Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: KYAI KERAMAT (4)

2 Mei 2014   18:04 Diperbarui: 27 Agustus 2018   22:53 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri 4 : BERJALAN DI ATAS BARA


Ba’da shubuh Sang Kyai mengumpulkan para pengasuh untuk membahas temuan Abu Najmudin dan Kyai Ahmad Hong. Biasanya pertemuan rutin diadakan di serambi masjid seusai kuliah shubuh, namun kali ini di dalam rumah utama. Belum ada yang tahu mereka diundang untuk apa. Kyai Soleh Darajat mungkin yang paling penasaran, sebab ia ditugasi menyuruh santri menjemput Wak Wardan menghadap. Laki-laki yang paling tua di jajaran pengasuh pesantren hanya mencoba menghubung-hubungkan mengapa laki-laki tua penjaga makam itu dipanggil.

Setelah semuanya kumpul, Sang Kyai memulai membuka acara.

“Pagi ini yang menjadi fokus pembicaran kita adalah Wak Wardan.” Kata Sang Kyai. Semua mata tertuju kepada laki-laki tua. Umurnya sekitar enam puluh tahun cukup untuk dipanggil “Kakek” , tetapi orang-orang besar kecil tua muda memanggilnya “Wak”.

“Saya Sang Kyai, saya salah apa? Apa istri saya melaporkan bahwa pesantren ini pernah saya katakan brisik ketika malam-malam gemuruh suara takbir?” Tanya Wak Wardan. Dari wajahnya teramat ketakutan.

“Lho? Si Wak pernah mengatakan pesantren ini brisik?”

“Pernah. Waktu malam-malam gaungnya sampai sayup-sayup di gubug saya. Nganu…..nganu… ketika malam-malam ada santri berlarian.”

“Berlarian kenapa?”

“Ketika Sang Kyai diangkat menjadi Nabi.”

“Astaghfirullaaaaaah……!” Sang Kyai kaget, “….. istighfar Wak. Kapan saya diangkat menjadi Nabi?”

“Sebulan yang lalu. Waktu Sang Kyai menyembuhkan orang bisu. Orang kampung kan mengatakan Sang Kyai adalah nabi baru.”

“Astaghfirullah Waaak…. Sampai sejauh itukah orang kampung menganggapku begitu? Atau hanya kamu saja?”

“Ya saya saja Sang Kyai.”

“Kalau begitu jangan katakan orang kampung. Dan kata-katamu yang menganggap aku ini nabi salah besar. Demi Allah salah Wak! Nabi terakhir itu Nabi Muhammad SAW. Setelah itu tak ada nabi lagi. Makanya banyak belajar Wak. Uwak pernah ke pesantren ini?”

“Pernah.”

“Kapan?”

“Waktu pembukaan pesantren…. “

“Dua puluh tahunan yang lalu.”

“Mungkin.”

“Wak pernah shalat di Masjid An Najm?”

“Belum.”

“Astaghfirullah…… kalau di Masjid Widodaren?”

“Belum.”

“Belum pernah?”

“Belum.”

“Kalau iedul fitri?” Tanya Sang Kyai terus mencecar dengan pertanyaan.

“Saya sibuk di makam, melayani orang ziarah …… “

“Keterlaluan! Orang setua Uwak tidak pernah shalat ya!?” Tiba-tiba Kyai Soleh Darajat memotong pembicaraan keduanya dengan nada tinggi. Wak Wardan kaget. Sementara itu Sang Kyai justru menutup wajahnya dengan selendangnya. Selang beberapa jenak terdengar Sang Kyai terisak. Yang mendengar itu semua kaget. Hingga beberapa lama Sang Kyai masih menutup mukanya, sesekali laki-laki itu membuat gerakan mengusap air matanya.

Setelah beberapa lama yang lain terdiam, Sang Kyai membuka wajahnya. Matanya tampak sembab. Tak ada yang berani bersuara. Semuanya menanti Sang Kyai sendiri yang memulai.

“Wak Wardan …. mulai nanti malam Uwak tinggal di pesantren ini.”

“Apa?!” Teriak Wak Wardan, “ … aku mau diadili? Tidak mau! Aku tidak bersalah!”

“Bukan Waaak…. sabar Wak. Aku ingin Uwak menemani aku mengaji di sini …. , kita mengaji bersama-sama. Belajar apa saja bersama-sama.”

“Tidak. Tugas saya adalah mengurus makam Sang Kyai ….”

