Mohon tunggu...
Diana NovitaPermataSari
Diana NovitaPermataSari Mohon Tunggu... Guru - Guru/Pendidik

Menjadi pendidik di salah satu sekolah menengah kejuruan Negeri. Hobi utama membaca, sekarang sedang giat berlatih menulis, dan sangat suka jalan-jalan, kadang kulineran, dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nikuba, AI, dan Amelya

23 Juli 2023   12:28 Diperbarui: 23 Juli 2023   12:33 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam 7.15 pagi, sebuah bis memasuki wilayah Jawa Timur, bis melaju menuju ke Jatim Park, mengantarkan rombongan karyawan perusahaan yang mau outing di tempat tersebut. Salah seorang gadis duduk di bagian paling depan di bus tersebut. Garis wajahnya mungil cantik, dibingkai dengan jilbab yang hampir sewarna dengan warna kulitnya, lehernya dililiti sebuah syal tebal, badannya yang mengenakan gaun warna kuning gading dikombinasikan dengan kain etnik Toraja masih dibungkus jaket kulit tebal. Ia baru meminum obat tadi, mengambilnya dari kotak obat yang ada di bis, sehingga sekarang sedang berusaha untuk berisitirahat, meskipun dengan sedikit susah payah.

Jalan yang dilewati bus itu lebih sering naik dan turun, meskipun kadang melewati jalan yang datar. Di depannya adalah sebuah gunung tinggi, yang berwarna biru, angkuh menjulang. Seperti kehidupan ini, kehidupannya khususnya, dia sudah sering mengalami fase naik dan turun. Kadang ia seperti dilemparkan ke dalam jurang yang dalam. Namun kadang ia juga merasa di puncak yang tinggi. Meskipun kadang dia juga merasa berada di jalan yang datar. Kadang juga ia merasa ia sedang naik ke puncak gunung itu, tapi belum sampai puncaknya, ia akan terlempar ke jurang, hingga babak belur akan mati. Begitupun dalam kehidupan nyata, sudah lebih dari satu kali ia lolos dari lubang keinginananya untuk bunuh diri..atau paling tidak keinginan untuk mati. Bunuh diri pertama saat dia mengetahui orang tuanya selingkuh. Keinginan mati pertama saat dia sudah dapat beasiswa kuliah ke luar negeri, tapi gugur di seleksi tahap akhir. Keinginan mati kedua saat ada orang yang akan melamarnya, pihak keluarganya sudah mempersiapkannya, namun secara sepihak calonnya membatalkannya. Keinginan mati ketiga adalah saat dia lelah harus mengambil keputusan saat ini. Dia bertanya kepada dirinya sendiri, betapa sulitnya menggapai keinginannya sendiri itu, bukankah lebih mudah kalau dia mati saja.

Dia mengamati gunung itu lagi. Ah, pasti untuk mencapai puncak gunung tersebut, dibutuhkan uji coba puluhan, ratusan, mungkin ribuan kali. Penuh luka dan lara untuk mencapainya. Jika si pendaki memutuskan untuk tidak naik ke puncak, mungkin seumur hidupnya akan terombang-ambing dalam kegalauannya, menyalahkan diri-sendiri dan orang lain terus-menerus. Tapi jika dia memutuskan untuk naik ke puncak, mungkin dia akan merasakan kepuasan yang luar biasa ketika sampai di puncak. Meskipun mungkin, dia mati jatuh ke jurang sebelum mencapai puncak, atau dia mati kelelahan di suatu titik karena terluka, terinfeksi, atau dilukai binatang liar. Tapi paling tidak dia sudah berusaha untuk naik ke puncak tersebut, matipun mungkin dia sudah dengan tersenyum puas.

Ah, tapi naik ke gunung itu tidak semudah yang dikatakan di bibir. Begitupun dalam kehidupan nyata, ketika seseorang akan memutuskan untuk menggapai impiannya, ketakutannya dalam menghadapi kemungkinan yang terjadi jauh lebih besar, daripada ketika ia langsung mengambil dan menjalankan keputusan itu.

Hhh..Amelya menghela nafas dengan sangat pelan, berharap tidak mengganggu orang yang di samping-sampingnya.

Dia teringat kembali percakapannya dengan ponakan dan tunangannya kala itu, di teras rumah milik salah satu keluarga Anggara, tunangannya.

"Cinta negara itu apa Tante?"

