Amelya berusaha tetap tenang, meskipun sebenarnya gerah karena lagi-lagi menyinggung hal itu, "Aku tidak segegabah itu, apalagi menghadapi kita yang akan menikah. Masih menunggu perkembangan selanjutnya. Tapi, untuk persiapan, aku katakan kepadamu, kemungkinan aku akan tetap resign.
Tidak masalah jika aku tetap bekerja di tempat tersebut, asal aku diberi sedikit kelonggaran waktu untuk mengejar cita-citaku sendiri. Kenyataannya, tenaga dan waktuku justru habis dieksploitasi oleh atasanku. Atasanku, wanita itu, yang bergaji besar, dia bisa melenggang kemana-mana. Sedangkan aku, aku yang gajinya tidak ada setengahnya, justru mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya dikerjakan olehnya. Dan ketika aku menuntut keadilan agar aku bekerja sesuai job desk, dia bilang agar aku tidak hanya bekerja sesuai job desk. Dan aku tidak bisa apa-apa, karena dia memang salah satu kerabat pemilik perusahaan.
Dan jika aku tidak mau mengikuti perintahnya, aku diadukan ini dan itu pada atasan yang lebih atas lagi, dengan alasan aku tidak mau mengerjakan ini dan itu. Itu sangat membuatku tersiksa.
Aku hanya ingin mandiri, kerja mandiri. Dan pula, aku ini seorang wanita, kelak, aku harus meluangkan banyak waktuku untuk keluargaku, untuk mendidik anak-anakku. Bekerja di suatu lembaga itu, harus mengikuti aturan lembaga itu, tidak bisa seenaknya izin. Izin sakit pun ada ketentuannya.
Aku lelah mengikuti kata semua orang. Sedari kecil hingga sekarang aku disetir dan mengikuti ayahku. Dan sekarang, masa aku ingin hidup untuk diriku sendiri pun tidak bisa? Mengejar kembali impianku, menggeluti bisnis fashion tidak bisa?
Dan bukankah aku sudah menjelaskan ini berulang kali padamu?" kata Amelya panjang lebar. Amelya agak bersyukur karena bisa menyampaikannya dengan lancar, dengan tetap bisa bernafas, dan hanya ada sedikit emosi.
"Semua yang kamu katakan benar.
Seluruh hidupumu selama ini hanya hidup untuk orang lain. Dari kecil hingga sekarang kamu hidup untuk ayahmu, tidak untuk keinginan dirimu sendiri.Â
Tapi..tapi di sisi lain, kamu melepaskan pekerjaanmu yang sekarang, itu sangat disayangkan, karena ya..kamu sudah memulainya dari nol." jawab Anggara sambil masih mengamati gawainya.
Amelya mulai tidak sabar dengan Anggara, "Aku pun tidak memaksamu untuk melanjutkan pernikahan ini. Aku sudah memberi opsi kepadamu. Jika kamu menerima keadaanku seperti ini, maka lanjutkanlah. Tapi jika tidak mau, aku juga tidak memaksamu.
Lagipula selama ini keluargamu pun bersifat acuh tak acuh kepada kita. Secara kasih sayang mereka memang menyayangi dan menerima kita dengan lengan terbuka. Tapi secara uang, mereka mengikat uangnya dengan sangat erat. Bahkan mereka sudah berkata kepada kita bahwa mereka tidak akan bisa membiayai pernikahan kita ini. Aku tidak merasa berhutang apapun padamu dan juga pada keluargamu!" kata Amelya akhirnya.