“Biar nanti diusulkan diganti orang lain saja.”

“Sang Kyai tak bisa memaksa saya. Ini berkaitan dengan penghasilan saya. Saya harus menghidupi anak istri saya.”

“ Saya tidak sombong Wak, tapi Insya Allah bisa mengganti gaji Wak setiap bulan. Biar nanti Uwak tenang di pesantren ini.”

“Apa sanggup Sang Kyai membayar saya sehari lima puluh ribu?” Tanya Wak Wardan seperti menantang.

“Astaghfirullah… lima puluh ribu sehari?” Sang Kyai kaget bukan buatan. Demikian pula yang lain juga tidak mengira laki-laki tua itu berkata begitu.

“Iya, sekitar lima puluhlah. Kadang di bawah itu, kadang lebih.”

“Sebesar itukah gaji penjaga makam Widodaren?”

“Memang tidak Sang Kyai. Dari pak Lurah saya hanya digaji tujuh puluh lima ribu sebulan.”

“Nah maksudnya uang yang tujuh puluh lima ribu itu aku yang menanggung.”

“Oooo…. terus? Penghasilan dari makam keramat, apakah Sang Kyai sanggup menanggung?” Tanya Wak Wardan cukup keras. Yang hadir kaget mendengar kata-kata laki-laki tua.

Makam keramat apa?” Tanya Sang Kyai.

Tujuan Sang Kyai mengumpulkan pengasuh dan Wak wardan memang akan membahas masalah ini. Namun ternyata pembicaraan laki-laki itu justru telah mengarah ke sana tanpa diminta.

“Ahhh… nganu.. tidak. Bukan, bukan.” Wajah wak Wardan tampak gugup. Sang Kyai memandang dengan tajam mata laki-laki tua itu.

“Makam keramat apa Wak?” Tanya Sang Kyai mengulangi.

“Aaa…. Kyai Sendang Kawi.”

“Adakah makam keramat di Widodaren? Di mana ?”

“Ada. Dekat pohon kweni, sebelum masuk desa dari arah timur. Dekat belik kecil.”

“Para ustadz…. apakah benar dekat pohon kweni itu ada makam? Ustadz Azis yang asli Widodaren, benarkah ada makam di sana?”

“Aaa….aa… tempatnya jarang dilalui orang Sang Kyai. Saya sendiri ketika masih kecil jarang bermain kemana-mana semenjak masuk pesantren ini. Jadi mohon maaf Sang Kyai, saya malah tidak tahu.” Jelas yang ditanya. Sementara itu Wak Wardan merasa lega karena orang asli Widodaren sendiri tidak hafal.

“Begini Wak Wardan… saya hanya mau minta penjelasan Wak Wardan atas laporan santri saya kemarin. Katanya sekarang makam Kyai Sendang Kawi banyak dikunjungi orang?”

“Aaa… nganu…. be…betul Sang Kyai.”

“Siapa sesungguhnya Kyai Sendang Kawi itu? Tolong ceritakan.”

Sang Kyai hanya ingin menyamakan informasi dari penjaga kotak amal. Ternyata apa yang diceritakan sama persis seperti apa yang dilaporkan Abu Najmudin. Usai mendengar cerita Wak Wardan, para pengasuh menggeleng-gelengkan kepala. Bagi mereka informasi ini benar-benar baru.

“Para ustadz di sini tak ada yang tahu Sang Kyai. Saya rasa, saya yang paling tua di sini. Pantas mereka tak tahu kalau ada sejarah tersembunyi di Widodaren.”

“Bagaimana para pengasuh? Ada tanggapan?”

“Tak ada yang tahu Sang Kyai …. “ Wak Wardan menimpali.

“Ya, ya, kalau begitu tolong ceritakan sejak kapan makam itu dibuka untuk umum.”

“Kira-kira setengah bulan yang lalu…. “

“Berapa ratus ribu yang Wak peroleh tiap hari?”

“Tidak mesti, kadang empat puluh ribu kadang lima puluh kadang lebih.”

“Lumayan banyak kalau begitu….. “

“Ya, tapi rasanya tidak sebanyak kotak amal yang disimpan di depan gerbang pesantren.” Kata Wak Wardan datar.

“Gerbang pesantren? Ada kotak amal?”

