Keberadaan Larasati di antara petinggi Irlander dan Belanda tidak menjadikan dirinya takut dan hatinya kecut. Ia tetap dapat menunjukan ketegasan prinsipnya menjadi seorang revolusioner dan ikut serta dalam revolusi. Manipulasi Djohan terhadap keputusannya yang menyatakan bahwa Larasati setuju untuk bermain dalam film ditentang Larasati dengan sikapnya yang langsung meninggalkan kamar penjara. Sikap penolakannya tersebut membuat para pemimpin itu menghargai keputusannya.
Â
Perjuangan Larasati sebagai perempuan tangguh dan berani melalui profesi seni perannya harus terusik. Seorang pemuda menyinggung perasaannya setelah merendahkan profesinya sebagai bintang film. Larasati dianggap tidak bisa bertempur karena dirinya adalah bintang.
"Kau!" pemimpin itu menuding Ara. "Bintang film, kan? Apa bisa diperbuat bintang film dalam pertempuran?"
"Diam!" Larasati membentak marah. "Tahu apa kau tentang perjuangan bintang film dalam pertempuran? Sedang para pemimpin bisa hargai perjuanganku, mengapa kau tidak? Apa kau lebih besar dari mereka? Lepaskan ikatan dia. Kalau hanya bertempur, ayoh. Aku juga bisa bertempur di bawah komando yang baik. Kapan kau mau bertempur? sekarang?" (hlm. 88-89)
Pandangan pemuda terhadap status Larasati sebagai bintang film yang dianggap tidak bisa berjuang dalam pertempuran sangat bersifat patriarki. Secara umum patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Patriarki juga meliputi seksualitas perempuan yang ruang gerak mereka dikontrol oleh laki-laki. Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan. Adanya kekuasaan yang absolut ini menjadikan perempuan sebagai pihak yang dipasifkan dan dinon-aktifkan. Antara patriarki dan imprealisme, konstitusi subjek dan formasi objek, sosok perempuan  menghilang  bukan  dalam  ketiadan  namun  pada  perwujudan  sosok "perempuan  dunia  ketiga"  terjerat  antara  tradisi  dan  modernisasi.
Spivak  dalam  Arivia  mengungkapkan  bahwa  pandangan  patriarki dan    imperialisme  lahir dari  perwujudan  sosok  perempuan  Dunia  Ketiga.  Mereka, perempuan, terkungkung  dalam  tradisi  dan  modernisai  yang memarginalkan keberadaannya. Namun sikap yang ditunjukkan Larasati dalam  kutipan  dialog di atas berbeda dengan perwujudan sosok  perempuan  Dunia Ketiga seperti yang diungkapkan oleh Spivak. Larasati telah berhasil menyuarakan subaltern-nya. Ia dengan berani menantang pandangan yang memarginalkan dirinya. Keberaniannya itu ia buktikan dengan keikutsertaannya dalam pertempuran. Ia pun bergabung dengan pemuda revolusi dalam melawan penjajah.
Â
"... Malam ini kami ikut bertempur. Mengapa diam semua?"
"Ara!" seru Ibunya.
"Apa yang ditakuti, Bu? Kita semua hidup terus-menerus dalam ketakutan. Apa kalian biasanya ketakutan. Tidak ada. Kalau revolusi menang tidak seorang pun perlu takut lagi. Mari berangkat!" (hlm. 89)