Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suka Duka Menjadi Pemandu Wisata

23 November 2018   14:25 Diperbarui: 23 November 2018   15:50 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandu wisata. Profesi yang kuidam-idamkan sejak dulu. Karena aku suka jalan-jalan. Rasanya senang saja bisa mengunjungi berbagai tempat yang menarik lalu menceritakannya kepada orang-orang yang belum tahu. Melihat sorot mata mereka yang antusias dengan ceritaku, merupakan kebahagian  yang tak bisa diungkap. 

Dan my dream come true. Di sinilah aku kini. Di sebuah hutan konservatif di wilayah Indonesia Timur dalam rangka memandu satu rombongan turis domestik & mancanegara.

Ini bukan kali pertama aku membawa rombongan turis. Tetapi merupakan pengalaman pertama membawa rombongan yang salah satu pesertanya adalah anak-anak.

Sebagai seorang pemandu wisata, tugas utamaku tak hanya membawa rombongan mengunjungi suatu tempat yang menarik. Lalu menjelaskan dan menerangkan tentang segala sesuatu yang terkait dengan tempat yang dikunjungi. Sehingga mereka terpesona dan ingin mengajak saudara atau kerabatnya mengunjungi tempat itu kembali.

Secara pribadi ada rasa tanggungjawab untuk membuat rombongan merasa nyaman dan aman saat bersamaku. Oleh karena itu sedikit banyak aku perlu mengetahui seperti apa gambaran para peserta tersebut. Dan itu kulakukan melalui sesi perkenalan disela-sela diperjalanan.

Tentu saja dalam suasana santai. Dengan obrolan biasa. Yang tanpa disadari para peserta jadi mengenal satu sama lain. Bahkan hingga isi tas masing-masing jadi tahu apa yang dibawanya. Karena aku buat suasana mini bus ini seperti rombongan keluarga. Penuh keakraban.

Bahkan ada yang sudah berani mengajak "kencan" saking merasa akrabnya.

"Kak, kalau sudah sampai penginapan antar aku beli oleh-oleh ya?" ujar Anggi, mahasiswi yang gemar selfie. Aku tersenyum. Mendengarnya merajuk jadi teringat adik di rumah.

"Bisa. Kalau lancar, sebelum pukul 7 malam kita sudah sampai penginapan kok. Nanti pinjam motor Pak Her saja, jadi tak perlu diantar dengan mobil," kataku yang diiringi senyuman Pak Her.

Pak Her adalah sopir kepercayaan di agen travel tempatku bekerja saat ini. Usianya sudah 50 tahun. Memiliki gangguan pada jantungnya. Sehingga tidak bisa terlalu capek atau tegang. Ia bisa lemas dan sesak karenanya. Tetapi masih dipekerjakan karena ia masih harus membiayai anaknya yang masih kecil.

"Astagfirullah!"

Aku terkejut mendengar seruan Pak Heru yang tiba-tiba. Segera kudekati tempat duduknya. 

"Kenapa, Pak? Ada masalah apa?" tanyaku dengan nada kuatir.

"Sepertinya ada masalah dengan mesin ini," sahut Pak Her masih dengan posisi menyetir.

Deg. Jantungku serasa mau berhenti. Kami masih di tengah hutan. Tak bisa kubayangkan jika bus ini benar-benar mogok. 

"Ya, Tuhan. Jangan ada apa-apa sampai kami tiba di penginapan. Ada anak kecil dalam rombongan ini," doaku dalam hati.

Tetapi kaki ini Tuhan tak mengabulkan doaku. Karena mini bus berjalan tersendat untuk selanjutnya berhenti sama sekali.

"Aduh! Kenapa busnya berhenti? Ya, Tuhan! Ini masih di tengah hutan!" pekik Kanaya, kakak tingkat Anggi yang fobia gelap.

"Maaf, mesinnya tak bisa dinyalakan," ujar Pak Her dengan nada menyesal.

Tak pelak sinar kepanikan muncul dari wajah-wajah para peserta. Prita memeluk Kevin, putranya yang berusia 8 tahun dan mengidap asma. Lukman, suami Prita mulai terlihat gusar. Hanya Fred yang terlihat tenang. Ia satu-satunya peserta dari mancanegara. Meski sudah berusia 78 tahun tetapi masih terlihat gagah. Sisa-sisa ketampanan dan kegagahan saat muda terlihat dari sikapnya yang cool.