"Cinta negara itu..." Amelya berpikir sebentar, kemudian memutuskan untuk malas berpikir, ia segera membuka personal asisten-nya, artificial Intelligence atau AI-nya, untuk menanyakan soal tersebut, dan mencari jawabannya.

"Adalah berbuat sesuatu yang baik untuk negara." jawab Amelya

"Contohnya apa Tante?"

"Contohnya.. tidak berkelahi sama teman, tidak tawuran, membuat sesuatu yang baik untuk negara." kata Amelya lagi, menjawab sekenanya.

"Bagaimana jika sudah membuat sesuatu yang baik kemudian tidak dihargai Tante?

"Hmm?" Amelya mengerutkan keningnya.

"Contohnya seperti temuan Pak Aryanto tentang Nikuba itu? Kan negara tidak mau membeli Tante?" 

Amelya berpikir sangat keras untuk menjawab pertanyaan tersebut. 

Di satu sisi negara memang pasti berpikir-pikir jika harus membayar lima belas miliar untuk produk tersebut, meskipun jika dibandingkan dengan uang yang dikorupsi, uang lima belas miliar itu belum ada apa-apanya. Tapi di sisi lain. Itu benar, Pak Aryanto sudah berusaha menciptakan sesuatu yang bermanfaat untuk negara, dan seharusnya memang harus dihargai, meskipun temuan itu belum terbukti. Ah, ini semakin kompleks. Bahkan masalah seperti ini terekam oleh anak sekolah dasar. 

Seharusnya memang pak Aryanto Misel-lah yang jangan terlalu berharap. Melainkan mengerjakan sesuatu untuk hobi saja, gitu.

"Tante, kok bengong?"

"Karena negara harus membuktikan karya tersebut terlebih dahulu."  kata Amelya.

Toni seolah tidak paham dengan penjelasan Amelya, tapi Amelya enggan untuk menjelaskan lebih lanjut. 

Amelya malah melanjutkan percakapannya sendiri di dalam hati. Ini sama dengan kasusku dengan om-mu, Anggara. Aku ingin resign, ingin memulai bisnis dari nol, tapi dia tidak menolak tapi juga tidak mendukung, tapi lebih berat ke arah tidak mendukung, tapi ya.. seperti itulah.

Jika kamu punya keyakinan bahwa sesuatu itu bermanfaat, maka kamu harus yakin akan itu, dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membuktikannya. 

Jangankan meminta negara untuk percaya, mungkin pacarmu pun tidak percaya. Atau orang tuamu pun tidak percaya. 

Kamu boleh tidak percaya hal tidak masuk akal ini di dunia. Tapi itulah kenyataannya. 

Kamu akan dianggap baik, jika kamu seperti layaknya orang lain saja. Yang umum-umum saja. 

Kalau kamu "menyimpang", meskipun sebenarnya ide "menyimpang"-nya itu brilian, maka kamu akan dianggap aneh. Kalau sudah dianggap aneh, jangankan orang lain mau membeli produkmu. Percaya saja belum tentu mau.

Haha..tapi itu bukan hanya kamu, dia, atau mereka. Aku pun seperti itu.

Ada banyak sekali ketakutan yang menghantui kepalaku ketika akan memulai sesuatu. 1) Takut gagal, 2) takut tidak punya uang, 3) takut gila, 4) takut mengemis, 5) takut menggelandang, 6) takut bunuh diri, lalu takut yang lebih ringan lagi, yaitu 7) takut ditinggalkan keluarga, 8) takut ditinggalkan orang yang dicintai-dan aku sedang bersiap-siap menghadapi ini-, 9) takut ditinggalkan teman -dan sekarang sedang mengalami-..

"Kenapa Elon Musk bisa membuat sesuatu dan ada yang beli?" tanya Toni lagi, mengagetkan Amelya.

Amelya menatap Toni, heran dengan pertanyaannya. Ah, mungkin pertanyaan itu sudah tertulis di bukunya. Gurunya yang membuat daftar pertanyaan tersebut. Atau mungkin, Toni memang cerdas.

Amelya segera mengetikkan pertanyaan tersebut ke AI-nya lagi.

 "...Karena dia.. " kata Amelya sambil meringkas jawaban AI, "Pertama pandai melihat peluang, kedua ahli memasarkan, ketiga ahli melobi orang-orang di sektarnya..." jawab Amelya.

Anggara yang sedang menatap dia dan ponakannya itu, untuk waktu yang lama, yang kala itu Amelya sendiri memang sedang menggunakan tata rias tipis, mengenakan kain jarik coklat, kebaya putih, dan jilbab coklat, karena habis kondangan, akhirnya melambaikan tangannya untuk memanggilnya.

