“Tapi kakimu ….!” Sambil aku melirik lukanya kembali dengan serius karena khawatir luka itu akan semakin terasa nyeri ketika bertemu dengan air laut yang asin. Namun, tak kusangka Dewi tetap berusaha memaksa.
“Aku sudah tidak apa-apa, ayo...! aku mau main air,” disebabkan keinginannya yang kuat. Aku menyerah. Aku menggandengnya menghampiri Fithar dan Kemala.
Segera saja semua kami menjadi basah terciprat gelombang besar yang menghempas pantai. Sesekali Dewi mulai bekejar-kejaran dengan Kemala dan juga aku. Sepertinya dia lupa, ada luka dikakinya yang kupastikan masih terasa nyeri. Tetapi, tarikan untuk bermain gelombang laut dengan pasir putihnya yang lembut sangat tidak mungkin untuk dilewatkannya.
Sesekali aku mendapatkan rammis[1](Meretrix meretrix L). Hewan sejenis kerang pipih itu muncul saat gelombang menghempas pantai. Sekawanan kerang kecil tersebut terlihat berebutan masuk menggali pasir, terutama sesaat air gelombang kembali surut turun menjauhi pantai. Hewan yang biasanya dibuat asinan oleh orang kampung untuk kemudian dikonsumsi sebagai lauk yang terasa lezat dilidah. Diperlukan kejelian mata dan kecepatan tangan untuk segera menangkapnya sebelum hewan tersebut menggali pasir dengan kecepatan hanya dalam hitungan detik.
Berlarian kesana kemari dan saling mencipratkan air adalah lumrah di tempat seperti ini. Aku dan Dewi beberapa kali tanpa sadar bahkan saling lempar pasir ditubuh masing-masing. Kemudian kembali berenang ke air yg terasa hangat ditubuh. Sehangat asaku bersama Dewi disore itu. Ternyata permainan air telah mengurangi kecanggunganku sebelumnya.
“Jangan Dewa!” teriak Dewi beberapa kali sambil tertawa yang tidak tertahankan, sambil ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya, sedang telunjuk tangan kanannya berkali-kali digoyangnya kekiri dan kanan. Isyarat agar aku menghentikan lemparan pasir yang mendarat ditubuhnya berkali-kali yang sudah basah kuyup. Meskipun, tetap beberapa kali kulanjutkan lemparan-lemparan itu, sambil berlarian dan saling kejar yang tak terhindarkan. Sedang Kemala dan Fithar kulihat sama saja situasinya. Mereka saling berteriak, bersenda gurau sambil bermain air dan pasir. Terlihat mereka sangat asyik dan menikmati pantai seutuhnya.Waktu terasa berlalu begitu cepat.
Tidak kumungkiri dipantai inilah aku semakin menyadari yang Amarilis Dewi tidak hanya mengikatku secara rasa, tetapi ia juga sangat menarik secara lahiriah. Sifatnya yang terbuka dan sangat perhatian rasanya sangat cocok dengan diriku yang tertutup. Kadang ia terlihat sangat ingin meringankan beban tugasku meski kadang caranya pun ia tidak tahu. Sifat keterusterangannya, justru telah membuatku merasa jatuh hati kepadanya.