Aku terkejut mendengar seruan Pak Heru yang tiba-tiba. Segera kudekati tempat duduknya.Â
"Kenapa, Pak? Ada masalah apa?" tanyaku dengan nada kuatir.
"Sepertinya ada masalah dengan mesin ini," sahut Pak Her masih dengan posisi menyetir.
Deg. Jantungku serasa mau berhenti. Kami masih di tengah hutan. Tak bisa kubayangkan jika bus ini benar-benar mogok.Â
"Ya, Tuhan. Jangan ada apa-apa sampai kami tiba di penginapan. Ada anak kecil dalam rombongan ini," doaku dalam hati.
Tetapi kaki ini Tuhan tak mengabulkan doaku. Karena mini bus berjalan tersendat untuk selanjutnya berhenti sama sekali.
"Aduh! Kenapa busnya berhenti? Ya, Tuhan! Ini masih di tengah hutan!" pekik Kanaya, kakak tingkat Anggi yang fobia gelap.
"Maaf, mesinnya tak bisa dinyalakan," ujar Pak Her dengan nada menyesal.
Tak pelak sinar kepanikan muncul dari wajah-wajah para peserta. Prita memeluk Kevin, putranya yang berusia 8 tahun dan mengidap asma. Lukman, suami Prita mulai terlihat gusar. Hanya Fred yang terlihat tenang. Ia satu-satunya peserta dari mancanegara. Meski sudah berusia 78 tahun tetapi masih terlihat gagah. Sisa-sisa ketampanan dan kegagahan saat muda terlihat dari sikapnya yang cool.
"Semuanya mohon tenang ya? Kita keluarkan saja barang-barang dari bus. Kita duduk di luar sambil menunggu Pak Her mengutak-atik mesin. Jangan jauh-jauh dari rombongan. Saya akan menelpon bala bantuan. Untuk jaga-jaga kalau bus ini benar-benar tak bisa jalan lagi," kataku berusaha menenangkan suasana. Padahal hatiku sendiri diliputi kepanikan. Bagaimana tidak? Waktu menunjukkan pukul 5 sore dan kami terjebak di dalam hutan.
Dengan daya batere di handphone yang hanya tersisa 27%, segera kutelpon bala bantuan.