Matahari telah sepenggalah. Rasman meraba ban sepeda. Kenyal. Ia puas. Sejurus kemudian lelaki-laki separuh baya itu menepuk-nepukkan kedua belah telapak tangannya untuk membersihkan debu. Sepeda dengan bagian belakang penuh barang dagangan mainan anak-anak telah siap.
“Akang tidak hadir di acara Pak Kandar?” tanya Mustirah, istrinya, seraya bersandar di kusen pintu.
“Aku sudah ijin ke Pak Kandar. Tadi malam kan sudah ikut lek-lekan di rumah beliau.”
“Lalu apa katanya?”
“Nggak apa-apa kata Pak Kandar. Jualan mainan anak-anak di balandongan hajatan banyak laku. Hari ini ada tiga tempat yang mengadakan hajatan. Sayang kalau aku lewatkan begitu saja.”
“Kalau begitu terserah Akang. Biar aku yang hadir di sana nonton kawinan si Inayah.”
“Tadinya aku ingin jualan di Pak Kandar, tapi malu.”
“Iya, iyaa….. sudah berangkat sana. Mudah-mudahan dapat rizki banyak.”
“Amin.”
“Itu kopinya dihabiskan. Nasinya juga….”
“Iya. Terimakasih …” kata Rasman pelan. Tak ada kata terucap lagi dari bibir Tirah.
Pagi menjelang siang Tirah mengantar suaminya berangkat mengais rizki. Dipandangi suaminya hingga hilang di pengkolan gang kecil. Setelah itu perempuan yang biasa menjadi tukang cuci di rumah Bu Lurah bersiap-siap mengganti pakaian dengan yang lebih bagus. Hari itu memang ia dapat ijin dari Bu Lurah untuk tidak mencuci, sebab rumah Pak Kandar hanya berselang empat rumah, malu kalau tak ada yang ikut meramaikan hajatan.
Halaman Pak Kandar telah ramai. Persiapan penyambutan pengantin laki-laki telah dilakukan sejak dua hari lalu. Panggung pelaminan telah terpasang megah. Kursi-kursi telah rapi berderat. Tempat prasmanan telah siap dengan hidangan yang bermacam-macam. Di pinggir jajaran kursi telah siap pula panggung hiburan organ plus.
Tak berapa lama sesuai jadwal perhitungan mantu, rombongan pengantin pria datang. Kegiatan penyambutan berlangsung. Adat daerah dengan segala keunikan dengan kearifan lokal disajikan, dengan salah satu tujuan pula untuk tetep melestarikan budaya daerah. Tentu, bagi calon pengantin, dan dua keluarga yang akan bersatu, acara ini menjadi sebuah momen sacral sekaligus meriah yang tak akan dapat dilupakan.
Kini Tirah telah berada di kerumunan ratusan orang, baik rombongan tamu pengantar maupun penyambut maupun penggembira dari kampung sendiri. Tirah melihat di gang masuk lingkungan hajatan banyak orang berjualan. Perempuan itu mendesah. Ia ingat Rasman suaminya. Ia berdoa semoga dagangan suaminya laris seperti dagangan pedagang di lingkungan Pak Kandar. Sebagian focus ke acara. Sebagian lain ada kegiatan sendiri. Tak ketinggalan pula suasana yang penuh keceriaan itu ditimpa suara anak-anak kecil yang meminta mainan. Sebagian ibu-ibu menuruti permintaan anak-anaknya, sebagoan lagi bersungut-sungut sambil mengendong anaknya menjauh dari penjual mainan. Bahkan ada yang mencubit paha anaknya agar diam.
“Penjual sialan! Bikin anak kecil ribut saja …. Memangnya semua orang punya uang apa?!” keluh ibu-ibu yang menggendong anaknya beringsut mundur dari jajaran depan. Kini berdiri berdampingan dengan Tirah.
“Biasa anak kecil bu …. “ Tirah reflek menimpali keluhan ibu-ibu.
“Iya sih, tapi ya itu, bikin anak ribut. Lah namanya anak-anak kadang-kadang tak bisa mengerti kesulitan orang tua.”
“Iya …iya …..”
Tirah manggut-manggut sambil menjauh dari ibu tadi. Hatinya merasa tersindir. Andai ibu tahu jika suamainya sedang berjualan mainan yang sama di tempat lain. Tapi ia tak memperpanjang perasaannya. Perempuan setengah baya itu mundur hingga berdiri di jajaran yang paling belakang.
