Dan begitulah kenyataannya, alih-alih berkeliling, Amelya memilih duduk di salah satu kursi, di depan deretan koleksi mobil Ford yang berjajar-jajar rapi.
Ia mengamati teman-temannya yang sedang berpotret atau berselfi ria di antara mobil itu sambil tersenyum-senyum. Ia tak habis pikir, kenapa orang suka menghabiskan memori kamera HP-nya hanya untuk berselfi ria. Oke, baik, kalau berfoto satu atau dua kali boleh, tapi kalau berulang kali?
"Amely, Amelya, sini kufoto!" suara Vina.
Amelya menoleh ke sumber suara dan melihat Vina sudah membidiknya dengan kamera HP-nya, yang ini membuat Amelya segera menghadap ke arah kamera, mengangkat kedua jarinya, memasang gaya seperti gadis Korea atau gadis Jepang yang berpose saat mau difoto. Itulah refleks semua orang, pikir Amelya, daripada memikirkan gaya yang lebih sulit atau tidak bergaya sama sekali, padahal di sisi lain dia harus menyenangkan pihak yang memfoto.
"Vina, kok kamu malah memfotoku?" tanya Amelya.Â
"Aku gemes sama kamu, kita sibuk berfoto, kamu malah bengong. Ya nggak nyalahin juga sih, lagi nggak enak badan." kata Vina lagi.
Amelya tersenyum. "Aku justru menikmati pemandangan yang langka ini, melihat kalian berfoto dengan berbagai gayanya."
"Ha..Oke!" kata Vina sambil tertawa. "Silakan istirahat lagi!"
Vina berlalu, dan Amelya mengamati kepergian Vina dengan rasa bersyukur, punya sahabat seperti Vina, yang sangat sayang dan perhatian kepadanya.
Dia memikirkan kembali perkataan beberapa orang yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang keras kepala. Itulah kenapa semua orang menjauhinya.Â
Lalu, terlintas lagi di pikirannya, tentang hubungannya dan Anggara saat ini. Amelya sempat berpikir bahwa kehidupan ini seharusnya sederhana, tidak sekompleks itu. Dia pikir, dia hanya perlu menjalankan perannya sebagai seorang wanita, menemukan jodoh, saling jatuh cinta, beres.