"Toni sudah selesai PR-nya? Sana gantian tanya ibumu, tante jangan diganggu terus!" perintah Anggara. "Sekarang giliranku." sayup-sayup suara Anggara terdengar lagi.
Amelya tersenyum.
Toni menggerutu pelan, tapi akhirnya dia mematuhi perintah omnya. Mungkin memang PR-nya sudah selesai, mungkin juga memang ia mematuhi kata-kata omnya. Omnya termasuk orang diam, yang seolah-olah siapapun yang mendengar perintahnya harus segera melaksanakan perintah tersebut.
Amelya mendekati Anggara yang duduk di teras.Â
Anggara yang sedang mengamati gawainya, kembali lagi mengamati Amelya untuk waktu yang lama, setelah itu ia menunduk lagi mengamati gawainya, "Dengan berpakaian seperti itu, apakah kamu merasa, kamu sudah sangat cantik?" tanya Anggara.
Amelya kaget sekaligus senang, "Aku tidak bilang aku merasa sangat cantik, kenapa kamu tiba-tiba berkata seperti itu?" protes Amelya sambil tertawa, sambil mengamati lelaki hitam manis yang penuh kharisma di depannya ini.
Anggara tersenyum, tapi senyumannya seperti sebuah senyuman yang mengejek tapi juga seperti sebuah senyuman senang yang sedang disembunyikan.
"Ponakanmu cerdas sekali," puji Amelya.
"Ya, seperti omnya" kata Anggara sambil tertawa bangga memamerkan gigi-giginya.
"Ck," komentar Amelya sambil memalingkan wajahnya.
"Gimana kamu jadi resign?" tanya Anggara, menyinggung masalah itu lagi. Masalah yang seperti bom waktu, siap meledak kapan saja.