Dari tempat itulah Mustirah menonton seluruh acara mulai dari acara penambutan, serah terima calom pengantin, akad nikah hingga acara kedua pengantin yang telah resmi menjadi. Musik khas daerah degung yang mengiringi setiap prosesi pernikahan putri Pak Kandar benar-benar membawa suasana yang sakral. Semua hadirin tampak seperti terhipnotis.
Tirah menelan ludah. Dadanya terenyuh. Bibirnya terkatub. Tak terasa, kelopak matanya panas. Desakan air mata yang mengembang tak dapat ditahan. Kerongkongannya sesak. Perlahan perempuan itu mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Tirah berusaha bertahan menahan isaknya. Berat. Akhirnya merasa tidak mampu menahan isaknya, ia diam-diam menyelinap dengan menunduk berjalan cepat meninggalkan halaman rumah Pak Kandar.
Sampai di rumah Tirah masuk kamar. Desakan tangis yang menggelegak akhirnya tumpah. Ia menangis tersedu-sedu. Air matanya tumpah membasahi bantal kusam. Hingga hampir lima menit ia menangis dalam kesendirian. Namun sayup-sayup suara music degung dari halaman rumah Pak Kandar masih sangat jelas terdengar.
“Ya Allaaaah …… mengapa aku tak pernah mengalami masa-masa seindah anak Pak Kandar? Mengapa aku sebagai permpuan tak pernah merasakan indahnya menikah, semarak dan megahnya menikah. Aku menikah di kesunyian ya Allaaaah….. hanya ada akad wali dan saksi, serta mas kawin yang tak seberapa. Hanya disaksikan oleh tetangga kanan kiri… ya Allaaaaah …… mengapaaaaaa………??????!!” tanpa sadar perempuan itu berteriak kemudian mencengkeram bantal hingga membanting-bantingnya.
Tirah! Tiraaaahhhh!
Tirah kaget. Sebagaimana sebenarnya ia kaget sendiri dengan teriakan sendiri. Perlahan ia duduk, dan menoleh.
“Kang Rasman? Kang?”
“Ada apa kau berteriak?”
“Aku berteriak?”
“Iya. Kau berteriak….”
“Akang pulang?”
“Ban sepeda kempis. Itu tak penting. Rasanya kau berteriak memanggil –Allah – . Ada apa?”
“Oooohh…… Akang dengar?”
“Tidak semuanya.” kata Rasman seraya duduk di samping istrinya.
Hingga beberapa lama Mustirah diam. Rasman yang tahu istrinya habis menangis hanya bisa meyakinkan diri bahwa perempuan itu memang habis menangis.
“Kenapa pagi-pagi menangis.”
“Aku tidak menangis.”
“Sudahlah….. aku takut kau stress, berteriak dan menangis. Kalau memang ada ganjalan hati, menangislah dulu sepuasnya. Nanti aku ke sini lagi.” kata Rasman sambil beranjak. Tirah diam.
Ketika Rasman keluar kamar, Tirah mendesah. Akankah aku mengatakan apa adanya apa yang aku rasakan? Pikir Tirah. Hati Tirah berdebar. Jika ia katakan itu kepada suaminya, mungkin suaminya akan marah. Kecewa. Atau, entah apa lagi yang bakal muncul sebagai respon atas apa yang ia rasakan.
Perlahan Tirah bangkit. Perempuan itu berjalan perlahan. Bersandar pada kusen pintu kamar. Ia lihat suaminya sedang duduk termenung.
“Kau tidak berangkat lagi Kang?” tanya Tirah pelan.
“Tidak.”
“Ban sepedamu?”
“Gampang, nanti kutambal sendiri saja.”
“Tamballah, nanti Akang berangkat lagi.”
“Tidak. Ada apa sebenarnya Tirah?” tanya Rasman seraya mendekat.
Laki-laki itu memegang telapak tangan istrinya. Tirah menggeleng. Rasman menggamit lengan istrinya. Perlahan dibawa masuk, dan duduk di tepi dipan.
“Ada apa?”
“Aku takut Akang marah.”
“Memang aku pernah marah ?”
“Belum.”
“Jangan katakan belum, berdoalah agar aku tak pernah marah padamu.”
“Itulah yang aku takutkan Kang, kali ini Akang akan marah.”
“Katakan saja. Aku ingin sekali-sekali marah. Kata banyak orang, dengan marah sebagian masalah akan diringankan.”
“Akupun ingin sekali-sekali Akang marah. Aku hampir tak pernah belajar tentang mengatasi suami marah.”
“Kau itu aneh.”
