"Benar dan esok akan ia pakai untuk mengupas kulitmu."
"Kau bohong!"
"Jika itu yang kau yakini, maka kau harus bersiap untuk mati."
Aku berlari meninggalkan Miranda. Dengan berkeringkat kembali duduk di bangku kayu. Anak burung kertas itu masih ada di sana. Barangkali memang menungguku kembali.
Gulita membuatku semakin gundah. Perkataan Miranda terngiang di kepalaku. Suaranya seolah menggema, memenuhi kedua lobang telingaku. Dan yang lebih mengerikan, esok aku akan mati di tangan Ibu. Pisau Ibu akan mengulitiku seperti menguliti bawang-bawangnya.
Mungkin sekujur tubuhku penuh dengan dosa hingga Ibu perlu mengupasnya. Mungkin setelah dosa-dosa itu hilang, aku tidak lagi menjadi berbeda dengan anak-anak yang lainnya. Mungkin setelah itu, Ibu akan lebih menyayangiku. Tapi bagaimana jika kemudian Ibu memotong-motong tubuhku lalu memasaknya yang kemudian dinikmati oleh para pelanggan warungnya?
Jika memang benar aku adalah anak Bapak, maka di dalam darahku mengandung darah Bapak. Itu berarti dendam Ibu turut mengalir dalam tubuhku. Bagi Ibu, Bapak sudah mati. Bisa jadi, bagi Ibu, aku sudah mati, bahkan sejak aku masih dikandungnya.
Aku mulai mempercayai kata-kata Miranda. Setidaknya aku bisa lebih berjaga-jaga agar maut tidak buru-buru menghampiriku.
Tapi aku tak mampu menahan rasa takut.
Kubuka pintu, mendekati Ibu. "Ibu! Ibu mau mengulitiku bukan?"
Ibu terdiam.