"Trima kasih.." kata Amelya sambil tersenyum pada pramusaji, Setelah pramusaji itu menyajikan pesanan mereka, kopi untuk Amelya dan es teh untuk Aryo, di sebuah kafe.
Pramusaji wanita, yang mengenakan kemeja putih lengan panjang, rok pendek selutut warna hitam, dan rambut digelung rapi itu, dengan ramah membalas senyum Amelya, "Ya.." katanya.
Amelya segera mengambil cangkir kopi capuccino-nya dan segera menyeruputnya, "Maafkan kata-kataku kemarin," kata Amelya segera, seolah tidak ingin kehilangan kesempatan, seolah juga tidak ingin mengulur-ulurnya sehingga ia berubah pikiran.
Beberapa detik, Anggara tidak langsung menjawab, namun kemudian "Ya.." katanya masih sambil terus menunduk memainkan gawainya.
Amelya tetap duduk di depan Anggara tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kepalanya menunduk, menikmati kopinya, dan otaknya sibuk berdiskusi sendiri. Di satu sisi, dia tidak ingin terlalu angkuh meninggalkan Anggara begitu saja. Anggara adalah orang yang sudah menemaninya selama ini, baik kondisi jatuh ataupun bangun. Sepanjang menjalin hubungan dengannya, dia juga tidak pernah sekalipun mendengar dan menyaksikan sendiri sekedar main mata, atau bahkan selingkuh dengan seorang wanita lain. Dia pun tidak pernah mementingkan kepentingannya sendiri, misal beli baju untuk dirinya sendiri, beli sepatu untuk dirinya sendiri, atau yang lain. Di sisi lain Anggara tidak pernah mempermasalahkan jika Amelya beli baju branded, sepatu branded, atau yang lain. Dia tidak pernah rewel komentar mengenai hal itu.
Dia juga seorang yang sangat cerdas, dan itu salah satu bibit unggul untuk calon generasi penerus mereka kelak, jika mereka berjodoh untuk menikah.
Tapi keputusannya untuk tidak mendukung Amelya resign, meski itu sangat masuk akal, sangat berat bagi Amelya. Yang itu artinya, setengah sisa hidup Amelya sekarang harus menuruti keinginan tunangannya, padahal setengah hidupnya dulu ia sudah menuruti keinginan orang tuanya.Â
Tidak, tidak, ini tidak bisa dibiarkan. aku saja sudah tidak sanggup hidup di bawah perintah ayahku dan hidup untuk ayahku. Masa sekarang aku harus hidup untuk suamiku, bukan untuk diriku sendiri?
Aku harus mencintai dirinku sendiri...pikir Amelya
Anggara juga tidak segera membuka percakapan. Seolah dia pun bingung dengan apa yang akan dikatakannya. Seolah juga dia tidak bisa memutuskan untuk dirinya sendiri. Dia butuh waktu untuk itu. Dan biarkan waktu yang menjawabnya.Â
"Seseorang mengembalikan ini, katanya ini milikmu." kata Anggara mengeluarkan sebuah bungkusan.