"Ya, seperti yang kau lihat. Aku hanya ingin esok masih bernapas. Itu saja."
"Kau melupakan satu hal. Miranda memang nyata, dan seperti yang kau tahu bahwa ia telah mati tanpa bisa melukai siapapun."
"Kau sudah mengatakannya padaku tadi."
"Tapi Miranda tak akan pernah hadir kembali dalam sosok apapun, kecuali ia kau izinkan hidup dalam angan-anganmu."
"Hahaha..."
Aku tertawa sebebas-bebasnya, sekeras-kerasnya, segila-gilanya.
*
Esok tiba dan aku masih ada. Hanya Ibu yang berbeda. Mati terpotong-potong. Mbok Darmi mendapati Ibu sambil berteriak minta tolong. Seluruh warga berkumpul. Sebagian menggotong jasad Ibu, sisanya mengikat tubuhku dan menjauhkan pisau Ibu dariku.
Kudengar wanita berambut keriting menyalahkan jasad Ibuku, "Sudah pernah kusarankan padanya untuk membawa anaknya ke rumah sakit jiwa. Akhirnya ia tanggung sendiri akibatnya."
"Iya benar. Bulan lalu ia pernah bercerita bahwa anaknya pernah mengamuk dan mencakar lengannya. Tapi ia tetap saja membiarkan anak gilanya itu tinggal bersamanya," seorang lagi membumbui.
"Kasih sayang seorang Ibu terkadang sengaja buta terhadap kondisi kejiwaan anaknya. Ibu mana yang tega anaknya disakiti oleh orang lain? Hanya doa-doa yang ia panjatkan untuk memohon kesembuhan anaknya. Ya, tapi mungkin Tuhan punya kehendak lain," Mbok Darmi menimpali.