“Ya ada Sang Kyai. Jadi kata orang-orang kotak amal di dalam pesantren jadi dobel….. “

Merah muka Sang Kyai demi mendengar penuturan penjaga makam yang membuka kalimat begitu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sementara itu tiba-tiba Kyai Soleh Darajat meminta ijin keluar sebentar. Beberapa saat kemudian Kyai Soleh Darajat kembali ke tengah pertemuan.

 Sang Kyai menekan perasaannya yang bergejolak. Yang tidak bisa ditutupi adalah rasa malunya kepada yang hadir, sebab kata-kata Wak Wardan seolah-olah mencibir dirinya. Memang benar, atas saran beberapa santri dan pengasuh Sang Kyai memperbolehkan membuka kotak amal untuk kemaslahatan pesantren. Tak niat sedikitpun dalam diri Sang Kyai atas apa yang diputuskan. Bahkan selain mereka di panitia pengobatan ada beberapa yang menyodorkan amplop ketika acara pendo’aan air yang dibawa pasien atau keluarga yang sakit. Namun Sang Kyai selalu menolak. Cukuplah kotak amal yang dikelola para santri.

Dengan adanya kegiatan Sang Kyai, kehidupan di pesantren hampir seratus delapan puluh berubah. Ritme kegiatan yang dulu dilakukan, mau tidak mau harus diubah. Hari-hari biasa yang padat dan melelahkan, mencoba diatasi dengan meliburkan pengobatan pada hari Jumat.

“Untuk sementara pertemuan saya anggap cukup dulu. Namun sebelum dibubarkan, saya berpesan pada Wak Wardan. Pertama, saya tunggu jawaban tawaran tinggal di pesantren ini tiga hari lagi. Kedua, Wak Wardan masih diperbolehkan memungut kotak amal di makam keramat, dengan satu syarat jika makam itu benar-benar makam Kyai Solehuddin maka ajaklah orang-orang ke sana untuk mentafakuri kesalihannya. Bukan untuk minta berkah kepada yang sudah wafat. Tapi kalau makam itu hanya karangan Wak Wardan, hanya gundukan tanah kosong atau yang lain, maka laknat Allah akan datang pada Wak. Saya lebih baik keras kepada Wak sekarang ini, mumpung masih ada waktu bertobat jika ada kebohongan. Ingat Wak, kita manusia bakal menghadap Sang Khalik.”

Tubuh Wak Wardan gemetar demi mendengar kata-kata Sang Kyai tentang laknat. Tubuh kurus itu semakin tampak lebih lemah ketika wajah laki-laki tua itu tiba tampak menguning, pucat pasi.

“Silakan Wak Wardan….. mungkin sebentar lagi makam itu akan dikunjungi orang….. “ Kata Sang Kyai mempersilakan laki-laki yang kemudian bangkit dari duduk meninggalkan pertemuan dengan langkah gontai. Mata para yang hadir mengikuti hingga laki-laki keluar dari rumah utama.

“Kasihan Wak Wardan ……. “ Kata Kyai Soleh Darajat membuka suara.

“Ya kasihan.. aku sampai menangis. Aku tidak menyangka kalau di Widodaren, pusatnya pesantren kondang sampai ada warganya yang tidak pernah ke masjid. Tidak pernah shalat. Bagaimana pembinaan para ustad surau kepada lingkungannya? Paling tidak, harus ada laporan bahwa ada warga yang masih butuh bimbingan. Kasihan Wak wardan. Kita berdosa! Saya malu di hadapan Allah SWT.”

Sampai kalimat itu Sang Kyai menunduk. Suasana hening. Tak ada yang angkat bicara.  Kyai Ahmad Hong sangat memahami apa yang menjadi ganjalan dalam diri ayahnya itu.

Pagi itu benar-benar merupakan pagi yang sangat tidak menenteramkan hati Sang Kyai. Namun sebagai orang nomor satu, ia masih mempunyai keyakinan bahwa segala apa yang terjadi di Widodaren masih sanggup diatasi dengan pertolongan Allah SWT. Sepeninggal para pengasuh, Sang Kyai melayangkan pandang ke arah halaman masjid An Najm.

“Siapa yang memasang papan itu Hong?” Tanya Sang Kyai ketika melihat ada papan di depan masjid dengan tulisan “DILARANG MENGAMBIL KERIKIL ATAU BATU DI LINGKUNGAN PESANTREN”.

“Ooo saya Pak Kyai. Tadi malam saya kirim sms ke Zaniar untuk mencetak tulisan itu.”

“Oooo Niar sudah pulang?”

