“Kau itu aneh.”
“Akang juga aneh.”
“Kalau begitu katakan, apa yang kau pikirkan hingga berteriak, bahkan meneriakkan Tuhan segala.”
“Tentang pelaminan anak Pak Kandar Kang.”
“Kenapa? Bukankah itu pelaminan yang bikin mereka, putri Pak Kandar dan menantunya berbahagia.”
“Hati aku terenyuh Kang.”
“Hmh.”
“Kadang-kadang sakit. Setiap kali aku menghadiri hajatan semacam tadi. Selalu ada yang aneh. Yang lama kupendam. Aneh…. Hingga hari ini sepertinya aku tak kuat lagi untuk tidak berteriak.”
“Apa yang aneh?”
“Aku merasa aneh, hingga anak kita dua sudah SMP pula, tetapi aku sering membayangkan kursi pelaminan itu. Suasana hajatan itu.”
“Waktunya sudah lama berlalu Tirah, sudah sekitar tiga belas tahun yang lalu.”