku berjarak. Detak jantungku yang tidak karuan menjadi berkurang. Pesan emak jelas. Agar Amarilis Dewi hanya bisa diadikan sebagai teman biasa. Tidak lebih dari itu.
Â
     Sinar rembulan seperti berusaha ingin meneroboskan cahayanya sampai rerumputan  Hanya sedikit cahaya yang bisa menembus kanopi daun pinus sampai ke lantai daratan berpasir tebal ini. Hembusan angin laut yang menyebabkan derunya yang khas juga seperti tiada lelah menemani saat–saat terindah kami menuju tenda  malam itu.