Seharian Ibu tak membuka warungnya. Banyak pengunjung pulang dengan kecewa. Ibu hanya terduduk di dekat perapian, membolak-balikkan kayu bakar. Aku tahu, amarah ibu semerah bara api di dalam tungku. Terkurung tanpa mampu membakar sekelilingnya. Mungkin Ibu sedang tidak ingin melalapku dalam geramnya.
Sedangkan aku hanya melipat-lipat kertas. Semakin lusuh, hingga sobek pada bagian tengahnya. Biasanya jika cemas melanda, Ibu segera melipatkan seekor burung dari kertas bekas. Dan kini aku sedang mengusahakannya sendiri, melipat cemas yang berkali-kali gagal.
Air liurku juga mulai menetes. Ini akan terjadi jika aku sedih. Bajuku basah dan Ibu tak peduli. Aku seperti anak burung kertas yang pernah Ibu buang ketika membersihkan meja warung. Ibu menginjaknya. Sama seperti harapku untuk dikasihi yang telah terinjak hari ini.
Aku lapar. Ibu masih tak peduli. Hari ini Ibu lupa menanak nasi, atau mungkin sengaja tak ingin memberiku makan. Ini hukuman untuk anak sepertiku. Anak yang telah membuat malu Ibunya.
Kuambil anak burung kertas yang pernah Ibu buang dari dalam laciku. Aku mengajaknya menghirup malam di emperan warung.
"Sudah pernah kubilang padamu, jangan sakiti Ibumu."
Aku berkata pada anak burung kertas. "Sampai saat ini kau tak pernah bisa berjumpa lagi dengan Ibumu, kan? Ibumu sudah terbang tinggi dan melupakan anak nakal sepertimu."
Aku pun menunduk, melihat diriku sendiri. Anak burung kertas itu menertawaiku.
Kutinggalkan anak burung kertas itu di atas bangku kayu. Biar ia dipeluk sendiri. Biar ia di makan sepi.
Malam yang dingin. Aku tahu itu. Toh, tak ada yang peduli kemana aku berlari. Anak burung kertas itu semakin tak terlihat. Warung Ibu tampak lebih remang dari sebelumnya. Aku telah sampai di seberang, meninggalkan Ibu yang masih terduduk di dekat perapian.
Di sinilah Miranda merebahkan tubuhnya menatap matahari yang kini berganti rembulan. Di sinilah Miranda menghabiskan waktunya. Mengubur sepi serta lukanya.