Aku mengunci warung, menguntit Ibu yang pergi melayat bersama Mbok Darmi. Di depan rumah berbendera kuning, banyak orang menangis. Mungkin keluarganya yang tak rela kehilangan seseorang yang mereka kasihi. Sisanya kudengar bisik-bisik warga menyalahkan Miranda.
"Lagi-lagi ada yang mati karena Miranda! Bagaimana jika kita panggilkan orang pintar untuk mengusir arwah Miranda dari desa ini?"
Pria bertubuh tambun membuka suara.
"Setuju!"
Seorang lainnya menanggapi, disusul puluhan warga lainnya.
"Itu tidak benar! Miranda tak mungkin membunuh. Dia tak bersalah. Aku telah melihatnya beberapa hari yang lalu dan aku masih hidup!"
Aku membantah.
"Siapa kau!"
Pria tambun mengarahkan tanya padaku. Matanya melotot, seperti kepala cacing yang keluar dari tanah.
"Aku..."
Buru-buru Ibu menarik tanganku. Aku tersentak. Menyembunyikanku di balik tubuhnya. "Maaf, anak ini suka berhalusinasi. Jangan percaya pada ucapannya."