"Kesesuaian Honorarium dan Jaminan Sosial Pekerja KPPS dengan Prinsip Kerja Layak"
Â
Dhanis Wahyu A (1312100052)
Universitas 17 Agustus 1945, Fakultas Hukum
Email : dhanisalaffin@gmail.comÂ
Mega Dewi Ambarwati, S.H.,M.H.
Universitas 17 Agustus 1945, Fakultas Hukum
Email : megadewi@untag-sby.ac.idÂ
Â
Â
Abstract
Fulfilling the principle of decent work is one of the important responsibilities in ensuring the welfare of workers, including Voting Organizing Group (KPPS) officers. This article aims to analyze the suitability of honorarium and social security provided to KPPS workers with decent work principles stipulated in various national and international regulations. The method used in this research is a normative approach by examining laws and regulations, such as Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, General Election Commission Regulations (PKPU), and International Labor Organization (ILO) standards related to decent work.
The results of the analysis show that the honorarium of KPPS workers is often inadequate when compared to the workload, responsibilities, and risks faced, especially during intensive election periods. In addition, the social security provided, such as health and safety insurance, has not fully met the expected standards. This condition creates an imbalance between workers' expectations of work protection and the realization provided by election organizers.
This article concludes that there is a need to revise regulations related to the amount of honorarium and strengthen the implementation of social security for KPPS workers to ensure compliance with decent work principles. In addition, the synergy between the government, the General Election Commission (KPU), and related institutions is very important to realize the decent work principle.
Keyword : KPPS, kerja layak, honorarium, jaminan sosial, regulasi.
Abstrak
Pemenuhan prinsip kerja layak merupakan salah satu tanggung jawab penting dalam memastikan kesejahteraan pekerja, termasuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Artikel ini bertujuan menganalisis kesesuaian honorarium dan jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja KPPS dengan prinsip kerja layak yang diatur dalam berbagai regulasi nasional dan internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), serta standar Organisasi Buruh Internasional (ILO) terkait pekerjaan layak.
Hasil analisis menunjukkan bahwa honorarium pekerja KPPS sering kali tidak memadai jika dibandingkan dengan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko yang dihadapi, terutama dalam masa pemilu yang intensif. Selain itu, jaminan sosial yang diberikan, seperti asuransi kesehatan dan keselamatan kerja, belum sepenuhnya sesuai dengan standar yang diharapkan. Kondisi ini menciptakan ketimpangan antara harapan pekerja terhadap perlindungan kerja dengan realisasi yang diberikan oleh penyelenggara pemilu.
Artikel ini menyimpulkan bahwa diperlukan revisi regulasi terkait besaran honorarium dan penguatan implementasi jaminan sosial bagi pekerja KPPS untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip kerja layak. Selain itu, sinergi antara pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lembaga terkait sangat penting untuk mewujudkan lingkungan kerja yang adil dan manusiawi.
Kata kunci: KPPS, kerja layak, honorarium, jaminan sosial, regulasi.
PENDAHULUAN
Dalam konteks sistem demokrasi, pemilu menjadi salah satu pilar utama yang menjamin partisipasi rakyat dalam menentukan arah pembangunan negara. Penyelenggaraan pemilu yang kredibel, transparan, dan akuntabel tidak hanya bergantung pada regulasi yang kuat, tetapi juga pada pelaksanaan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). KPPS memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam memastikan jalannya pemilu di tingkat paling bawah, yakni di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Namun, pentingnya peran KPPS sering kali tidak sebanding dengan perhatian yang diberikan terhadap kesejahteraan mereka. Dalam menjalankan tugasnya, anggota KPPS menghadapi beban kerja yang signifikan, tekanan waktu, serta tanggung jawab besar untuk menjaga integritas proses pemilu. Di tengah tantangan tersebut, honorarium yang diberikan kepada mereka sering kali dinilai tidak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dipikul. Lebih lanjut, aspek jaminan sosial juga kerap kali diabaikan, sehingga para pekerja KPPS rentan terhadap risiko kecelakaan kerja, kesehatan, dan ancaman lainnya.[1]
Â
Isu mengenai kesesuaian honorarium dan jaminan sosial bagi pekerja KPPS merupakan bagian dari diskursus yang lebih luas tentang prinsip kerja layak. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO), kerja layak adalah pekerjaan yang memberikan pendapatan yang adil, jaminan sosial yang memadai, serta penghormatan terhadap hak-hak pekerja. Prinsip ini menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya pada poin kedelapan yang menekankan pentingnya pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam konteks hukum di Indonesia, berbagai regulasi telah mengatur perlindungan tenaga kerja, termasuk honorarium dan jaminan sosial. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, mengatur hak-hak pekerja, termasuk upah yang layak dan perlindungan sosial. Selain itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial. Namun, implementasi aturan tersebut dalam konteks pekerja KPPS masih menjadi persoalan yang perlu ditelaah lebih lanjut.