"Toni sudah selesai PR-nya? Sana gantian tanya ibumu, tante jangan diganggu terus!" perintah Anggara. "Sekarang giliranku." sayup-sayup suara Anggara terdengar lagi.

Amelya tersenyum.

Toni menggerutu pelan, tapi akhirnya dia mematuhi perintah omnya. Mungkin memang PR-nya sudah selesai, mungkin juga memang ia mematuhi kata-kata omnya. Omnya termasuk orang diam, yang seolah-olah siapapun yang mendengar perintahnya harus segera melaksanakan perintah tersebut.

Amelya mendekati Anggara yang duduk di teras. 

Anggara yang sedang mengamati gawainya, kembali lagi mengamati Amelya untuk waktu yang lama, setelah itu ia menunduk lagi mengamati gawainya, "Dengan berpakaian seperti itu, apakah kamu merasa, kamu sudah sangat cantik?" tanya Anggara.

Amelya kaget sekaligus senang, "Aku tidak bilang aku merasa sangat cantik, kenapa kamu tiba-tiba berkata seperti itu?" protes Amelya sambil tertawa, sambil mengamati lelaki hitam manis yang penuh kharisma di depannya ini.

Anggara tersenyum, tapi senyumannya seperti sebuah senyuman yang mengejek tapi juga seperti sebuah senyuman senang yang sedang disembunyikan.

"Ponakanmu cerdas sekali," puji Amelya.

"Ya, seperti omnya" kata Anggara sambil tertawa bangga memamerkan gigi-giginya.

"Ck," komentar Amelya sambil memalingkan wajahnya.

"Gimana kamu jadi resign?" tanya Anggara, menyinggung masalah itu lagi. Masalah yang seperti bom waktu, siap meledak kapan saja.

Amelya berusaha tetap tenang, meskipun sebenarnya gerah karena lagi-lagi menyinggung hal itu, "Aku tidak segegabah itu, apalagi menghadapi kita yang akan menikah. Masih menunggu perkembangan selanjutnya. Tapi, untuk persiapan, aku katakan kepadamu, kemungkinan aku akan tetap resign.

Tidak masalah jika aku tetap bekerja di tempat tersebut, asal aku diberi sedikit kelonggaran waktu untuk mengejar cita-citaku sendiri. Kenyataannya, tenaga dan waktuku justru habis dieksploitasi oleh atasanku. Atasanku, wanita itu, yang bergaji besar, dia bisa melenggang kemana-mana. Sedangkan aku, aku yang gajinya tidak ada setengahnya, justru mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya dikerjakan olehnya. Dan ketika aku menuntut keadilan agar aku bekerja sesuai job desk, dia bilang agar aku tidak hanya bekerja sesuai job desk. Dan aku tidak bisa apa-apa, karena dia memang salah satu kerabat pemilik perusahaan.

Dan jika aku tidak mau mengikuti perintahnya, aku diadukan ini dan itu pada atasan yang lebih atas lagi, dengan alasan aku tidak mau mengerjakan ini dan itu. Itu sangat membuatku tersiksa.

Aku hanya ingin mandiri, kerja mandiri. Dan pula, aku ini seorang wanita, kelak, aku harus meluangkan banyak waktuku untuk keluargaku, untuk mendidik anak-anakku. Bekerja di suatu lembaga itu, harus mengikuti aturan lembaga itu, tidak bisa seenaknya izin. Izin sakit pun ada ketentuannya.

Aku lelah mengikuti kata semua orang. Sedari kecil hingga sekarang aku disetir dan mengikuti ayahku. Dan sekarang, masa aku ingin hidup untuk diriku sendiri pun tidak bisa? Mengejar kembali impianku, menggeluti bisnis fashion tidak bisa?

Dan bukankah aku sudah menjelaskan ini berulang kali padamu?" kata Amelya panjang lebar. Amelya agak bersyukur karena bisa menyampaikannya dengan lancar, dengan tetap bisa bernafas, dan hanya ada sedikit emosi.

"Semua yang kamu katakan benar.

Seluruh hidupumu selama ini hanya hidup untuk orang lain. Dari kecil hingga sekarang kamu hidup untuk ayahmu, tidak untuk keinginan dirimu sendiri. 

Tapi..tapi di sisi lain, kamu melepaskan pekerjaanmu yang sekarang, itu sangat disayangkan, karena ya..kamu sudah memulainya dari nol." jawab Anggara sambil masih mengamati gawainya.

Amelya mulai tidak sabar dengan Anggara, "Aku pun tidak memaksamu untuk melanjutkan pernikahan ini. Aku sudah memberi opsi kepadamu. Jika kamu menerima keadaanku seperti ini, maka lanjutkanlah. Tapi jika tidak mau, aku juga tidak memaksamu.

Lagipula selama ini keluargamu pun bersifat acuh tak acuh kepada kita. Secara kasih sayang mereka memang menyayangi dan menerima kita dengan lengan terbuka. Tapi secara uang, mereka mengikat uangnya dengan sangat erat. Bahkan mereka sudah berkata kepada kita bahwa mereka tidak akan bisa membiayai pernikahan kita ini. Aku tidak merasa berhutang apapun padamu dan juga pada keluargamu!" kata Amelya akhirnya.

Anggara tetap diam mendengarkan kata-kata Amelya, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya, namun sangat terlihat warna wajahnya berubah menjadi hitam padam.

Amelya sendiri tiba-tiba sangat menyesal. Mulutnya terlalu tajam. Tapi dia juga tidak mampu bertahan dengan Anggara yang terus menyerangnya dan tidak mendukung cita-citanya. 

...

"Sudah merasa enak Amelya?" tanya seseorang membangunkan gadis bergaun kuning gading tadi, yang akhirnya tertidur di bis.

"Eh, Vina, sudah ini. Aku tertidur ya?" tanya Amelya, kepada gadis di sampingnya, yang mengenakan jilbab pink, kaos putih, dan celana jeans, sambil tersenyum.

"Iya, bener, syukurlah kalau begitu. Yuk, kita turun, sudah sampai ini." kata Vina.

Amelya turun bus mengikuti Vina dan rekan kerjanya yang lain.

"Ini harus ikut berkeliling ya?" tanya Amelya sambil berjalan beriringan, juga dengan rekan-rekan yang lain, untuk masuk ke lokasi Jatim Park 1.

"Entahlah, tapi kalau kamu memutuskan untuk duduk istirahat, mungkin tidak apa-apa, tinggal izin saja. Lagipula sedang tidak enak badan, dan sesi bebas" jawab Vina lagi.

"Ya, betul, lagipula soalnya, aku pernah berkeliling Jatim Park ini."

"Ya.." kata Vina lagi sambil tersenyum

Dan begitulah kenyataannya, alih-alih berkeliling, Amelya memilih duduk di salah satu kursi, di depan deretan koleksi mobil Ford yang berjajar-jajar rapi.

Ia mengamati teman-temannya yang sedang berpotret atau berselfi ria di antara mobil itu sambil tersenyum-senyum. Ia tak habis pikir, kenapa orang suka menghabiskan memori kamera HP-nya hanya untuk berselfi ria. Oke, baik, kalau berfoto satu atau dua kali boleh, tapi kalau berulang kali?

"Amely, Amelya, sini kufoto!" suara Vina.

Amelya menoleh ke sumber suara dan melihat Vina sudah membidiknya dengan kamera HP-nya, yang ini membuat Amelya segera menghadap ke arah kamera, mengangkat kedua jarinya, memasang gaya seperti gadis Korea atau gadis Jepang yang berpose saat mau difoto. Itulah refleks semua orang, pikir Amelya, daripada memikirkan gaya yang lebih sulit atau tidak bergaya sama sekali, padahal di sisi lain dia harus menyenangkan pihak yang memfoto.

"Vina, kok kamu malah memfotoku?" tanya Amelya. 

"Aku gemes sama kamu, kita sibuk berfoto, kamu malah bengong. Ya nggak nyalahin juga sih, lagi nggak enak badan." kata Vina lagi.

Amelya tersenyum. "Aku justru menikmati pemandangan yang langka ini, melihat kalian berfoto dengan berbagai gayanya."

"Ha..Oke!" kata Vina sambil tertawa. "Silakan istirahat lagi!"

Vina berlalu, dan Amelya mengamati kepergian Vina dengan rasa bersyukur, punya sahabat seperti Vina, yang sangat sayang dan perhatian kepadanya.

Dia memikirkan kembali perkataan beberapa orang yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang keras kepala. Itulah kenapa semua orang menjauhinya. 