"Semuanya mohon tenang ya? Kita keluarkan saja barang-barang dari bus. Kita duduk di luar sambil menunggu Pak Her mengutak-atik mesin. Jangan jauh-jauh dari rombongan. Saya akan menelpon bala bantuan. Untuk jaga-jaga kalau bus ini benar-benar tak bisa jalan lagi," kataku berusaha menenangkan suasana. Padahal hatiku sendiri diliputi kepanikan. Bagaimana tidak? Waktu menunjukkan pukul 5 sore dan kami terjebak di dalam hutan.

Dengan daya batere di handphone yang hanya tersisa 27%, segera kutelpon bala bantuan.

"Ya, Pak! Oh, begitu ya? Baiklah. Tak apa-apa. Saya tunggu. Segera ya, Pak? Nanti...."

Tuuuut...telepon terputus. Lalu mati seketika. Handphoneku mati. Lengkap sudah penderitaan ini.

"Maaf! Ada handphone yang beterenya masih banyak? Saya pinjam sebentar untuk menelepon ya?"

"Ini pakai saja punya saya. Baterenya masih 70% kok," ujar Pak Lukman sambil menyodorkan handphonenya. 

"Nomor bapak berapa ya? Biar nanti pakai nomor ini saja untuk berkomunikasi."

Setelah kucatat nomor yang diberikan. Kuhubungi kembali bala bantuan yang tadi ku telpon.

"Hallo! Pak ini saya Denika yang tadi menelpon minta dikirim satu mobil jemputan, karena bus yang kami tumpangi mogok," kataku memberi kabar.

"Handphone saya mati nih, Pak. Jadi nanti pakai nomor ini untuk komunikasi lebih lanjut. Saya tunggu kabar selanjutnya. Secepatnya ya, Pak. Terima kasih."

Aku menghela napas, lega. Sedikit. Ya, sedikit lega. Karena hanya ada mobil jenis sedan yang bisa menjemput kami menuju desa terdekat. Itu pun dengan kapasitas 4 orang saja. Selebihnya masih harus kupikirkan lagi. Tetapi sudah ada bantuan yang segera datang, itu cukup meringankan stressku.

"Kak! Sudah ada yang menjemput tidak? Ini sudah semakin sore. Aku takut," rengek Kanaya.

"Grrrrhhh."

Geram sekali mendengar rengekan Kanaya. Seperti anak kecil saja. Memangnya dia saja yang takut. Aku juga panik. Apalagi ada Kevin yang mengidap asma. Tetapi semua rasa itu hanya ada dalam hati. Walau bagaimanapun, Kanaya adalah tamuku. Jadi aku harus membuatnya nyaman dalam kondisi apapun.

"Sabar ya, Kanaya? Juga untuk semuanya. Bala bantuan sudah bergerak ke sini kok. Tetapi mobilnya hanya cukup untuk 4 orang. Jadi sisanya menunggu bala bantuan berikutnya."

"Saya dan keluarga besok naik pesawat pukul 7 pagi, Kakak. Karena akan mengisi acara di Kompasianaval. Tolong kami dulu yang diangkut ya Kak Denika," ujar Pak Lukman.

"Aku ikut. Aku enggak mau tinggal di hutan. Aku takut," rengek Kanaya.

Tiba-tiba...

"Aduh!"

"Kenapa, Pak?" teriakku mendengar keluhan Pak Her.

"Dada saya sakit. Saya tidak sanggup mengecek mobil ini lagi," ujar Pak Her.

"Ya, sudah. Istirahat saja, Pak," kataku demi melihat kondisi Pak Her yang pucat dan lemas itu. Insiden ini tentu membuat Pak Her shock dan mempengaruhi kondisi jantungnya. Aku dapat memakluminya. Ketegangan mulai menjalari diriku kembali. Dua orang anggota rombonganku memerlukan perhatian ekstra.

Belum sempat aku berpikir dengan tenang. Tiba-tiba dikejutkan dengan jeritan pilu.

"Auw! Kakiku!"

"Ya, ampun! Itu Anggi ya? Ada apa dengannya?" kataku sambil bergegas menghampirinya.

"Kenapa dengan kakimu," tanyaku kuatir.

"Terkilir, Kak. Tadi terpeleset saat aku selfie di sana."

Emosiku terpatik mendengar penjelasannya. Musibah yang menimpanya membuat beban ku bertambah berat.

"Ya, Tuhan. Kamu kenapa sih masih sempat-sempatnya selfie dalam kondisi seperti ini. Saya bilang kan duduk saja di sana sambil menunggu bala bantuan," kataku dengan nada tinggi. Aku benar-benar senewen. Emosiku tersulut karena menghadapi semua sendirian.

"Maaf ya, Kak!"

"Ya," sahutku sambil memapahnya untuk duduk di dekat rombongan.

Saat itu sekilas kulihat Kevin mulai gusar meski dalam pelukan mamanya. 

"Sabar, ya sayang. Mobil bantuan sudah meluncur ke sini kok," kataku berusaha menghibur dirinya.

"Tidak sampai larut malam kan ya? Soalnya kalau kedinginan, apalagi udara malam. Asmanya bisa kambuh," terang mama Kevin, Prita.

"Oh, tidak Bu. Perkiraan sekitar 2 jam 15 menitan kok jarak tempuh ke sini. Sabar ya, Bu."

"Pak Lukman! Saya pinjam handphonenya lagi ya?" Kataku merasa tak enak hati. 

"Oh, silakan, silakan!"

Dengan segera kuraih handphone yang disodorkan padaku.

"Hallo pak! Ini saya Denika dari....."

Kuceritakan peristiwa yang kualami bersama rombongan yang kubawa kepada penjaga hutan. Empat orang tersisa yang tidak bisa diangkut saat ini juga, dengan terpaksa harus bermalam di rumah penjaga hutan. 

"Apa? Hanya ada sepeda motor? Mobilnya belum kembali dari kota?" pekikku.

"Baiklah, baiklah. Saya tunggu ya, Pak! Segera. Terima kasih."

Kulirik jam dipergelangan tangan. Sudah menunjukkan pukul 5 sore lebih 30 menit. Malam akan segera turun. Aku harus menenangkan rombongan.

"Bapak, ibu dan kakak-kakak sekalian. Alhamdulillah bala bantuan sudah meluncur ke sini. Untuk mobil, karena hanya ada mobil sedan yang cukup untuk empat orang saja. Maka saya putuskan, Pak Lukman sekeluarga ikut mobil berikut Pak Her."

"Aku ikut mobil ya, Kak," rengek Kanaya. "Aku tidak mau bermalam di hutan. Aku takut."

"Ada aku, Kanaya. Kita datang sama-sama. Pulang pun sama-sama," sahut Anggi dengan sedikit penyesalan karena telah mengajak Kanaya dalam situasi seperti ini.

"Tapi aku enggak mau bermalam di hutan. Kamu tahu aku kan, Nggi. Aku takut sekali."

"Kita tidak bermalam di sini, Kanaya. Tapi di rumah penjaga hutan. Ia juga sudah meluncur ke sini. Kira-kira 30 menitan akan sampai. Tapi menggunakan motor. Jadi tidak bisa mengangkut 4 orang langsung. Bergantian," kataku memberi penjelasan.

"Sambil menunggu, ayo keluarkan isi tas masing-masing. Barangkali berguna."

"Saya ada lotion anti nyamuk," seru Pak Lukman. 

"Boleh, Pak! Dikeluarkan. Dua jam menunggu mobil datang, nyamuk-nyamuk bisa berpesta ria nih," kataku mencoba mencairkan suasana. 

Anggota rombongan tersenyum kecut sambil mengolesi bagian tubuh mereka dengan lotion anti nyamuk.

"Saya atas nama agen mohon maaf atas ketidaknyamanan ini ya, bapak, ibu dan kakak-kakak sekalian."

"Tidak apa-apa Denika. Namanya insiden, tidak ada yang bisa menduga sama sekali," sahut mama Kevin. 

"Terima kasih atas pengertiannya, Bu."

"Oiya, Kevin tidak apa-apa kan sayang. Sabar ya? Insya Allah semua akan baik-baik saja," kataku sambil mengusap kepala Kevin.

"Terima kasih, Tante."

"Iya, sudah saya siapkan jaket dan obat asmanya. Semoga tidak terjadi apa-apa," sahut mama Kevin. 

Aku merasa lega. Anggota rombongan bisa memahami kondisi ini. 

Tak lama terlihat cahaya kendaraan menyorot ke arah kami duduk. Malam baru saja turun. Deru suara motor terdengar mendekat.

"Selamat malam, Bu. Saya penjaga hutan yang tadi ibu hubungi."

"Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga," kataku tanpa bisa menutupi rasa senang ini.

"Kanaya, kamu yang lebih dulu dibonceng ya? Gantian dengan yang lain."

"Tapi aku takut kalo nanti ditinggal jemput ke sini lagi," rengek Kanaya.

"Setidaknya di sana lebih terang dibandingkan di sini," kataku mulai emosi melihat sikap kekanak-kanakannya.

"Iya, tapi takut juga kalau sendirian."

Grrrrhhh. Aku menggatupkan geraham menahan emosi.

"Kalau Anggi duluan, dia terluka kakinya. Harus ada yang mendampingi. Kuatir terjadi apa-apa."

"Atau Fred saja? Fred! Ya, Tuhan! Di mana dia!" Pekikku panik menyadari ketidakhadiran Fred.

"Ah, iya. Saya lupa memberitahu karena sudah panik. Tadi dia pamit masuk ke hutan mau buang hajat," ujar Pak Lukman. 

"Ya, ampun. Saya juga lupa seketika dengan dirinya."

Tiba-tiba terdengar suara peluit dari kejauhan. 

"Oh, itu pasti dia. Semuanya tolong tunggu di sini ya? Saya dengan bapak ini mau menjemputnya," kataku sambil mengajak petugas hutan menuju suara peluit tersebut. Karena ia lebih hapal jalan-jalan di sini. 

"Itu dia!" teriakku begitu melihat Fred berdiri di jalan setapak.

"I'm sorry. Maafkan. Saya tersesat, tidak tahu arah kembali ke rombongan. 

"Iya, tak apa-apa. Ayo, segera naik ke motor. Tak apa berhimpitan. Karena yang lain sudah panik dengan situasi ini."

Tak lama aku dan Fred sudah bergabung lagi dengan rombongan. Wajah-wajah letih dan lapar terpancar jelas di sana.

"Yang di tasnya ada secuil makanan silakan berbagi. Untuk mengganjal perut dan sumber tenaga. Ini saya ada beberapa air mineral. Silakan berbagi ya?"

Anggi segera mengeluarkan beberapa batang cokelat dari dalam tasnya. Prita mengeluarkan beberapa snack juga dari dalam tasnya.

"Fred dan Kanaya bisa ikut dibonceng terlebih dulu. Bisa kan ya, Pak, bertiga seperti tadi," kataku pada petugas hutan. 

"Bisa, Bu asal mau berhimpitan seperti tadi."

"Iya, enggak apa-apa. Hati-hati ya, Pak!"

Lega. Satu masalah terselesaikan. 

"Sabar ya, Anggi. Kita tetap di sini sampai mobil datang."

"Iya, Kak."

Tak lama mobil yang kami tunggu datang. 

"Selamat malam, dengan ibu Denika?" tanya Pak sopir begitu aku mendekatinya.

"Benar, Pak! Maaf jadi merepotkan?"

"Tidak apa-apa, Bu. Siapa saja yang akan ikut mobil ini, Bu?"

Lalu kusebutkan nama mereka satu per satu. Tak lupa alasan mereka diutamakan. 

"Pak Her istirahat yang cukup ya kalau sudah sampai. Urusan mobil biar besok saja. Pak Her sudah  menghubungi kantor kan ya?"

"Pak Lukman, Bu Prita dan Kevin, selamat jalan ya? Mungkin besok kita tidak bisa bertemu. Saya dan lainnya bermalam di pondok penjaga hutan ini."

"Iya, Denika. Terima kasih banyak. Lalu kalian bagaimana?" tanya Bu Prita.

"Saya dan Anggi menunggu petugas hutan ini menjemput lagi. Tidak lama kok. Paling 30 menitan."

"Oh, kalau begitu kita jangan berangkat dulu, Pak! Tunggu petugas hutannya datang lagi," ujar Bu Prita.

Kami pun menunggu petugas hutan datang sambil berbincang-bincang. Karena sudah di dalam mobil, jadi kondisi Kevin dan Pak Her tidak terlalu mengkhawatirkan. Tak lama petugas hutan datang. Aku memapah Anggi untuk  naik ke atas motornya. Mobil pun segera berangkat. Di antara kegelapan malam, aku berdoa semoga semua akan baik-baik saja hingga esok menjelang. 

Ini sungguh pengalaman yang tak akan terlupakan sepanjang karirku sebagai pemandu wisata. Seru dan menegangkan.(EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun