Geram sekali mendengar rengekan Kanaya. Seperti anak kecil saja. Memangnya dia saja yang takut. Aku juga panik. Apalagi ada Kevin yang mengidap asma. Tetapi semua rasa itu hanya ada dalam hati. Walau bagaimanapun, Kanaya adalah tamuku. Jadi aku harus membuatnya nyaman dalam kondisi apapun.
"Sabar ya, Kanaya? Juga untuk semuanya. Bala bantuan sudah bergerak ke sini kok. Tetapi mobilnya hanya cukup untuk 4 orang. Jadi sisanya menunggu bala bantuan berikutnya."
"Saya dan keluarga besok naik pesawat pukul 7 pagi, Kakak. Karena akan mengisi acara di Kompasianaval. Tolong kami dulu yang diangkut ya Kak Denika," ujar Pak Lukman.
"Aku ikut. Aku enggak mau tinggal di hutan. Aku takut," rengek Kanaya.
Tiba-tiba...
"Aduh!"
"Kenapa, Pak?" teriakku mendengar keluhan Pak Her.
"Dada saya sakit. Saya tidak sanggup mengecek mobil ini lagi," ujar Pak Her.
"Ya, sudah. Istirahat saja, Pak," kataku demi melihat kondisi Pak Her yang pucat dan lemas itu. Insiden ini tentu membuat Pak Her shock dan mempengaruhi kondisi jantungnya. Aku dapat memakluminya. Ketegangan mulai menjalari diriku kembali. Dua orang anggota rombonganku memerlukan perhatian ekstra.
Belum sempat aku berpikir dengan tenang. Tiba-tiba dikejutkan dengan jeritan pilu.
"Auw! Kakiku!"