Lalu, terlintas lagi di pikirannya, tentang hubungannya dan Anggara saat ini. Amelya sempat berpikir bahwa kehidupan ini seharusnya sederhana, tidak sekompleks itu. Dia pikir, dia hanya perlu menjalankan perannya sebagai seorang wanita, menemukan jodoh, saling jatuh cinta, beres.

Tapi kenyataannya tidak seindah dan semulus itu. Cinta kalah dengan uang. Dan idealisme kalah dengan uang. Bahkan banyak juga pernikahan yang akhirnya dikandaskan oleh uang...

"Tidak ikut keliling dan berfoto-foto menghabiskan memori ponsel?" tanya seorang lelaki bersuara bariton, mengagetkan Amelya.

Amelya menatap ketiga pria yang mendatanginya, lalu menatap lelaki yang menanyainya, lalu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

Amelya menggeser duduknya, memberi kesempatan ketiga rekan lelakinya untuk duduk di situ.  

Salah satu pria itu, yang tinggi, memilik badan yang cukup bagus dan berwajah tampan, duduk dengan tepat di samping Amelya, yang sedang mengamatinya. 

"Tam, kita cari udara segar dulu, ya!" kata kedua lelaki yang lain.

"Tidak ikut mereka, Tama?" tanya Amelya 

"Tidak, mereka mau merokok. Aku sudah sempat merokok tadi." kata Tama tertawa

Amelya ikut tertawa.

"Kau sendiri kenapa tidak ikut seperti mereka?" tanya Tama sambil menunjuk ke arah rekannya yang sedang berselfi ria, dengan dagunya.

Amelya menggelengkan kepalanya sambil tertawa tanpa suara.

"Orang tidak akan menyangka bahwa suatu saat akan muncul dan berkembang alat transportasi seperti ini." kata Tama lagi.

"Ya.." kata Amelya masih menatap lurus ke depan. "Dan si penciptanya, pasti sudah bekerja sangat keras untuk mewujudkan impiannya tersebut." kata Amelya lagi.

"Kenapa kamu bilang begitu?" tanya Tama sambil menatap Amelya, seolah tertarik dengan kata-kata Amelya.

Amelya menatap lelaki itu sejenak dengan mata yang berbinar meskipun jika dilihat dengan lebih teliti lagi, secara bersamaan mata itu juga sebenarnya memancarkan sedikit kesedihan. Tetapi karena menatap Tama membuat hatinya merasa tidak enak dan perasaan campur-aduk yang sulit dilukiskan, Amelya lalu segera mengalihkan pandangannya lagi ke deretan mobil-mobil dan hiruk pikuk yang ada dihadapannya 

"Ya, merintis sesuatu yang sebelumnya belum ada bukankah sesuatu yang berat?" Amelya teringat akan keinginannya untuk resign dari perusahaan dan memulai bisnis baru di bidang fashion. Dulu ia ditolak orang tuanya, sekarang seolah dia akan ditolak tunangannya. "Seperti.." Amelya ingin menceritakan kehidupannya, namun ia segera tersadar dan mengubah topik pembicaraannya, seperti Aryanto Misel dan Nikuba-nya misalnya."

"Haha..kamu mengikuti informasi itu?" tanya Tama lagi.

Amelya menoleh ke arah Tama lagi sambil tersenyum, namun kemudian memalingkan wajahnya lagi, "Tidak sengaja mengikuti." kata Amelya lagi.

"Ngomong-ngomong Tama, kamu tidak tertarik untuk melihat koleksi alat transportasi di sini? Bukankah cowok, suka dengan hal-hal seperti itu?" 

"Iya, tapi tidak selalu." kata Tama sambil mengubah posisi duduknya sedikit mengarah ke arah Amelya, dan menatap Amelya lagi sejenak.

Tama memperbaiki posisi duduknya lagi untuk menghadap ke depan lagi, "Kenapa memang Nikuba-nya Aryanto Misel itu?" tanya Tama lagi .

Amelya menatap Tama lagi, "Haha..kau tertarik hal itu? Tidak, kau pasti mengikuti beritanya lebih dari aku..aku hanya iseng. Tapi baiklah..pro-kontra, sebagian dunia memang membuktikan sedang ada pengembangan bahan bakar kendaraan dari hidrogen..tapi sebagian mengatakan bahan bakar dari air itu mustahil.."

Tama mengamati lagi wanita di sampingnya itu.

"Eh, btw, kamu ini orang teknik, tidak usah mengujiku. Kamu hanya akan mengolok-olokku ya?!" tanya Amelya sambil menatap Tama sejenak, seolah-olah baru menyadari sesuatu.

