Sehari-hari perempuan itu duduk di sana. Di atas bangku bambu, dipilin ujung rambutnya, diberinya pita. Berulang kali. Sebelum lelah mengajaknya berbaring menatap matahari dari celah-celah daun mangga. Setiba senja, ia akan kembali memeluk bonekanya, mengikat tali sepatu, lalu berlari hingga ujung jalan menelan sosoknya.
"Cantik sekali."
"Siapa?"
"Tidak. Mungkin Ibu salah dengar."
Kuharap memang begitu. Lagi pula, Ibu tak akan pernah peduli pada siapa aku jatuh cinta. Yang Ibu pedulikan hanya warung peninggalan Bapak dan bagaimana caraku mencuci piring juga gelas agar tak pecah atau Ibu akan mengomel seharian.
"Kau seperti sedang memikirkan sesuatu."
Ibu mendekatiku, seolah berhasil menangkap resah di kedua mataku.
"Kau tak bisa membohongi Ibumu."
Aku mengalah. Tak ada salahnya mencari jawab atas tanya yang sedari pagi mulai memenuhi kepalaku.
"Apa Ibu mengenal perempuan yang biasanya bermain di bangku bambu itu?"
"Dari mana kau dengar cerita itu? Namanya Miranda. Ia anak kepala desa. Banyak laki-laki berlomba mendekatinya, tak sedikit kalangan tua bangka yang berniat meminangnya. Pak Minto sangat menyayangi anak gadisnya. Tak dibiarkan seorang pun mendekatinya, kecuali laki-laki pilihannya sendiri. Di bawah pohon itu, Miranda pernah menangis. Entah apa penyebabnya."