Â
Metode normatif dalam kajian ini digunakan untuk menganalisis kesesuaian honorarium dan jaminan sosial bagi pekerja KPPS berdasarkan kerangka hukum yang berlaku. Pendekatan normatif berfokus pada kajian terhadap norma-norma hukum tertulis, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan terkait. Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana seharusnya hukum mengatur isu tersebut, serta untuk mengidentifikasi kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan. Penggunaan metode normatif relevan untuk memahami bagaimana regulasi yang ada dapat memastikan kesejahteraan pekerja KPPS. Dalam hal ini, analisis akan difokuskan pada prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan upah yang layak, jaminan sosial, dan perlindungan tenaga kerja dalam konteks kerja temporer seperti yang dijalani oleh KPPS. Selain itu, kajian ini juga bertujuan untuk mengkaji apakah kebijakan honorarium dan jaminan sosial bagi pekerja KPPS telah sesuai dengan prinsip kerja layak yang diakui secara internasional.
Â
Masalah yang dihadapi oleh pekerja KPPS mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam pengelolaan tenaga kerja temporer di Indonesia. Sebagai pekerja yang direkrut untuk tugas spesifik dalam jangka waktu tertentu, anggota KPPS sering kali berada dalam situasi yang tidak sepenuhnya diakomodasi oleh regulasi ketenagakerjaan yang ada. Kondisi ini menimbulkan berbagai pertanyaan hukum dan kebijakan, seperti: Apakah honorarium yang diberikan kepada mereka dapat dikategorikan sebagai upah yang layak? Apakah pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan sosial bagi pekerja temporer seperti KPPS? Bagaimana prinsip kerja layak dapat diimplementasikan dalam konteks kerja temporer ini?
Â
Pendahuluan ini bertujuan untuk memberikan dasar pemahaman yang kuat mengenai isu yang akan dibahas lebih lanjut. Dengan menggunakan metode normatif, kajian ini berfokus pada penguraian norma-norma hukum yang relevan serta analisis kesesuaiannya dengan praktik yang terjadi di lapangan. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik untuk melindungi hak-hak pekerja KPPS dan memastikan pelaksanaan pemilu yang tidak hanya kredibel, tetapi juga berkeadilan.
Â
Metode Penelitian
Â
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan untuk mengkaji ketentuan hukum yang mengatur honorarium dan jaminan sosial bagi pekerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Indonesia. Beberapa regulasi yang menjadi rujukan utama meliputi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, serta pedoman teknis yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Â
Pendekatan konseptual digunakan untuk menganalisis konsep kerja layak (decent work) yang dicanangkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), meliputi aspek pengupahan layak, jaminan sosial, dan perlindungan kerja. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan sekunder yang dianalisis secara kualitatif untuk mengidentifikasi kesenjangan antara implementasi di lapangan dengan prinsip kerja layak.
Â
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi perbaikan terhadap kebijakan honorarium dan jaminan sosial pekerja KPPS agar lebih sesuai dengan standar kerja layak. Dengan metode ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik dan praktis dalam mendukung keadilan dan kesejahteraan pekerja KPPS.
Â
Dasar Hukum
Â
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Â
UUD 1945, sebagai konstitusi negara, menjadi dasar hukum utama yang mengatur hak asasi manusia, termasuk hak pekerja. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak." Prinsip ini mendasari pentingnya pemberian honorarium yang adil dan memadai serta perlindungan sosial bagi pekerja, termasuk pekerja KPPS, agar dapat hidup dengan layak.