“Ya, dua hari yang lalu. Kebetulan memang sedang libur semester.”

“Alhamdulillah ….. sehat dia Hong?”

“Sepertinya begitu.”

“Mengapa sepertinya?”

“Ya, saya kan tidak pernah bertemu langsung dengan Niar Pak Kyai.”

“O ya sudah kalau begitu. Nah, itu tadi, kenapa kau melarang orang mengambil kerikil atau batu di sekitar pesantren?”

“Saya hanya instink saja Pak Kyai, sepertinya mereka mengambil kerikil dari sini untuk dibawa pulang, mungkin untuk jimat Pak Kyai.”

“Jimat?”

“Mungkin. Tapi kemungkinan itu cukup besar. Saya sering mengamati, mereka yang mengantri beberapa mengambil kerikil. Kemudian mereka berbisik-bisik dengan yang lain. Setelah itu yang diajak berbisik turut mengambil kerikil. Saya takut itu disalahgunakan Pak Kyai…. “

“Astaghfirullahal adziiiimm….. benarkah begitu Hong?” Sang Kyai begitu masygul begitu mendengar penuturan anaknya.

“Nanti saya selidiki lebih lanjut. Saya akan mengirim telik sandi dari santri untuk berbaur dengan mereka, untuk mencari kepastian mereka mengambil kerikil untuk apa.”

“Bagus! Rasa-rasanya pesantren kita mulai banyak musuhnya Hong. Ibarat bahaya laten, sekarang bahaya itu telah terpicu oleh ketenaran pesantren kita. Paham-paham dinamisme yang ada dalam otak mereka sebenarnya telah mengendap, namun tiba-tiba terpicu oleh sebuah keajaiban mendadak, paham itu muncul lagi. Yang paling baru ya itu tadi, masalah Wak Wardan. Dia telah membelokkan pemikiran orang-orang yang berobat ke sini dengan menunjukkan adanya makam keramat. Padahal saya punya keyakinan, bahwa makam itu tak pernah ada.”

“Kalau Pak Kyai punya keyakinan demikian, mengapa Pak Kyai tidak langsung melarang Wak Wardan untuk menghentikan kegiatannya?”

“Biarlah dia yang menghentikan sendiri Hong. Makanya tadi saya katakan agar dia lekas pulang, sebentar lagi banyak tamu datang ke pesantren, nanti pulangnya kan ada yang mampir ke makam keramat itu.”

“Apa Pak Kyai yakin Wak Wardan akan berubah?”

“Yakin. Saya yakin Wak Wardan akan berubah. Kau lihat tadi betapa wajahnya menjadi tegang, kemudian pucat.  Biar dia berfikir, biar dia menghitung sendiri. Kalimat laknat jika dia berbohong, pasti akan mengganggu pikirannya. Hati manusia itu suci Hong, di alam kandungan ibu, setiap orang pernah bersaksi: Alastu bi robbikum! Qoolu bala syahidnaa! Bukankah aku ini Tuhanmu, kata Allah SWT. Jiwa-jiwa itu menjawab: Ya, saya menjadi saksi! Adapun mengapa di dunia itu banyak yang lalai, karena nafsu dalam bimbingan syaitan itu lebih diutamakan. Tapi ketika dalam suasana yang sangat hakiki, manusia yang baik, tanda-tanda yang khusnul khotimah, maka akan kembali ke jalan yang lurus melalui sebauh peringatan Allah yang bentuknya kita sendiri tidak tahu sebelumnya.”

“Ya mudah-mudahan Wak Wardan sadar. Tapi kalau makam itu memang ada bagaimana Pak Kyai, bukankah tadi dia mengatakan bahwa dia yang tertua yang mengetahui banyak tentang sejarah Widodaren. Maksudnya dia sedang menyangkal Pak Kyai.”

“Kita lihat saja. Motivasi Wak Wardan sebenarnya hanya uang. Dia tidak berfikir panjang. Ketika hari-hari makam itu dibuka, betapa ketika ada yang datang dengan memberi uang dalam kotak, maka ia semakin yakin bahwa usahanya itu akan mendatangkan uang. Oh ya Hong, saya mau bersiap-siap dulu. Sampaikan ke panitia pengatur untuk menyampaikan ke para tamu. Tolong, sepuluh menit lagi, panggilkan Kyai Soleh Darajat saya mau bicara sebentar.” Kata Sang Kyai sambil bergegas meninggalkan Kyai Ahmad Hong.