“Akang juga aneh.”
“Kalau begitu katakan, apa yang kau pikirkan hingga berteriak, bahkan meneriakkan Tuhan segala.”
“Tentang pelaminan anak Pak Kandar Kang.”
“Kenapa? Bukankah itu pelaminan yang bikin mereka, putri Pak Kandar dan menantunya berbahagia.”
“Hati aku terenyuh Kang.”
“Hmh.”
“Kadang-kadang sakit. Setiap kali aku menghadiri hajatan semacam tadi. Selalu ada yang aneh. Yang lama kupendam. Aneh…. Hingga hari ini sepertinya aku tak kuat lagi untuk tidak berteriak.”
“Apa yang aneh?”
“Aku merasa aneh, hingga anak kita dua sudah SMP pula, tetapi aku sering membayangkan kursi pelaminan itu. Suasana hajatan itu.”
“Waktunya sudah lama berlalu Tirah, sudah sekitar tiga belas tahun yang lalu.”
“Justru itu Kang. Sekitar tiga belas tahun yang lalu, aku memendam rasa ini.”
“Rasa apa?”
“Akang tidak marah?”
“Mungkin marah, mungkin tidak.”
“Kang ……. Mengapa aku menjadi salah satu perempuan di dunia ini yang tak pernah merasakan sakralnya acara pernikahan. Hajatan tak pernah ada dalam hidupku. Maafkan Kang …… bukannya aku menuntut, tetapi inilah yang aku rasakan tadi pagi melihat acara Pak Kandar yang … yang….. “
“Tirah…… kau menyesal tak pernah mengalami kemeriahan pernikahan?”
“Begitulah Kang.”
“Hmh….”
“Kenapa Akang tidak marah?” tanya Tirah seraya mengamati mata suaminya tajam-tajam.
“Mengapa harus marah?”
“Harusnya Akang tersinggung atas pernyataanku.”
“Kenapa?”
“Tidak tahu Kang.”
“Buat apa aku harus marah TIrah, aku sendiri merasakan hal yang sama. Akang sedih, sediiih sekali, terenyuh. Kadang aku ingin menangis. Tapi tidak. Akang laki-laki, tak boleh menangis kanya karena urusan semacam itu.”
“Hal yang sama apa Kang?”
“Akang merasa sedih, malu, dulu pernikahan kita hanya asal sah, hanya Akang ingin mendapatkan Tirah tidak dengan berzina. Walaupun akang dari keluarga miskin, dari dulu sampai sekarang, belum mampu mengubah keadaan. Akang mencintai Tirah dengan perasaan malu. Mencintai Tirah dengan menahan rasa kasihan pada Tirah karena tidak memberikan apa-apa yang terbaik. Akang juga sering membayangkan, seandainya yang bersanding di tiap pelaminan yang akang kunjungi, atau akang kunjungi karena akang dagang di sana, mereka yang duduk adalah aku dan Tirah. Tapi tidak…..”
“Akaaang……”
Kali ini Tirah tak kuasa menahan tangis. Perempuan itu memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali datang. Untuk beberapa saat Rasman membiarkan Tirah menangis hingga lega. Dan benar juga, setelah beban yang ingin dikatakan telah dikatakan, dan akhirnya perempuan itu tahu bagaimana sesungguhnya suaminya, Tirah terdiam.
“Tirah, semuanya sudah terlanjur. Saat-saat indah dan meriah tak akan mungkin kita rasakan lagi. Atau Tirah ingin mengulang kita nerayakan pernikahan yang dulu hampir tak didengar orang?”
“Tidak Kang. Tidak mau. Malu.”
“Tapi semuanya sudah terlanjur. Aku tak ingin menyakiti hati orang tua kita. Kita tak boleh menuntut kepada orang tua kita, yang waktu itu tak punya rizki yang cukup untuk memeriahkan pernikahan kita. Jangan sampai tahu.”
“Iya Kang…. Maafkan aku Kang.”
“Tak usah minta maaf Tirah. Sebenarnya aku ingin selalu membahagiakan Tirah, istriku dengan caraku sendiri. Aku ingin membuat kejutan. Tapi tidak. Rasanya hari ini aku tak bisa menyembunyikan keinginan yang aku pendam sambil aku berusaha Tirah……”
“Kau ngomong apa Kang?”
“Sebentar …… “
Sejenak Tirah hanya bisa mengamati suaminya membuka lemari mencari-cari sesuatu di tempat yang primpen di dalam lemari. Rasman kembali membawa sesuatu.
“Apa ini Kang?”
“Buku tabunganku Tirah, akang menyimpan ingin membahagiakanmu dengan kejutan. Tapi sudahlah, hari ini rasanya taka da kejutan lagi ….”
“Tabungan Kang?”
“Iya.”
“Berapa tabunganmu Kang?”
“Baca sendiri.”
“Aku tak paham.”
“Dua belas juta tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah!”
“Kaaaang?????!!!! Ini tabungan Akang?”
“Iya.”
“Akang dapat uang dari mana bisa menabung sebanyak ini?”
“Hampir seumur anak kita Tirah. Sekitar sepuluh tahun menabung. Aku usaha apa saja, di luar aku dagang mainan anak-anak. Semuanya aku rahasiakan.”
“Usaha apa?”
“Apa saja. Akang suka diminta mencarikan burung untuk dijual belikan. Kadang-kadang akang ada yang menyuruh di perjalanan. Dua tahun yang baru lewat, mungkin ini rizki akang yang paling besar, akang jual beli batu akik. Hasilnya lumayan besar. Cukuplah sisa anak-anak sekolah, hasilnya aku tabung. Sayang sekarang kondisi akik mulai lesu…….”
“Kalau akang mengajak aku memperbaharui menikah lagi, aku tidak mau Kang!”
“Tidak Tirah. Dengar, aku menabung sebenarnya ingin mengajakmu pergi umroh Tiraaaah….. umroh…. Ya…. umm… “ tenggorokan Rasman tersekat.
Kalimatnya tertahan. Matanya terasa panas. Rasman mengatubkan bibirnya lekat-lekat. Namun tak urung laki-laki tak dapat menahan air matanya. Rasman memeluk Tirah. Kepalanya dibenamkan di dadanya. Kini keduanya menangis. HIngga beberapa jenak keduanya mulai datar perasaannya.
“Kang ….. aku ti …. tidak menyangka Akang punya niat seperti ini.”
“Ya Tirah. Hati kecil Akang sebenarnya ingin menebus kekecewaan Tirah dari dulu. Akang tahu dari dulu Tirah kecewa. Akang juga kecewa. Hingga entah dari mana, mungkin bimbingan Allah untuk membawa pikiran Akang ke situ. Akang ingin mengajak Tirah melaksanakan idadah umroh. Barang yang lima hari atau satu minggu …. namun…. namun nyatanya hingga sepuluh tahun uangnya belum juga cukup Tirah …… “
“Kaaaang …… jangan ngomong begitu Kang. Biarpun uangnya belum cukup, aku sangat bahagia Kang. Bahkan hari ini rasanya aku merasa sangat bahagia dibanding membayangkan duduk di pelaminan.”
“Iya Tirah. Akang tidak tahu …… apakah Akang sanggup mengajak Tirah umroh atau tidak …. Uangnya masih kurang banyak.”
“Jangan pesimis Kang…..”
“Terserah uang itu akan Tirah pakai apa , akang serahkan…. Sudah tak ada rahasia dan kejutan lagi…..”
“TIdak Kang, biar bagaimanapun juga uang ini harus tetap Akang simpan. Akang harus tetap berusaha menyisihkan rizki dari Allah. Akang harus tetap teguh pada niat pertama ….. umroh”
“Walau sampai sepuluh tahun lagi misalnya?”
“Tidak apa-apa Kang.”
“Sampai kita tua?”
“Tak apa-apa sampai tua juga. Karena saya baru yakin benar, di setiap rupiah usaha Akang di situ ada cinta Akang …..”
Rasman memegang kedua bahu Tirah. Ditatapnya mata istrinya yang masih basah. Ada sinar mata cinta yang dalam di mata Tirah. Ia rasakan getaran-getaran itu sangat hebat. Sama hebat getarannya ketika dulu hati Rasman luluh dalam pandangan mata dan senyum Tirah.
“TIrah ……. “ Rasman mendekap istrinya. Wajahnya dibenamkan di dadanya.
“Kang Rasman …”
“Akang cinta …. Akang mencintai Tirah ……”
Di kejauhan suara gamelan degung dari halaman Pak Kandar masih terdengar. Suami istri itu masih berpelukan dengan iringan suara degung yang dulu pernah diimpikannya ketika menikah. ***
Majalengka, 06-10-2015
Keterangan Bahasa Jawa :
- Lek-lekan = Jaga / melek sambil ngobrol ke sana ke mari di tempat orang yang besoknya mau hajatan.
- Primpen = Rahasia / tersembunyi sekali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H