Â
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Â
Undang-Undang Ketenagakerjaan ini memberikan dasar hukum mengenai hak-hak pekerja, termasuk dalam hal upah yang adil dan perlindungan terhadap hak-hak ketenagakerjaan. Beberapa pasal dalam undang-undang ini mengatur tentang hak pekerja atas upah, waktu kerja yang wajar, dan perlindungan sosial yang harus diterima oleh pekerja, meskipun dalam konteks pekerja sementara seperti KPPS. Pasal 88 dan pasal 93 mengatur soal upah yang layak dan ketentuan tentang kondisi kerja yang aman dan sehat.
Â
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Â
UU BPJS mengatur mengenai penyelenggaraan jaminan sosial bagi pekerja, termasuk jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, dan jaminan pensiun. Meskipun pekerja KPPS bekerja dengan status sementara, mereka seharusnya tetap mendapatkan akses terhadap perlindungan sosial sebagaimana diatur dalam UU ini, sesuai dengan prinsip kerja layak yang diterima pekerja di Indonesia.
Â
4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
Â
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang upah minimum yang harus diterima oleh setiap pekerja, termasuk pekerja sektor informal dan mereka yang bekerja dengan status kontrak. Hal ini dapat digunakan untuk menilai apakah honorarium yang diberikan kepada pekerja KPPS sudah memenuhi standar upah yang layak sesuai dengan beban pekerjaan yang mereka lakukan.
Â
5. Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)
Â
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi
Â
Konvensi ini mengatur hak pekerja untuk berkumpul dan berorganisasi demi memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk dalam hal pengupahan dan jaminan sosial. Pekerja KPPS, meskipun bekerja sementara, berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka, termasuk hak untuk memperjuangkan upah yang adil dan perlindungan sosial.
Â
Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Pengupahan
Â
Konvensi ini mengatur tentang prinsip pengupahan yang adil dan setara untuk pekerjaan yang setara, tanpa diskriminasi gender atau status pekerjaan. Dalam hal ini, pekerja KPPS seharusnya menerima upah yang sesuai dengan tingkat tanggung jawab mereka dalam pelaksanaan tugas.
Â
Konvensi ILO No. 102 tentang Standar Jaminan Sosial
Â
Konvensi ini mengatur mengenai jaminan sosial yang harus diterima oleh pekerja, termasuk akses terhadap perawatan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun. Pekerja KPPS, yang bekerja di sektor publik untuk kepentingan negara, juga seharusnya mendapatkan perlindungan sosial yang memadai sesuai dengan ketentuan ini.
Â
6. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Â
Deklarasi ini menyebutkan dalam Pasal 23 bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak, upah yang adil, dan kondisi kerja yang aman. Prinsip ini berlaku untuk semua pekerja, termasuk pekerja sementara seperti KPPS, yang berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak mereka terkait dengan honorarium dan jaminan sosial.
Â
7. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Â
KPU sebagai lembaga yang mengatur penyelenggaraan pemilu memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan honorarium bagi pekerja KPPS. Meskipun keputusan KPU ini bersifat administratif, penting untuk menilai apakah kebijakan honorarium yang diterapkan sudah sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan dan prinsip kerja layak.
Â
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Â
Dalam UU ini, diatur mengenai mekanisme pemilu di Indonesia, termasuk soal pendanaan dan penyelenggara pemilu, yang mencakup honorarium bagi pekerja KPPS. Meskipun UU ini lebih menitikberatkan pada aspek teknis pemilu, hal ini juga berpengaruh terhadap ketentuan honorarium dan perlindungan sosial bagi pekerja yang terlibat dalam pemilu.
Â
Rumusan Masalah
Â
Apakah sistem pemberian honorarium bagi pekerja KPPS telah memenuhi prinsip keadilan dan transparansi?
Â
Apakah kebijakan honorarium dan jaminan sosial pekerja KPPS sejalan dengan prinsip kerja layak yang diatur dalam hukum dan standar internasional?
Â
Pembahasan
Â
Pemenuhan sistem prinsip keadilan dan transparasi dalam pemberian honoriraium bagi pekerja KPPS.
Â
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu pilar demokrasi yang membutuhkan peran aktif berbagai pihak, termasuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). KPPS memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan proses pemungutan suara berjalan dengan tertib, lancar, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai bagian dari upaya penghargaan atas kinerja mereka, pemerintah memberikan honorarium kepada para anggota KPPS. Namun, sistem pemberian honorarium ini sering kali menjadi sorotan, khususnya terkait dengan pertanyaan apakah sistem tersebut telah memenuhi prinsip keadilan dan transparansi.
