“Belum.”
“Belum pernah?”
“Belum.”
“Kalau iedul fitri?” Tanya Sang Kyai terus mencecar dengan pertanyaan.
“Saya sibuk di makam, melayani orang ziarah …… “
“Keterlaluan! Orang setua Uwak tidak pernah shalat ya!?” Tiba-tiba Kyai Soleh Darajat memotong pembicaraan keduanya dengan nada tinggi. Wak Wardan kaget. Sementara itu Sang Kyai justru menutup wajahnya dengan selendangnya. Selang beberapa jenak terdengar Sang Kyai terisak. Yang mendengar itu semua kaget. Hingga beberapa lama Sang Kyai masih menutup mukanya, sesekali laki-laki itu membuat gerakan mengusap air matanya.
Setelah beberapa lama yang lain terdiam, Sang Kyai membuka wajahnya. Matanya tampak sembab. Tak ada yang berani bersuara. Semuanya menanti Sang Kyai sendiri yang memulai.
“Wak Wardan …. mulai nanti malam Uwak tinggal di pesantren ini.”
“Apa?!” Teriak Wak Wardan, “ … aku mau diadili? Tidak mau! Aku tidak bersalah!”
“Bukan Waaak…. sabar Wak. Aku ingin Uwak menemani aku mengaji di sini …. , kita mengaji bersama-sama. Belajar apa saja bersama-sama.”
“Tidak. Tugas saya adalah mengurus makam Sang Kyai ….”