“Biar nanti diusulkan diganti orang lain saja.”
“Sang Kyai tak bisa memaksa saya. Ini berkaitan dengan penghasilan saya. Saya harus menghidupi anak istri saya.”
“ Saya tidak sombong Wak, tapi Insya Allah bisa mengganti gaji Wak setiap bulan. Biar nanti Uwak tenang di pesantren ini.”
“Apa sanggup Sang Kyai membayar saya sehari lima puluh ribu?” Tanya Wak Wardan seperti menantang.
“Astaghfirullah… lima puluh ribu sehari?” Sang Kyai kaget bukan buatan. Demikian pula yang lain juga tidak mengira laki-laki tua itu berkata begitu.
“Iya, sekitar lima puluhlah. Kadang di bawah itu, kadang lebih.”
“Sebesar itukah gaji penjaga makam Widodaren?”
“Memang tidak Sang Kyai. Dari pak Lurah saya hanya digaji tujuh puluh lima ribu sebulan.”
“Nah maksudnya uang yang tujuh puluh lima ribu itu aku yang menanggung.”
“Oooo…. terus? Penghasilan dari makam keramat, apakah Sang Kyai sanggup menanggung?” Tanya Wak Wardan cukup keras. Yang hadir kaget mendengar kata-kata laki-laki tua.
“Makam keramat apa?” Tanya Sang Kyai.