Â
Prinsip keadilan mengacu pada distribusi sumber daya, penghargaan, atau beban kerja secara proporsional dan sesuai dengan kontribusi masing-masing individu. Dalam konteks honorarium KPPS, keadilan dapat dilihat dari beberapa perspektif. Honorarium yang diberikan kepada anggota KPPS sering kali dianggap tidak sebanding dengan beban kerja dan risiko yang mereka tanggung. KPPS bekerja dalam kondisi yang penuh tekanan, dengan jam kerja yang panjang, serta tanggung jawab besar dalam menjaga integritas suara. Meski pemerintah telah menetapkan standar honorarium, nominal tersebut sering kali dianggap tidak mencerminkan penghargaan yang layak. Salah satu isu keadilan adalah perbedaan besaran honorarium antara wilayah perkotaan dan pedesaan. KPPS di daerah terpencil sering kali menghadapi tantangan tambahan, seperti aksesibilitas dan infrastruktur yang minim, tetapi mendapatkan honorarium yang sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan rekan mereka di daerah perkotaan. Hal ini menimbulkan kesan ketidakadilan dalam sistem pemberian honorarium. Selain itu, beban kerja anggota KPPS dapat berbeda-beda tergantung pada jumlah pemilih di tempat pemungutan suara (TPS). Di TPS dengan jumlah pemilih yang besar, anggota KPPS harus bekerja lebih keras dibandingkan TPS dengan jumlah pemilih yang kecil. Namun, honorarium yang diterima biasanya tidak memperhitungkan faktor ini, sehingga tidak mencerminkan prinsip keadilan proporsional.[2]
Â
Prinsip transparansi menekankan keterbukaan informasi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan kebijakan. Dalam konteks pemberian honorarium KPPS, transparansi dapat dilihat dari informasi yang jelas mengenai besaran honorarium, mekanisme pencairan, dan sumber dana. Sayangnya, dalam beberapa kasus, anggota KPPS mengeluhkan kurangnya informasi yang mereka terima, sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpuasan. Proses pencairan honorarium sering kali menjadi sorotan karena keterlambatan atau prosedur yang rumit. Ketidakpastian mengenai waktu pencairan honorarium dapat memengaruhi motivasi dan kepercayaan anggota KPPS terhadap sistem yang ada. Selain itu, pengawasan terhadap distribusi honorarium merupakan aspek penting dari transparansi. Dalam beberapa kasus, ditemukan penyimpangan seperti pemotongan honorarium oleh oknum tertentu. Minimnya mekanisme pengaduan yang efektif juga memperburuk situasi ini. Pemerintah telah menetapkan regulasi terkait honorarium KPPS melalui peraturan perundang-undangan. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu harus memperhatikan prinsip keadilan dan profesionalitas. Selain itu, honorarium KPPS diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU dan ketentuan terkait alokasi anggaran pemilu. Namun, implementasi di lapangan sering kali menghadapi kendala, seperti alokasi anggaran yang tidak memadai dan birokrasi yang berbelit-belit. Regulasi yang ada perlu diperbarui secara berkala untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Salah satu cara untuk memastikan prinsip keadilan dan transparansi adalah dengan melakukan evaluasi rutin terhadap sistem pemberian honorarium. Evaluasi ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk anggota KPPS, untuk mendapatkan masukan yang komprehensif.[3]
Â
Pemanfaatan teknologi, seperti sistem pembayaran digital, dapat meningkatkan transparansi dalam pencairan honorarium. Sistem ini memungkinkan pencatatan yang lebih akurat dan meminimalkan potensi penyimpangan. Namun, banyak anggota KPPS menganggap honorarium yang mereka terima tidak memadai, baik dari segi nominal maupun ketepatan waktu pencairan. Ketidakpuasan ini dapat berdampak negatif pada motivasi kerja dan kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu. Masyarakat sering kali tidak menyadari kompleksitas tugas KPPS dan pentingnya sistem honorarium yang adil dan transparan. Oleh karena itu, edukasi publik mengenai peran KPPS dan tantangan yang mereka hadapi sangat diperlukan. Sistem pemberian honorarium yang tidak adil dan tidak transparan dapat merusak integritas penyelenggaraan pemilu. Jika KPPS merasa tidak dihargai, hal ini dapat memengaruhi kualitas kerja mereka, yang pada akhirnya berdampak pada kredibilitas hasil pemilu. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali besaran honorarium yang diberikan kepada KPPS untuk memastikan bahwa nominal tersebut mencerminkan beban kerja dan risiko yang mereka tanggung. Selain itu, diferensiasi honorarium berdasarkan wilayah dan tingkat kesulitan pekerjaan juga harus dipertimbangkan. Informasi mengenai honorarium harus disampaikan dengan jelas sejak awal perekrutan KPPS. Proses pencairan honorarium juga perlu disederhanakan dan diawasi dengan ketat untuk mencegah penyimpangan. Implementasi sistem pembayaran digital dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pencairan honorarium. Sistem ini juga memungkinkan pengawasan yang lebih baik oleh pihak berwenang. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peran KPPS dalam pemilu dapat membantu menciptakan dukungan yang lebih luas terhadap upaya peningkatan sistem honorarium mereka. Selain itu, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus melakukan evaluasi rutin terhadap sistem pemberian honorarium untuk memastikan bahwa prinsip keadilan dan transparansi terus terpenuhi. Sistem pemberian honorarium bagi pekerja KPPS merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Namun, saat ini sistem tersebut masih menghadapi tantangan dalam memenuhi prinsip keadilan dan transparansi. Beban kerja yang tidak proporsional, perbedaan kondisi wilayah, kurangnya informasi yang jelas, serta keterlambatan pencairan honorarium adalah beberapa isu yang perlu segera diatasi. Melalui reformasi kebijakan, peningkatan transparansi, pemanfaatan teknologi, dan edukasi publik, pemerintah dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan motivasi dan kepercayaan anggota KPPS, tetapi juga memperkuat integritas sistem demokrasi di Indonesia. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan penyelenggaraan pemilu ke depan dapat berjalan dengan lebih baik, adil, dan terpercaya.
Â
Prinsip kerja layak yang diatur dalam hukum dan standar internasional dalam kebijakan honorarium dan jaminan sosial pekerja KPPS.
Â
Pekerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemilu di Indonesia. Mereka bertugas memastikan kelancaran pemungutan suara yang adil dan demokratis. Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan honorarium dan jaminan sosial untuk pekerja KPPS seringkali menjadi masalah yang belum terselesaikan dengan baik. Kebijakan honorarium yang diterima pekerja KPPS seringkali tidak mencerminkan nilai pekerjaan yang mereka lakukan, sementara jaminan sosial yang diberikan juga sangat terbatas.[4] Hal ini mengundang pertanyaan mengenai apakah kebijakan tersebut sudah sesuai dengan prinsip kerja layak yang diatur dalam hukum nasional maupun standar internasional yang ditetapkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Â
Honorarium yang diberikan kepada pekerja KPPS dalam pemilu di Indonesia seringkali dianggap tidak setimpal dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban. Berdasarkan peraturan yang ada, honorarium petugas KPPS bervariasi tergantung pada kategori jabatan dan durasi kerja mereka. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan honorarium tersebut, jumlah yang diberikan sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi para pekerja, mengingat jam kerja yang panjang dan intensitas pekerjaan yang tinggi selama proses pemilu. Menurut ILO, prinsip kerja layak mengharuskan bahwa upah yang diterima oleh pekerja harus mencerminkan nilai pekerjaan yang dilakukan dan cukup untuk menjamin kualitas hidup yang layak. Dalam konteks pekerja KPPS, honorarium yang diberikan sering kali tidak memenuhi standar tersebut, karena besarnya honorarium tidak proporsional dengan beban kerja yang diterima oleh pekerja. Selain masalah honorarium, jaminan sosial bagi pekerja KPPS juga menjadi perhatian. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), seluruh pekerja seharusnya terdaftar dalam program jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Namun, pekerja KPPS yang bekerja dengan status sementara dan kontrak jangka pendek sering kali tidak mendapatkan jaminan sosial tersebut. Jaminan sosial adalah hak dasar yang harus diterima oleh setiap pekerja, baik yang bekerja secara permanen maupun sementara, dan hal ini juga diatur dalam konvensi-konvensi ILO. Oleh karena itu, kebijakan yang ada belum sepenuhnya memenuhi hak pekerja KPPS atas perlindungan sosial yang memadai.