Tama masih menatap Amelya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke depan sambil tersenyum.

"Mel..kita ke sana dulu yuk, sebentar, kamu udah baikan kan?!" kata Vina sambil melihat ke arah Tama sebentar. Di belakang Vina ada Dinda yang juga mendekati mereka, menunggu mereka.

"Tama, kamu nggak keberatan kan?" tanya Vina sambil menatap Tama.

"Ya, silakan!" kata Tama

Amelya menatap Tama sejenak, trima kasih bincang-bincangnya Tama," kata Amelya.

"Ya..!" balas Tama lagi.

Amelya buru-buru ditarik oleh Vina.

Tama mengamati kepergian Amelya, lalu mengamati bekas tempat duduk Amelya, sebuah syal tertinggal di sana

*

"Trima kasih.." kata Amelya sambil tersenyum pada pramusaji, Setelah pramusaji itu menyajikan pesanan mereka, kopi untuk Amelya dan es teh untuk Aryo, di sebuah kafe.

Pramusaji wanita, yang mengenakan kemeja putih lengan panjang, rok pendek selutut warna hitam, dan rambut digelung rapi itu, dengan ramah membalas senyum Amelya, "Ya.." katanya.

Amelya segera mengambil cangkir kopi capuccino-nya dan segera menyeruputnya, "Maafkan kata-kataku kemarin," kata Amelya segera, seolah tidak ingin kehilangan kesempatan, seolah juga tidak ingin mengulur-ulurnya sehingga ia berubah pikiran.

Beberapa detik, Anggara tidak langsung menjawab, namun kemudian "Ya.." katanya masih sambil terus menunduk memainkan gawainya.

Amelya tetap duduk di depan Anggara tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kepalanya menunduk, menikmati kopinya, dan otaknya sibuk berdiskusi sendiri. Di satu sisi, dia tidak ingin terlalu angkuh meninggalkan Anggara begitu saja. Anggara adalah orang yang sudah menemaninya selama ini, baik kondisi jatuh ataupun bangun. Sepanjang menjalin hubungan dengannya, dia juga tidak pernah sekalipun mendengar dan menyaksikan sendiri sekedar main mata, atau bahkan selingkuh dengan seorang wanita lain. Dia pun tidak pernah mementingkan kepentingannya sendiri, misal beli baju untuk dirinya sendiri, beli sepatu untuk dirinya sendiri, atau yang lain. Di sisi lain Anggara tidak pernah mempermasalahkan jika Amelya beli baju branded, sepatu branded, atau yang lain. Dia tidak pernah rewel komentar mengenai hal itu.

Dia juga seorang yang sangat cerdas, dan itu salah satu bibit unggul untuk calon generasi penerus mereka kelak, jika mereka berjodoh untuk menikah.

Tapi keputusannya untuk tidak mendukung Amelya resign, meski itu sangat masuk akal, sangat berat bagi Amelya. Yang itu artinya, setengah sisa hidup Amelya sekarang harus menuruti keinginan tunangannya, padahal setengah hidupnya dulu ia sudah menuruti keinginan orang tuanya. 

Tidak, tidak, ini tidak bisa dibiarkan. aku saja sudah tidak sanggup hidup di bawah perintah ayahku dan hidup untuk ayahku. Masa sekarang aku harus hidup untuk suamiku, bukan untuk diriku sendiri?

Aku harus mencintai dirinku sendiri...pikir Amelya

Anggara juga tidak segera membuka percakapan. Seolah dia pun bingung dengan apa yang akan dikatakannya. Seolah juga dia tidak bisa memutuskan untuk dirinya sendiri. Dia butuh waktu untuk itu. Dan biarkan waktu yang menjawabnya. 

"Seseorang mengembalikan ini, katanya ini milikmu." kata Anggara mengeluarkan sebuah bungkusan.

Amelya memicingkan matanya dan membuka bungkusan tersebut, "Ah, iya, syalku..!" kata Amelya, ia mengingat-ingatnya beberapa saat, dan ia teringat peristiwa itu. Saat duduk berasama Tama.

Tapi demi dilihatnya Anggara yang tidak merespon ekspresinya, Amelya kembali tenang.

Tama atau Anggara? tanya Amelya di dalam hatinya. Amelya pun tidak bisa menjawabnya, biar waktu yang menjawabnya. Amelya juga bisa bertanya kepada AI-nya, tapi ia juga pasti tidak sanggup membaca jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun