“Kenapa?”
“Tidak tahu Kang.”
“Buat apa aku harus marah TIrah, aku sendiri merasakan hal yang sama. Akang sedih, sediiih sekali, terenyuh. Kadang aku ingin menangis. Tapi tidak. Akang laki-laki, tak boleh menangis kanya karena urusan semacam itu.”
“Hal yang sama apa Kang?”
“Akang merasa sedih, malu, dulu pernikahan kita hanya asal sah, hanya Akang ingin mendapatkan Tirah tidak dengan berzina. Walaupun akang dari keluarga miskin, dari dulu sampai sekarang, belum mampu mengubah keadaan. Akang mencintai Tirah dengan perasaan malu. Mencintai Tirah dengan menahan rasa kasihan pada Tirah karena tidak memberikan apa-apa yang terbaik. Akang juga sering membayangkan, seandainya yang bersanding di tiap pelaminan yang akang kunjungi, atau akang kunjungi karena akang dagang di sana, mereka yang duduk adalah aku dan Tirah. Tapi tidak…..”
“Akaaang……”
Kali ini Tirah tak kuasa menahan tangis. Perempuan itu memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali datang. Untuk beberapa saat Rasman membiarkan Tirah menangis hingga lega. Dan benar juga, setelah beban yang ingin dikatakan telah dikatakan, dan akhirnya perempuan itu tahu bagaimana sesungguhnya suaminya, Tirah terdiam.
“Tirah, semuanya sudah terlanjur. Saat-saat indah dan meriah tak akan mungkin kita rasakan lagi. Atau Tirah ingin mengulang kita nerayakan pernikahan yang dulu hampir tak didengar orang?”
“Tidak Kang. Tidak mau. Malu.”
“Tapi semuanya sudah terlanjur. Aku tak ingin menyakiti hati orang tua kita. Kita tak boleh menuntut kepada orang tua kita, yang waktu itu tak punya rizki yang cukup untuk memeriahkan pernikahan kita. Jangan sampai tahu.”
“Iya Kang…. Maafkan aku Kang.”