Â
Tantangan utama yang dihadapi oleh pekerja KPPS adalah status pekerjaan mereka yang bersifat sementara. Pekerja KPPS bukan merupakan pegawai tetap, melainkan tenaga kontrak yang bekerja hanya untuk periode tertentu selama pemilu berlangsung. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa menikmati hak-hak pekerja tetap, seperti perlindungan jaminan sosial yang lebih lengkap. Kondisi ini membuat pekerja KPPS sering kali harus bekerja dalam situasi yang penuh tantangan, tanpa jaminan perlindungan yang memadai terhadap risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang mungkin terjadi selama pemilu. Secara keseluruhan, kebijakan honorarium dan jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja KPPS masih jauh dari memenuhi prinsip kerja layak yang diatur dalam hukum nasional maupun standar internasional. Upah yang diterima pekerja KPPS tidak mencerminkan besarnya tanggung jawab yang mereka emban, dan mereka juga tidak mendapatkan perlindungan sosial yang memadai. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam perlakuan terhadap pekerja sementara dibandingkan dengan pekerja tetap. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah untuk memperbaiki kebijakan terkait honorarium dan jaminan sosial bagi pekerja KPPS, dengan memastikan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kerja layak yang mengutamakan kesejahteraan pekerja. Sebagai langkah perbaikan, pemerintah perlu memperbarui regulasi yang mengatur honorarium dan jaminan sosial bagi pekerja KPPS agar lebih mencerminkan upah yang adil dan memenuhi kebutuhan hidup layak. Selain itu, pekerja KPPS juga harus mendapatkan akses yang lebih baik terhadap jaminan sosial, termasuk asuransi kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan perlindungan lainnya yang menjadi hak mereka. Peningkatan kesejahteraan pekerja KPPS tidak hanya penting untuk mengakomodasi kebutuhan mereka, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka dapat bekerja dalam kondisi yang lebih baik dan lebih aman. Hal ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan kewajiban negara untuk melindungi setiap warganya, termasuk mereka yang bekerja sebagai petugas pemilu.
Â
Kesimpulan
Â
Kesimpulan dari artikel "Kesesuaian Honorarium dan Jaminan Sosial Pekerja KPPS dengan Prinsip Kerja Layak" adalah bahwa honorarium dan jaminan sosial yang diterima oleh pekerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Indonesia masih belum sesuai dengan prinsip kerja layak yang diatur dalam hukum nasional dan standar internasional. Honorarium yang diberikan sering kali tidak proporsional dengan beban kerja, tanggung jawab, serta risiko yang dihadapi pekerja KPPS selama pemilu. Selain itu, jaminan sosial yang diterima, seperti asuransi kesehatan dan keselamatan kerja, masih terbatas dan tidak memenuhi standar yang diharapkan.
Â
Artikel ini menegaskan pentingnya revisi regulasi terkait honorarium serta penguatan implementasi jaminan sosial bagi pekerja KPPS. Langkah-langkah ini memerlukan sinergi antara pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lembaga terkait untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil dan manusiawi. Dengan perbaikan kebijakan tersebut, diharapkan kesejahteraan pekerja KPPS dapat meningkat, sehingga kualitas penyelenggaraan pemilu menjadi lebih baik dan terpercaya.
Â
Daftar Pustaka
Â
Ledy, Lola, and Melia Dina, 'Analisis Kesesuaian Honor Dan Hak-Hak KPPS Dengan Peraturan Desa Serta Undang-Undang Ketenagakerjaan Di Indonesia' <https://doi.org/10.59246/aladalah.v3i1.1167>
Â
Roza indriani, Tengku Rika Valentina, and Indah Adi Putri, 'Literasi Informasi Petugas KPPS Terhadap Keterpunuhan Hak-Hak Sebagai Pekerja Pada Pemilu 2019', Jurnal Niara, 16.3 (2024), 561--67 <https://doi.org/10.31849/niara.v16i3.15845>
Â
Preventing Electoral Fraud in Indonesia: Protecting the Social Security of Election Management Personnel, Riwanto A, Suryaningsih S, Firmandiaz VJurnal Media Hukum (2024) 31(1) 95-114
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H