“Tapi pak Kyai, Kyai Soleh Darajat tadi ijin pulang sebentar. Jam sembilanan baru ke sini lagi.”

“Oooo ada apa ya? Biasanya kalau ada keperluan Kyai Soleh Darajat minta ijin langsung ke saya …. tapi biarlah, mungkin mendadak. Mungkin ada keperluan dengan Niar.”

Seperti apa yang dikatakan Kyai Ahmad Hong, sepeninggal Wak Wardan serta Sang Kyai membubarkan pertemuan, Kyai Soleh Darajat menemui Kyai Ahmad Hong minta ijin sebentar tanpa menyampaikan alasan yang jelas. Ketika Kyai Ahmad Hong menyarankan untuk ijin langsung ke Sang Kyai, Kyai Soleh Darajat mengatakan segan, sebab tampaknya Sang Kyai sedang tidak enak hati. Rupanya dalam waktu yang sama, istri Kyai Soleh Darajat juga minta ijin pulang sebentar.

“Bu, ini semua gara-gara si Wardan itu! Dia mengatakan di depan Sang Kyai bahwa kotak amal di pesantren itu dobel! Ketika Sang Kyai kaget, maka tadi aku keluar sebentar menelpon kamu.”

“Sudah Pak, aman, Rokim sudah saya telpon, mulai hari ini sampai nanti entah kapan, kegiatan mengedarkan kotak amal di halaman pesantren dihentikan dulu.”

“Aman bagaimana? Kalau sampai Sang Kyai mengurusnya sampai mencari-cari siapa yang melakukan, pasti nanti akan ketemu juga. Aku bakal malu. Bagaimana Bu?”

“Ya sudah, biar aman yang penting hasil sodaqoh itu disiapkan, nanti kalai Sang Kyai memang melacaknya kita berikan saja.”

“Ya sudah siapkan saja. Semuanya berapa?”

“Itu masalahnya. Seluruh uang sodaqoh sudah saya kirim ke Niar, untuk menambah bayar kost.”

“Ya ampuuuuun…. kan uang kost sudah saya beri. Ke mana uang itu?”

“Niar pindah kost. Sekarang sewanya lima setengah. Dari Bapak kemarin hanya empat juta, jadi kekurangan satu setengah saya ambil dari kotak itu.”

“Ampuuuunn….. kenapa tidak bilang dulu?”

“Bapak kan ikut sibuk.”

“Apa beratnya kirim SMS bu. Kalau sudah begini bagaimana?”

“Ya terserah Bapak….”

“Kok terserah saya…. ya sudah, hitung semua uang kotak itu, terus jual dulu cincinmu itu.”

“Jangan Pak.”

“Nanti saya ganti.”

“Ganti dari mana?”

“Tak tahulah …”

“Nah begitu, kan aman. Nggg…. Niar mana Bu?” Tanya Kyai Soleh Darajat mencari anaknya.

“Katanya sedang mencari bahan untuk lomba karya ilmiah.”

“Karya ilmiah?”

“Tak tahulah. Tapi katanya ia akan menulis tentang tema kefakiran yang mendekatkan kepada kekufuran.”

“Kira-kira ke mana?”

“Ke lingkungan pesantren saja sih Pak. Tak tahulah apa yang dipikirkan anak gadis itu. Terus katanya, si Niar juga butuh respon dari masyarakat untuk menanggapi bahan karya ilmiahnya.”

“Bagaimana caranya?”

“Inginnya Niar berdiskusi dengan santri. Mau tidak mau harus ada pertemuan khusus. Katanya malah ada filmnya.”

“Film apa?”

“Tak tahulah Pak, katanya alatnya dapat pinjam dari Pak Damar.”

“Ya ampuuun anak ini. Dulu katanya tidak suka dengan pak guru itu, ibu tahu kan waktu anak kita menolak lamaran guru itu?”

“Iya ingat.”

“Terus sekarang mengapa Niar masih berhubungan. Ini namanya memberi harapan kosong ke Pak Damar lho Bu.”

“Ya tak apalah kalau memang si Niar sudah berubah pikiran.”

“Terus bagaimana tentang keinginan Sang Kyai yang pernah bicara padaku bahwa Ustadz Hong suka dengan Niar?”

“Yaaaa…. terserah Niar sajalah.”

“Sebenarnya saya lebih setuju Niar dengan Pak Damar saja Bu. Tapi saya tidak enak dengan Sang Kyai. Tahu sendiri kan Bu?”

“Tahu apa?”

“Heee…. dia kan hanya anak pungut Sang Kyai. Tidak ada nasab dengan beliau. Lagi pula, dia orang Cina Bu.”

“Memangnya kalau Cina itu apa jeleknya sih?”

“Yaaa…. aneh saja…. “

“Wah Bapak ini ngawur tanpa dasar! Lah kalau memang Niar suka dengan ustadz itu bagaimana?

“Ya itulah, saya jadi merasa ditekan oleh dua kekuatan. Niar memang sejak SMA seperti suka pada ustadz Hong, padahal mestinya anak kita itu berfikir, ustadz itu kan tidak kuliah. Dia hanya lulusan MA, MA-pun MA filial. Apa nanti tidak timpang? Suaminya hanya lulusan MA filial, tapi istrinya sarjana.”

“Sekarang Bapak sendiri merasa timpang apa tidak?”

“Maksudnya?”

“Saya ini jelek-jelek juga lulusan Diploma Tiga lho pak.”

“Aaaa…..hhhh itu kan beda. Jangan nyindir dong. Saya memang sama seperti ustadz Hong, hanya sampai MA, istrinya mantan orang kampus. Tapi kan tetap beda.”

“Bedanya di mana?”

“Lhoooo… dengarkan saja, Ustadz Kyai Haji Soleh Darajat. Nyaman kan? Bandingkan Ustad Kyai Ahmad Hong Gie! Haha! Nggak nyamaaan….. “

“Bisa-bisanya saja orang yang tidak suka sama orang lain suka mencari alasan.”

“Lhooo…. dengar saja nggak nyaman, apalagi kalau diteliti lebih jauh. Bayangkan, ustadz itu belum Haji . Belum afdol jadi ustadz, apalagi pemimpin pesantren!”

“Ih bapak ini keterlaluan. Kan yang mendirikan pesantren kita juga Sang Kyai . Itu artinya beliau punya ilmu manajemen dan leadership yang baik.” Sanggah istri Kyai Haji Soleh Darajat  membela Sang Kyai.

“Sang Kyai juga belum haji.”

“Artinya bapak merasa lebih unggul?”

“Hahaaa… kamu yang bicara lho Bu, bukan saya!”

“Bapak sebenarnya dalam hati kecil tidak mengakui Sang Kyai sebagai pemimpin di pesantren ya Pak?”

“Aaah… tidak terlalu benar.”

“Pak, hendaknya kita bersyukur atas apa yang kita jalani sekarang. Allah kan telah menunjukkan dengan terang benderang bahwa Sang Kyai diberi ilmu pengetahuan dan karomah yang tidak diberikan kepada orang lain.”

“Hmh … itulah.”

“Kalau orang yang diberi karomah berarti orang itu hatinya bersih Pak.”

“Jadi ibu membela Sang Kyai ya?”

“Tidak. Saya hanya menyimpulkan fakta.”

“Berarti secara tidak langsung ibu juga mengatakan bapak ini hatinya tidak bersih ya?”

“Bukan begitu Pak. Orang yang diberi karomah pasti orang bersih hatinya. Orang yang bersih hatinya belum tentu diberi karomah. Ya mudah-mudahan bapak menjadi orang yang bersih hatinya.”

Assalaamu’alaikum! Tiba-tiba keduanya dikejutkan suara salam dari teras. Keduanya  berhenti berbicara. Kyai Haji Soleh Darajat berjalan membuka pintu.

“Assalaamu’alaikum ustadz!”

“Us… ustadz Hong?! Aaa…aaa…. mari masuk ….. wah… anu…. baru tiba ya?”

“Yaaa barang sepuluh menit saya di teras. Tapi keburu ada SMS, jadi saya balas dulu SMS.” Jawaban Kyai Ahmad Hong membuat Kyai Haji Soleh Darajat gerah. Sepuluh menit di teras berarti ustadz itu mendengar pembicaraannya. ***

 

Keterangan kata Bahasa Jawa :

1. belik : kubangan air tempat dimana mata air keluar, kubangan air tempat di mana mata air keluar. Air belik ini biasanya sangat jernih. Orang kampung jaman dulu sukan langsung meminum kalau sedang kehausan dari sawah, atau dari perlajanan.

2. telik sandi  : mata-mata

 

 

 ***

 

Bersambung ke Seri 5

Insya Allah Senin mendatang ……..

 

 


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun